Ulama dan Keniscayaan Islamisasi Politik

PARADIGMA BARU DAN REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM DI ERA MODERN

PARADIGMA BARU DAN REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM DI ERA MODERN
Oleh: Tabrani. ZA

A.Pendahuluan
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan, baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba di hadapan Khaliq-nya dan juga sebagai Khalifatu fil ardh (pemelihara) pada alam semesta ini. Dengan demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapkan generasi penerus (peserta didik) dengan kemampuan dan keahliannya (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah lingkungan masyarakat.
Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa diaktualisasikan dan diaplikasikan tepatnya pada zaman kejayaan Islam, yang mana itu semua adalah sebuah proses dari sekian lama kaum muslimin berkecimpung dalam naungan ilmu-ilmu ke-Islaman yang bersumber dari Quran dan Sunnah. Hal ini dapat kita saksikan, di mana pendidikan benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang jazirah Arab, Afrika, Asia Barat hingga Eropa timur. Untuk itu, adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan. Kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam pada masa ke-emasan sepanjang abad pertengahan, di mana kebudayaan dan peradaban Islam berhasil memberikan Iluminatif (pencerahan) jazirah Arab, Afrika, Asia Barat dan Eropa Timur, hal ini merupakan bukti sejarah yang tidak terbantahkan bahwa peradaban Islam tidak dapat lepas dari peran serta adanya sistem pendidikan yang berbasis Kurikulum Samawi.
Saat ini dirasakan ada keprihatinan yang sangat mendalam tentang dikotomi ilmu agama dengan ilmu umum. Kita mengenal dan meyakini adanya sistem pendidikan agama dalam hal ini pendidikan Islam dan sistem pendidikan umum. Kedua sistem tersebut lebih dikenal dengan pendidikan tradisional untuk yang pertama dan pendidikan modern untuk yang kedua.
Seiring dengan itu berbagai istilah yang kurang sedap pun hadir ke permukaan, misalnya, adanya fakultas agama dan fakultas umum, sekolah agama dan sekolah umum. Bahkan dikotomi itu menghasilkan kesan bahwa pendidikan agama berjalan tanpa dukungan IPTEK, dan sebaliknya pendidikan umum hadir tanpa sentuhan agama.
Usaha untuk mencari paradigma baru pendidikan Islam tidak akan pernah berhenti sesuai dengan zaman yang terus berubah dan berkembang. Meskipun demikian tidak berarti bahwa pemikiran untuk mencari paradigma baru pendidikan itu bersifat reaktif dan defensive, yaitu menjawab dan membela kebenaran setelah adanya tantangan. Upaya mencari paradigma baru, selain harus mampu membuat konsep yang mengandung nilai-nilai dasar dan strategis yang a-produktif dan antisipatif, mendahului perkembangan masalah yang akan hadir di masa mendatang, juga harus mampu mempertahankan nilai-nilai dasar yang benar-benar diyakini untuk terus dipelihara dan dikembangkan. Makalah ini berjudul Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia “Paradigma baru dan Rekonstruksi Pendidikan Islam di Era Modern”.

B.Pembahasan
Terminology paradigma dapat diartikan sebagai berikut cara pandang dan cara berpikir. Paradigma sebagai dasar sistem pendidikan adalah cara berpikir atau sketsa pandang menyeluruh yang mendasari rancang bangunan suatu sistem pendidikan. Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pendidikan memang sangat terkait dengan perubahan cara berpikir dan cara pandang dalam hidup dan masyarakat, karena pendidikan itu berpengaruh dengan masa kini dan masa yang akan datang.
Paradigma baru pendidikan Islam yang dimaksud di sini adalah pemikiran yang terus menerus harus dikembangkan melalui pendidikan untuk merebut kembali pendidikan IPTEK, akan tetapi tidak melupakan pendidikan agama, sebagaimana zaman keemasan dulu. Pencarian paradigma baru dalam pendidikan Islam di mulai dari konsep manusia menurut Islam, pandangan Islam terhadap IPTEK, dan setelah itu baru dirumuskan konsep atau sistem pendidikan Islam secara utuh.
Prinsip-prinsip lain dalam paradigma baru pendidikan Islam yang ingin dikembangkan adalah: tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama; ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas di nilai; mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan dan tidak hanya mengajarkan sisi tradisional, melainkan sisi rasional.
Masalah pendidikan memang tidak akan pernah selesai dibicarakan oleh siapapun. Hal ini setidak-tidaknya didasarkan pada beberapa alasan: pertama, merupakan fitrah orang bahwa mereka menginginkan pendidikan yang lebih baik, sekalipun mereka kadang-kadang belum tahu sebenarnya mana pendidikan yang lebih baik itu. Karena sudah fitrahnya, sehingga sudah menjadi takdirnya pendidikan itu tidak pernah selesai. Gagasan tentang no limit to study atau life long education merupakan implikasi praktis dari fitrah tersebut. Kedua, teori pendidikan akan selalu ketinggalan zaman, karena ia dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat yang selalu berubah pada setiap tempat dan waktu. Karena adanya perubahan itu maka masyarakat tidak pernah puas dengan teori pendidikan yang ada. Ketiga, perubahan pandangan hidup juga ikut berpengaruh terhadap ketidakpuasan seseorang akan pendidikan.
Pendidikan dalam pengertian yang lebih luas dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran kepada peserta didik (manusia) dalam upaya mencerdaskan dan mendewasakan peserta didik tersebut. Dalam hubungannya ini dapat dipastikan bahwa pendidikan itu tidak hanya menumbuhkan, melainkan mengembangkan ke arah tujuan akhir. Juga tidak hanya suatu proses yang sedang berlangsung, melainkan suatu proses yang berlangsung ke arah sasarannya. Sedangkan “Pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Islam berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia, ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al-Qur’an dan hadits.” Ilmu pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang didasarkan pada nilai-nilai filosofis ajaran berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dengan redaksi yang sangat singkat, ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam.
Kata “Islam” yang berada di belakang “pendidikan” selain menjadi sumber motivasi, inspirasi, sublimasi dan integrasi bagi pengembangan bagi ilmu pendidikan, juga sekaligus menjadi karakter dari ilmu pendidikan Islam itu sendiri. Ilmu pendidikan Islam yang berkarakter Islam itu adalah ilmu pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam Al-Qur`an dan Sunnah.
Pendidikan Islam adalah sebuah sarana atau pun furshoh untuk menyiapkan masyarakat muslim yang benar-benar mengerti tentang Islam. Di sini para pendidik muslim mempunyai satu kewajiban dan tanggung jawab untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya kepada anak didiknya, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan yang lain. Pendidikan Islam lebih mengedepankan nilai-nilai keislaman dan tertuju pada terbentuknya manusia yang ber-akhlakul karimah serta taat dan tunduk kepada Allah semata. Sedangkan pendidikan selain Islam, tidak terlalu memprioritaskan pada unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman, yang menjadi prioritas hanyalah pemenuhan kebutuhan inderawi semata.
Pendidikan Islam ke depan harus lebih memprioritaskan kepada ilmu terapan yang sifatnya aplikatif, bukan saja dalam ilmu-ilmu agama akan tetapi juga dalam bidang teknologi. Bila dianalisis lebih jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi, ada pemisahan antara keduanya. Sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil atau berpartisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan agama, begitu juga sebaliknya. Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatif (bagaimana seharusnya), sedangkan sains meneropongnya dari segi objektifnya (bagaimana adanya). Sebagai permisalan tentang sains, sering kali umat Islam Phobia dan merasa sains bukan urusan agama begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini ada pemisahan antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya berorientasi dunia saja. Di sini sangat jelas pemisahan dikotomi ilmu tersebut.
Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan urusan agama dan dunia. Dalam Islam, agama mendasari aktivitas dunia, dan aktivitas dunia dapat menopang pelaksanaan ajaran agama. Islam bukan hanya sekedar mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sebagaimana yang terdapat pada agama lain, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan dunia. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakikatnya, membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengatur satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu ialah Al-Qur`an dan al-Sunnah.
Apabila ingin merekonstruksi pendidikan Islam di era modern ini, persoalan pertama yang harus di tuntaskan adalah persoalan “dikotomi”. Artinya harus berusaha mengintegrasikan kedua ilmu tersebut baik secara filosofis, kurikulum, metodologi, pengelolaan, bahkan sampai pada departementalnya. Perubahan orientasi pendidikan Islam harus dilakukan yaitu “bukan hanya bagaimana membuat manusia sibuk mengurusi dan memuliakan Tuhan dengan melupakan eksistensinya, tetapi bagaimana memuliakan Tuhan dengan sibuk memuliakan manusia dengan eksistensinya di dunia ini. Artinya, bagaimana pendidikan Islam harus mampu mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin sehingga menghasilkan manusia yang memahami eksistensinya dan dapat mengelola dan memanfaatkan dunia sesuai dengan kemampuannya. Dengan dasar ini, maka materi pendidikan Islam harus di desain untuk dapat mengakomodasi persoalan-persoalan yang menyangkut dengan kebutuhan manusia, yaitu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, teknologi, seni serta budaya, sehingga mampu melahirkan manusia yang berkualitas, handal dalam penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, unggul dalam moral yang di dasarkan pada nilai-nilai ilahiah sebagai produk pendidikan Islam. Dengan kata lain pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam, akan menghasilkan ilmuan yang tidak hanya unggul dalam ilmu sains akan tetapi juga ilmuan yang tahu posisinya sebagai khalifah di muka bumi, yang bertakwa kepada Allah SWT, serta menjalankan apa yang diperintah dan menjauhkan apa yang dilarang oleh-Nya.
Dalam kehidupan sosial, institusi pendidikan baik umum maupun Islam, mendapat tugas suci untuk mengemban misi mulia agar membenahi kualitas hidup manusia jadi lebih baik. Suatu misi (risalah) kemanusiaan yang sangat bermanfaat dalam rangka membentuk sikap mental lulusan yang berperadaban dan menjunjung tinggi nilai insani.
Pendidikan Islam harus menjadi kekuatan (power) yang ampuh untuk menghadapi wacana kehidupan yang lebih krusial. Refleksi pemikiran dan rumusan persoalan pendidikan Islam harus bernafaskan kekinian (up to date). Jika dipandang secara historis, memang adanya suatu kejadian yang telah lalu, dapat dijadikan sebuah pelajaran untuk menjadi lebih baik lagi, tapi jangan sampai melupakan perhatian yang perlu diberikan di masa kini dan masa mendatang.
Pendidikan Islam harus menjadi terobosan baru untuk membentuk pola hidup umat yang lebih maju dan terbebas dari kebodohan dan kemiskinan. Sebab secara filosofi yang sudah tidak asing lagi untuk diketahui bahwa antara kebodohan dan kemiskinan itu merupakan dua sifat manusia yang mengkristal dan menjadi musuh bebuyutan pendidikan.

C.Kesimpulan
1.Dengan adanya persoalan baru di atas harus dituntaskan adalah dikotomis, yaitu berusaha mengintegrasi-interkoneksi kedua ilmu tersebut baik pada tingkat metode, kurikulum, filosofinya baik pada departemennya.
2.Pendidikan harus mempunyai prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor lain.
3.Pendidikan Islam harus berorientasi kepada pembangunan dan pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualitas, keterampilan, kecakapan penalaran yang dilandasi dengan keluhuran moral dan kepribadian, sehingga pendidikan mampu mempertahankan relevansinya di tengah-tengah laju pembangunan dan pembaruan paradigma saat ini, sehingga mampu melahirkan manusia yang belajar terus, mandiri, disiplin, terbuka, inovatif, mampu memecahkan masalah kehidupan, serta berdaya guna bagi kehidupan diri sendiri maupun masyarakat.
4.Diharapkan pendidikan yang dikelola lembaga-lembaga Islam sudah harus diupayakan untuk mengalihkan paradigma yang berorientasikan ke masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang berorientasi ke masa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan. Demi tegaknya peradaban Islam yang lebih kokoh. Jangan hanya mengingat kejayaan Islam masa lalu, karena mengingat kejayaan Islam masa lalu, sama saja seperti obat bius dalam dunia medis yang menghilangkan rasa sakit untuk sesaat, akan tetapi tidak menyembuhkan sakit itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, Memberdayakan SItem Pendidikan Islam, cet, II Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999
Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2009
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam, Cet. I. Bandung; Remaja Rosdakarya, 1994

Lihat H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, cet I
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, Jakarta: Rajawali Pers, 2009

Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003

Aceh, Jogjakarta dan NKRI

Benang Merah Pendidikan Aceh

Andai Pejabat itu Tukang Parkir

DAYAH DALAM DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL

Oleh: Tgk. Tabrani. ZA. S.Pd.I

Rasanya sulit, atau bahkan mustahil, mengkaji suatu permasalahan tanpa didahului oleh pengetahuan dan asumsi dasar tentang permasalahan yang akan dikaji tersebut. Meskipun Weber pernah mengkaji problematika fenomena keberagamaan dengan klaim bahwa ia tidak perlu mulai dari definisi agama karena agama akan terdefinisikan dengan sendirinya setelah usai dilakukan pengamatan terhadap gejala-gejala keberagamaan dalam masyarakat, namun secara objektif sulit menerima argumen Weber tersebut. Karena pada taraf yang paling awal, ketika ia mengamati gejala-gejala kehidupan keagamaan maka sesungguhnya dalam alam bawah sadar ia telah memiliki persepsi dan konsepsi tentang agama itu sendiri, seberapun sederhananya. Demikian halnya dengan perbincangan soal Dayah. Kita akan terjebak dalam konflik tidak berpenghabisan manakala tidak ada kesamaan persepsi tentang ontologi Dayah tersebut.
Secara sederhana, fenomenologi merupakan sebuah metode (manhaj) untuk menemukan hakikat suatu objek kajian. Urgensi dari metode ini bersumber dari kenyataan bahwa suatu kajian sering mengalami kegagalan secara ilmiah/akademik karena “dijerumuskan” oleh sistem pengetahuan yang telah mapan dan tidak pernah dipertanyakan ulang. Cara kerja operasional metode fenomenologi adalah dengan apa yang disebut dengan epoche, yaitu segala bentuk penilaian yang telah dikonsepsikan sebelumnya harus ditunda lebih dahulu atau diletakkan dalam tanda kurung sehingga sampai pada titik fenomen yang paling fundamental dan tidak dapat dikurung lagi. Maka fenomenologi adalah metode pengkajian yang berorientasi pada penemuan fundamental struktur dari suatu objek.
Jika menelusuri kondisi Dayah dengan sekian banyak dan kompleks varian dan dinamikanya, baik secara fisik, kultur, pendidikan, maupun kelembagaannya, maka Dayah secara isthilah (epistemologis) sesungguhnya tidaklah sesederhana seperti yang teridentifikasi dengan adanya abu chik, santri, maupun masjid. Karena konsepsi dasar dari kategori Abu Chik dan santri saja sampai sejauh ini masih bersifat multi-interpretable. Selain itu kategorisasi yang tidak didasarkan pada hakikat intrinsik dari suatu objek merupakan tindakan simplifikatif, reduktif bahkan distortif. Maka dalam wacana fenomenologi, Dayah sesungguhnya adalah suatu lembaga atau institusi pendidikan yang berorientasi pada pembentukan manusia yang memiliki tingkat moralitas keagamaan Islam dan sosial yang tinggi yang diaktualisasikan dalam sistem pendidikan dan pengajarannya. Dengan demikian, maka orientasi gerak dan pengajaran ilmu-ilmu agama, sosial maupun eksak di Dayah adalah tidak lebih dari sebuah proses pembentukan karakter (character building) yang islami.

Disorientasi dan Keniscayaan Reorientasi Pengembangan Pergerakan Dayah
Berguru pada filosofi tindakan Tuhan memberikan mu’jizat kepada rasul-Nya yang relevan dan up to date dengan permasalahan kemanusiaan pada masanya, maka demikianlah seharusnya Dayah membekali dirinya dalam proses pengembangannya. Akselerasi perubahan dan dinamika kehidupan sosial di era global sekarang ini terjadi secara luar biasa dan di luar perkiraan banyak orang. Yang menjadi sebuah ironis adalah perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan spektakuler di bidang teknologi kecerdasan buatan (intellegencia artificial) itu ternyata juga berakibat pada perubahan tata nilai keagamaan dan sosial. Secara rinci, Kehidupan global saat ini ditandai oleh 4 hal : 1. Kemajuan IPTEK 2. Perdagangan bebas 3. Kerjasama regional dan internasional yang mengikis sekat-sekat ideologis 4. Meningkatnya kesadaran HAM Maka untuk mengantisipasi perubahan tata nilai baru dalam era global tersebut, UNESCO, misalnya, telah mencanangkan 4 pilar belajar, yaitu learning to think, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Itulah kondisi makro yang sekarang ini sedang menghimpit dunia Dayah. Apakah Dayah sekarang sudah berpikir tentang apa yang bisa diperbuat di tengah atmosfir kehidupan global seperti itu serta apa konstribusi yang bisa disumbangkan untuk turut andil dalam membentuk kepribadian bangsa. Atau bahkan apakah Dayah bisa bertahan di tengah hegemoni produk-produk pemikiran dan tata nilai hidup globalisasi. Jika Nabi Ibrahim harus membekali diri dengan kekuatan argumentasi pemikiran, hal itu dimaksudkan untuk melayani dan mengimbangi masyarakatnya yang memiliki tradisi berpikir yang kuat, Nabi Musa dengan kemampuan magic karena kaumnya gemar dalam perdukunan, Nabi Isa dengan keahlian pengobatan karena kecenderungan umatnya pada dunia pengobatan, dan Nabi Muhammad dengan kemampuan sastra karena orang Arab punya kelebihan dalam tata bahasa, maka apakah Dayah akan tetap menggunakan mu’jizat yang pernah digunakan menghadapi dan menyelesaikan problematika masyarakat pada era 60—70-an untuk menyelesaiakan problematika sosial-budaya era global/tahun 2010 ini?
Dayah perlu melakukan reorientasi pada misi dan visi pendidikannya sehingga pergerakan Dayah akan lebih membumi. Di era penjajahan, Dayah di berbagai daerah menjadi basis pergerakan melawan kolonialisme. Para Abu Chik, kiyai, ulama’ seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro mempelopori perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Namun ketika perlawanan fisik ini dirasa gagal, mereka mengalihkan perlawanan tersebut ke bidang pendidikan dengan membuat sistem pendidikan sendiri. Lalu, apakah Dayah saat ini telah memiliki peran signifikan seperti yang pernah dimilikinya pada era penjajahan dan era 60-70-an ???. Persoalan krusial yang dihadapi masyarakat saat ini adalah lemahnya integritas moral, baik di tingkat masyarakat kelas menengah-atas maupun di kalangan grassroot. Indikator dari problem ini terlihat dari “budaya” korupsi yang seolah sudah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial, maraknya tayangan pornografi di televisi, majalah, koran dan media cetak lainnya. Ada yang menyebut bahwa Indonesia saat ini merupakan surga pornografi kedua setelah Rusia. Sementara diketahui secara umum bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dalam situasi kenyataan seperti ini, apa yang bisa diperbuat Dayah? Ironinya lagi, artis yang saat ini menjadi icon gerakan porno/sensualitas justru lahir dari kota Dayah, daerah yang bersyariat Islam, Aceh (Cut Tari).
Saat ini Dayah justru lebih banyak terjebak dalam perjuangan kepentingan yang bersifat pragmatis oportunis, terlebih lagi pada era pasca Orde Baru, terutama sekali pada saat-saat menjelang Pemilu. Dayah dalam banyak kesempatan justru menjadi ajang pertarungan kepentingan perebutan kekuasaan atas nama agama. Generasi masa lalu menjadikan politik sebagai media memperjuangkan kepentingan agama, saat ini justru agama dijadikan “tunggangan” untuk kepentingan politik. Ini bisa terjadi bahkan sudah terjadi, karena Dayah tidak memiliki visi dan misi yang jelas dalam konstelasi perubahan sosial yang sedang berlangsung. Dayah saat ini ibarat sebuah kapal yang berlayar di tengah gelombang laut dengan tanpa tujuan. Ia akan berlayar menuju ke tempat yang diinginkan oleh nahkodanya. Di tengah arus perubahan tata nilai sosial-budaya seperti sekarang ini, Dayah tampak tidak memiliki sense of crisis sama sekali.
Maka tidak mengherankan jika fungsi Dayah saat ini secara faktual sudah tergantikan oleh lembaga/institusi yang lahir justru dari kalangan akademisi/kampus (lembaga pendidikan yang diidentikkan dengan sekuler). Atas dasar itulah maka Dayah perlu melakukan reorientasi gerak pengajaran dan pendidikan, serta perlu mulai mengkaji pendekatan baru dalam sistem pendidikannya.
Religiusitas (religiousity, bukan religion = agama) sebagai Orientasi Gerak Dayah. Rasa keberagamaan bukanlah agama. Agama lebih bersifat formal-komunal tetapi keberagamaan lebih bersifat personal. Rasa keberagamaan merupakan core dari agama itu sendiri. Tidak setiap pakar agama memiliki rasa keagamaan. Sebaliknya tidak setiap orang yang memiliki rasa keberagamaan memiliki pengetahuan tentang agama sebanding dengan pengalamannya. Rasa dan semangat keberagamaan tersebut. Celakanya, justru aspek yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan inilah yang cenderung terabaikan dan hanya dikaji sambil lalu. Religiusitas bisa diperoleh melalui dua cara. Pertama, pengkajian yang serius terhadap tasawuf. Kedua, pembentukan nilai/lingkungan yang representatif bagi pengembangan potensi rasa keberagamaan. Pengkajian dan penghayatan terhadap dimensi spiritualitas inilah yang kelak akan menghasilkan generasi-generasi yang peka terhadap aspek moralitas. Dayah juga perlu memberikan kesadaran baru bagi para santrinya bahwa keberagamaan merupakan proses yang tidak pernah berakhir. Sementara agama adalah produk yang sudah jadi. Sudah sekian lama terjadi miss-konsepsi tentang agama dan keberagamaan di dunia Dayah. Rasa keberagamaan selama ini direduksi pada sebatas pengkajian terhadap ilmu agama. Dimensi rasionalitas, spiritualitas dan bahkan penghayatan akan nilai-nilai agama itu sendiri malah sering terabaikan. Akibatnya, lahir generasi-generasi yang kaya akan khazanah ilmu agama tanpa rasa keagamaan, kaya ilmu pengetahuan tanpa sikap keilmuan, generasi dengan predikat santri tanpa mental kesantrian. Lebih lanjut, dalam kehidupan praktis, Dayah hampir tidak memiliki kontribusi dan peran yang aktif dalam melakukan perubahan sosial menuju ke kehidupan yang lebih beradab dan berbudaya. Keengganan sebagian Dayah untuk menyelenggarakan pendidikan “formal” di lingkungannya dengan argumen ilmu tersebut bukan ilmu agama menunjukkan adanya kesalahan dalam pemahaman terhadap agama itu sendiri. Nabi SAW bersabda “tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah menginginkan umatnya tidak terfokus pada suatu disiplin ilmu akan tetapi juga mau menerima ilmu-ilmu yang lain.
Pemahaman seperti di atas sebenarnya banyak didasari dari perilaku pemerintah yang telah mencampuradukkan antara peran ulama dan pemerintah. Sehingga sebagian orang dayah mempunyai paham bahwa alumni dayah yang kuliah ke sebuah universitas dianggap tidak bagus dan telah menyimpang dari jalur yang sesungguhnya. Pemahaman seperti ini semua disebabkan oleh kebanyakan orang dayah yang telah menyelesaikan kuliah yang sudah berada di pemerintahan semuanya sudah asyik dan sibuk mengurusi urusan pemerintahan dan tidak lagi atau sudah kurang perhatiannya terhadap urusan keagamaan. Tgk-tgk dayah (tidak semuanya) yang sudah masuk barisan pemerintahan sudah kurang perhatiannya kepada agama, agama hanya jadi tunggangan untuk mencapai jabatan tersebut.
Pada dasarnya dayah merupakan lembaga pendidikan agama yang memiliki nilai kharismatik tersendiri oleh masyarakat khususnya Aceh, berbeda halnya dengan peran politik yang saat ini berkonotasi negatif dalam pandangan masyarakat Indonesia. Dalam hal ini pemisahan kedua versi ini harus terus dilanjutkan oleh tokoh-tokoh kharismatik dayah guna mengembalikan nilai dayah pada tatanan sosial yang terhormat. Sehingga perlu digarisbawahi bahwa peran ulama dayah sebaiknya tetap berada pada posisi mufti, dalam struktur pemerintahan sebagai penyeimbang kebijakan dari pemerintah, dan pemerintah tetap berada pada posisinya yang berperan sebagai eksekutif dan legislatif. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah dan pertolongan kepada kita untuk mengenal kekurangan dan kelebihan kita dalam rangka membangun rencana dan tindakan yang terbaik untuk masa depan agama dan bangsa.

HARGAI APA YANG KITA MILIKI

Oleh: Tabrani. ZA

Teman-teman,
Pernahkah Teman-teman mendengar kisah Helen Kehler? Dia adalah seorang Perempuan yang dilahirkan dalam kondisi buta dan tuli.

Karena cacat yang dialaminya, dia tidak bisa membaca, melihat, dan mendengar. Nah, dlm kondisi seperti itulah Helen Kehler dilahirkan.

Tidak ada seorangpun yang menginginkan lahir dalam kondisi seperti itu. Seandainya Helen Kehler diberi pilihan, pasti dia akan memilih untuk lahir dalam keadaan normal.

Namun siapa sangka, dengan segala kekurangannya, dia memiliki semangat hidup
yang luar biasa, dan tumbuh menjadi seorang legendaris

Dengan segala keterbatasannya, ia mampu memberikan motivasi dan semangat hidup
kepada mereka yang memiliki keterbatasan pula, seperti cacat, buta dan tuli.

Ia mengharapkan, semua orang cacat seperti dirinya mampu menjalani kehidupan seperti manusia normal lainnya, meski itu teramat sulit dilakukan.

Ada sebuah kalimat fantastis yang pernah diucapkan Helen Kehler:

"It would be a blessing if each person
could be blind and deaf for a few days
during his grown-up live. It would make
them see and appreciate their ability to
experience the joy of sound".

Intinya, menurut dia merupakan sebuah anugrah bila setiap org yang sudah menginjak dewasa itu mengalami buta dan tuli beberapa hari saja.

Dengan demikian, setiap orang akan lebih menghargai hidupnya, paling tidak saat
mendengar suara!

Sekarang, coba Teman-teman bayangkan sejenak....
......Teman-teman menjadi seorang yang buta dan tuli selama dua atau tiga hari saja!

Tutup mata dan telinga selama rentang waktu tersebut. Jangan biarkan diri Teman-teman melihat atau mendengar apapun.


Selama beberapa hari itu Teman-teman tidak bisa melihat indahnya dunia, Teman-teman tidak bisa melihat terangnya matahari, birunya langit, dan bahkan Teman-teman tidak bisa menikmati musik/radio dan acara tv kesayangan!

Bagaimana Teman-teman? Apakah beberapa hari cukup berat?
Bagaimana kalau dikurangi dua atau tiga jam saja?

Saya yakin hal ini akan mengingatkan siapa saja, bahwa betapa sering kita terlupa untuk bersyukur atas apa yang kita miliki. Kesempurnaan yang ada dalam diri kita!

Seringkali yang terjadi dalam hidup kita adalah keluhan demi keluhan.... Hingga tidak pernah menghargai apa yang sudah kita miliki.

Padahal bisa jadi, apa yang kita miliki merupakan kemewahan yang tidak pernah bisa dinikmati oleh orang lain. Ya! Kemewahan utk orang lain!

Coba Teman-teman renungkan, bagaimana orang yang tidak memiliki kaki? Maka berjalan adalah sebuah kemewahan yang luar biasa baginya.

Helen Kehler pernah mengatakan, seandainya ia diijinkan bisa melihat satu hari saja, maka ia yakin akan mampu melakukan banyak hal, termasuk membuat sebuah tulisan yang menarik.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran, jika kita mampu menghargai apa yang kita miliki, hal-hal yang sudah ada dalam diri kita, tentunya kita akan bisa memandang hidup dengan lebih baik.

Kita akan jarang mengeluh dan jarang merasa susah! Malah sebaliknya, kita akan mampu berpikir positif dan menjadi seorang manusia yang lebih baik. :-)