Antropologi Agama

Penelitian dalam Bingkai Filsafat

Rekonstruksi Epistimologis

Oleh: Tabrani. ZA- Keimanan terhadap Islam sebagai sebuah manhajul hayah (sistem hidup) akan senantiasa membawa seorang muslim untuk kembali kepada ajaran agamanya. Segala permasalahan akan diupayakan untuk ditinjau dari “kaca mata” Islam. Bagaimana Islam mendudukkan persoalan tertentu, demikian pula seorang muslim akan mendudukkan persoalan tersebut.

Dunia pendidikan, dalam hal ini, tidak terkecuali. Seorang guru atau tenaga pendidik muslim, sebelum dia berperan sebagai guru atau tenaga pendidik, dia adalah seorang muslim. Artinya, dia akan memenuhi panggilan hati nuraninya untuk senantiasa membawa misi Islam dalam kehidupannya. Dan misi Islam itu adalah: rahmatan lil ’alamin (rahmat bagi sekalian alam). Meletakkan wacana pendidikan dalam bingkai ajaran Islam, tentu juga bukan sesuatu yang aneh. Sebab, para Nabi dan Rasul ’alaihimus shalatu was salam sendiri, yang merupakan manusia-manusia figur keagamaan, adalah guru-guru kehidupan. Tugas pokok dan misi utama mereka adalah pendidikan dan pengajaran. Mereka adalah tokoh-tokoh besar pendidikan.
Secara dikotomis, ilmu-ilmu yang diajarkan kepada peserta didik dibagi umumnya kepada ilmu-ilmu umum-sekuler dan agama. Klasifikasi ini, kendati terkesan sekadar penyederhanaan, tapi sebenarnya memiliki dasar argumentasi yang cukup kuat. Sulit dipungkiri bahwa ilmu-ilmu yang berkembang di Barat yang kemudian dikembangkan pula di sekolah-sekolah umum negara-negara dunia ketiga, yang umumnya berpenduduk muslim, bisa dengan worlview dan framework Barat yang notabene sekuler. Bukankah teori Maslow tentang hierarki kebutuhan tidak menempatkan kebutuhan kepada Allah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia? Bukankah prime-theory evolusi Darwin merupakan upaya sengaja untuk mengesampingkan kenyataan bahwa manusia terdiri dari akal, tubuh dan jiwa? Mengapa psikologi cuma melihat dimensi yang terlihat (visibel) dari manusia dan melupakan peran hawa nafsu atau syaitan, sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab suci? Pernahkah guru sains kita memberi penyadaran kepada anak didiknya bahwa konsistensi fenomena alam sebagai sunnatullah (aturan dan hukum Allah). Dan bukannya “hukum alam”, istilah yang bila disalahpahami bisa menggiring kepada pengingkaran terhadap peran Tuhan di alam semesta? Mengapa antropologi tidak pernah menyinggung eksistensi para nabi dan rasul, kendati dia adalah fakta yang diakui oleh tiga agama besar dunia? Sederet lagi pertanyaan lain yang menggelitik yang simpul-simpulnya dapat pembaca lihat pada lampiran 1 pada bagian lain dari makalah ini.
Problem epistemologis inilah yang melahirkan wacana islamisasi ilmu pengetahuan. Dalam kerangka epistemologi alternatif ini, ilmu pengetahuan tidak dibatasi pada hasil rasio dan pengalaman empiris semata. Tapi peran wahyu diikutkan bahkan menempati puncak hierarki ilmu. Timbulnya perilaku menyimpang, sebagai misal, tidak melulu dilihat dari sudut materi dengan kacamata positivistik. Seperti teori tentang adanya subkultur yang menyimpang dari mainstream sosial, atau teori tentang adanya referensi grup lain yang menjadi acuan, atau akibat dari ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi.
Analisa-analisa teoritis yang dikutip di atas sangat materialistik dan menempatkan manusia sebagai makhluk tak berdaya. Seakan manusia tidak memiliki kekuatan untuk berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak hidupnya itu. Di samping itu, menafikan peran syaitan dan hawa nafsu. Kenyataan inilah yang kiranya menjadikan dewasa ini banyak orang agama yang kurang bersemangat belajar umum. Seperti halnya tidak sedikit orang umum yang ogah-ogahan belajar agama. Bila dianalisis lebih jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi, ada pemisahan antara keduanya. Sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil atau berpartisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan agama, begitu juga sebaliknya. Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatif (bagaimana seharusnya), sedangkan sains meneropongnya dari segi objektifnya (bagaimana adanya). Sebagai permisalan tentang sains, sering kali umat Islam Phobia dan merasa sains bukan urusan agama begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini ada pemisahan antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya berorientasi dunia saja. Di sini sangat jelas pemisahan dikotomi ilmu tersebut. Sebab, telah terjadi semacam keterbelahan epistemologis. Wahyu agama yang “diimani” seakan tak berharga ketika berbicara dalam konteks ilmu pengetahuan umum (sains). Akan tetapi pada sisi yang lain, hal ini juga menjelaskan mengapa cendekiawan muslim dahulu memiliki wawasan keilmuan yang integralistik. Dikotomi-dilematis: dunia-akhirat, subjektif-objektif, iman-ilmu, qalb-rasio, substansi-simbol, dsb, tidak mereka hadapi.
Dalam tataran yang lebih praktis, problem epistemologis ini juga memiliki pengaruh langsung dalam pembelajaran. Filsafat konstruktivisme yang dianut luas dalam pembelajaran modern, misalnya, berangkat dari asumsi relativitas mutlak pengetahuan manusia yang disandarkan pada nilai pragmatisme pengetahuan dan kebenaran. Sebab, yang penting di sini adalah bagaimana suatu konsep dapat berlaku atau dapat digunakan.
Sebagai dampaknya, tidak ada otoritas mutlak yang pasti benar. Walaupun itu berasal dari wahyu yang benar atau didasarkan pada fitrah yang suci. Sikap skeptis berlaku mutlak dalam seluruh proses pembelajaran model konstruktivisme. Dalam Islam, pragmatisme ilmu semata tidak dapat diterima. Menurut Islam, norma-norma agama, berupa syariat, tetap harus dikedepankan. Kesimpulannya, filsafat pendidikan, terutama pada segi-segi yang telah tertentu, menabrak beberapa konsep baku dalam Islam.
Kondisi riil di lapangan lebih memprihatinkan lagi. Alih-alih mengintegrasikan nilai dan ajaran Islam terhadap ilmu-ilmu umum, yang terjadi justru marginalisasi pelajaran agama. Bukan rahasia lagi bila pelajaran-pelajaran agama kerap dipandang hanya sebagai pelengkap belaka. Pelajaran agama tidak diposisikan untuk menjiwai pelajaran-pelajaran lain.
Dalam kerangka rekonstruksi epistemologi ini, tenaga-tenaga pendidik bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pemahaman mereka terhadap ajaran Islam. Sebab bila tidak, mereka turut memiliki saham dalam melahirkan generasi-generasi bangsa masa depan yang menderita dis-orientasi dalam kehidupannya. Karena dengan hanya berbekalkan ilmu-ilmu Barat sebagaimana digambarkan, pemahaman tentang realitas dan kebenaran tidak akan pernah sempurna dan tuntas. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius dengan jumlah penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Bila aspek ini tidak segera dibenahi, maka di masa yang akan datang, tidak mustahil nilai religiusitas yang menjadi ciri Kebangsaan itu hanya tinggal kenangan. Dalam hal ini bukan berarti kita harus melupakan kalau kita sekarang berada pada zaman modern yang penuh dengan kemajuan IPTEK, yaitu bukan hanya bagaimana membuat manusia sibuk mengurusi dan memuliakan Tuhan dengan melupakan eksistensinya, tetapi bagaimana memuliakan Tuhan dengan sibuk memuliakan manusia dengan eksistensinya di dunia ini. Artinya, bagaimana pendidikan Islam harus mampu mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin sehingga menghasilkan manusia yang memahami eksistensinya dan dapat mengelola dan memanfaatkan dunia sesuai dengan kemampuannya. Karena Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan urusan agama dan dunia. Dalam Islam, agama mendasari aktivitas dunia, dan aktivitas dunia dapat menopang pelaksanaan ajaran agama. Islam bukan hanya sekedar mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sebagaimana yang terdapat pada agama lain, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan dunia. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Dengan dasar ini, maka materi pendidikan Islam harus di desain untuk dapat mengakomodasi persoalan-persoalan yang menyangkut dengan kebutuhan manusia, yaitu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, teknologi, seni serta budaya, sehingga mampu melahirkan manusia yang berkualitas, handal dalam penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, unggul dalam moral yang di dasarkan pada nilai-nilai ilahiah sebagai produk pendidikan Islam.
Dana dalam kehidupan sosial, institusi pendidikan baik umum maupun Islam, formal maupun non formal, negeri maupun swasta, mendapat tugas suci untuk mengemban misi mulia agar membenahi kualitas hidup manusia jadi lebih baik. Suatu misi (risalah) kemanusiaan yang sangat bermanfaat dalam rangka membentuk sikap mental lulusan yang berperadaban dan menjunjung tinggi nilai insani yang bernafaskan Islam. Pendidikan Islam harus menjadi kekuatan (power) yang ampuh untuk menghadapi wacana kehidupan yang lebih krusial. Refleksi pemikiran dan rumusan persoalan pendidikan Islam harus bernafaskan kekinian (up to date). Dan diharapkan Pendidikan yang dikelola oleh lembaga-lembaga Islam sudah harus diupayakan untuk mengalihkan paradigma yang berorientasikan ke masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang berorientasi ke masa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan. Demi tegaknya peradaban Islam yang lebih kokoh. Jangan hanya mengingat kejayaan Islam masa lalu, karena mengingat kejayaan Islam masa lalu, sama saja seperti obat bius dalam dunia medis yang menghilangkan rasa sakit untuk sesaat, akan tetapi tidak menyembuhkan sakit itu sendiri.
Dari pemaparan di atas, beberapa metode yang merupakan implementasi nilai-nilai pendidikan Islam yang dapat direkomendasikan adalah, antara lain:
1.         Tumbuhkan semangat serta keterikatan emosi peserta didik dengan agama dan umatnya lewat pendidikan sejarah Islam dan biografi tokoh-tokoh dan pahlawan muslim. Tapi bukan mengajarkan perang kepada peserta didik. Maksudnya berupaya untuk mengalihkan paradigma yang berorientasikan ke masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang berorientasi ke masa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan, demi tegaknya peradaban Islam yang lebih kokoh. Bukan hanya mengingat kejayaan Islam masa lalu, karena mengingat kejayaan Islam masa lalu, sama saja seperti obat bius dalam dunia medis yang menghilangkan rasa sakit untuk sesaat, akan tetapi tidak menyembuhkan sakit itu sendiri.
2.         Tumbuhkan semangat dan militansi juang peserta didik dengan membekali mereka dengan pemahaman terhadap kondisi dan tantangan yang dihadapi umat, tapi bukan semangat terorisme.
3.         Luruskan pemahaman peserta didik tentang konsep ibadah yang mencakup seluruh aktivitas kehidupan sepanjang sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
4.         Biasakan peserta didik dengan akhlak dan adab-adab islami, baik itu dengan pengajaran langsung maupun lewat teladan dari guru.
5.         Tanamkan nilai-nilai luhur, kecendekiawanan dan etos kerja yang islami sejak dini kepada peserta didik
6.         Kembangkan model-model pembelajaran yang holistik dan menyeluruh dengan memanfaatkan dasar-dasar ilmu pengetahuan dalam Islam.

Tulisan Ini telah dipublikasikan oleh Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia.

Memperkuat Dakwah Kampus

Akhir-akhir ini Universitas Syiah Kuala dibuat geger oleh munculnya gerakan Mukmin Mubaligh. Gerakan ini dianggap sesat karena mengajarkan salat cukup 1 kali sehari. Aliran yang bergerak di kampus ini ternyata punya syahwat politik juga, yaitu ingin menguasai Indonesia di tahun 2024. Harian Aceh (10/3/2011) mencatat jumlah pengikut Mukmin mubaligh di Unsyiah sudah mencapai puluhan orang. Mahasiswa FKIP yang sudah berhasil didakwahi ada 21 orang, Fakultas Teknik 9 orang, Fakultas Ekonomi 3 orang, selanjutnya dari Politeknik ada 5 orang, dan 2 mahasiswa lagi berasal dari IAIN Ar-Raniry.

Bila fakta di atas benar, ini menunjukkan betapa mudahnya akidah generasi (intelektual) muda Aceh dibobol. Padahal di setiap jenjang pendidikan kita, dari SD sampai SMA, ada pendidikan agama Islam. Bahkan ketika masuk universitas pun, mahasiswa baru diwajibkan mengikuti program PBHA (Pemberantasan Buta Huruf Al Quran) dan mentoring agama yang dilaksanakan oleh UP3AI Unsyiah selama satu tahun. Tidak hanya itu, setiap mahasiswa Unsyiah juga wajib mengambil Mata Kuliah Umum (MKU) Agama selama satu semester. Di Universitas Syiah Kuala juga ada kegiatan dakwah yang dimotori oleh Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di tiap fakultas, di sana juga ada HMI yang lahir lebih duluan. Pertanyaannya sekarang, apakah mereka gagal?

Rekonstruksi Pendidikan Agama

Jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Silakan tanya pada siswa-siswi sekolahan, mata pelajaran apa yang membosankan. Kemungkinan besar salah satu jawabannya adalah agama. Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah umum terasa kering sekali. Penuh hafalan ayat-ayat Quran dan Hadits, menghafal rukun dan syarat-syarat ibadah, menghafal definisi terminologi, kemudian guru melakukan pendekatan (approach) halal-haram dalam pembelajaran. Sehingga agama terasa sesak dengan aturan baku. Bila melakukan A, masuk neraka. Melakukan B, masuk surga.

Harusnya pendidikan agama adalah pendidikan karakter. Masuki dulu fase Mekah sebelum fase Madinah. Sebelum memasuki wacana halal-haram, lebih baik dikuatkan dulu penanaman akidah siswa. Bukan dengan cara menghafal isi buku, melainkan siswa dididik untuk melakukan tafakkur alam. Bukankah banyak sekali ayat-ayat Makkiah yang menjabarkan fenomena alam seiring dengan penjelasan tauhid? Jadi, siswa-siswi kita harus kuat terlebih dahulu dalam hal makrifatullah. Kemudian barulah mereka masuk ke bab makrifaturrasul

Generasi muda sekarang mengenal Rasul secara dangkal sekali. Muhammad adalah seorang Nabi yang menikah dengan janda tua yang namanya Khadijah. Terus ada kejadian isra mikraj, ada perang, dan ada poligami. Kalau pun mereka mengaku mencintai Rasul, itu bukanlah “cinta yang menggelora dari dasar hati” melainkan pengakuan cinta sebatas mulut sebagai hasil dari indoktrinisasi pendidikan.

Tidak kenal maka tak sayang. Maka cara paling gampang membuat generasi muda mengenal Rasul adalah mewajibkan mereka membaca buku-buku Sirah Nabawiyah. Ini bukanlah hal yang sukar. Anak SMA sekarang bisa khatam tetralogi Laskar Pelangi, Tetralogi novel Twilight (yang isinya percintaan antara manusia dan drakula), bahkan tujuh buku Harry Potter yang tebal pun sanggup mereka lahap. Bagaimana mungkin membaca Sirah Nabawiyah Muhammad saja mereka tak sanggup. Jadi, bila siswa-siswi SMA di Rusia diwajibkan membaca War and Peace-nya Leo Tolstoy yang berjumlah lebih dari 1000 halaman itu. Maka siswa-siswi SMA di Aceh diwajibkan membaca Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husein Haikal.

Langkah selanjutnya adalah Makrifatul Islam (mengenal Islam), siswa-siswi sebaiknya diajarkan Islam langsung dari sumbernya; Al Quran dan Sunnah. Ada baiknya mereka mengenal mengapa Quran itu 100 persen asli sedangkan hadits ada yang dhaif dan yang shahih. Jelaskan apa yang membuat derajat hadits riwayat imam Bukhari lebih tinggi dari pada imam Ibn Majah. Terangkan pula pada siswa bahwa Islam itu satu, tapi ada beragam tafsir yang kemudian mengkristal menjadi pelbagai mazhab. Ajarkan mereka ilmu ulumul Quran, ulumul hadits, dan ilmu ushul fiqh. Bahkan kalau bisa masukkan pelajaran bahasa Arab di sekolah-sekolah umum. Sehingga kelak mereka bisa berpikir kritis bila ada orang yang mengajarkan salat cuma wajib 1 kali sehari atau ada Nabi lagi setelah Muhammad SAW. Karena pendangkalan aqidah hanya bisa terjadi pada muslim yang tsaqafah keislamannya juga dangkal.

Rekonstruksi Dakwah Kampu

Sekarang mari kita mengevaluasi dakwah kampus. Penulis menyarankan yang mengisi mentoring agama di UP3AI jangan lagi mahasiswa-mahasiswa senior. Melainkan dosen-dosen dari IAIN Ar-Raniry. Sudah saatnya para doktor dan master agama di IAIN untuk turun gunung dan membagi ilmunya pada mahasiswa Unsyiah. Kelemahan para mentor UP3AI selama ini adalah mereka tidak mendalami disiplin ilmu keislaman secara menyeluruh. Mereka tak menguasai bahasa Arab, ushul fiqh, ulumul Quran, ulumul hadits, dan ilmu tafsir. Pengetahuan agama didapatkan hanya sebatas dari buku, ceramah, dan kajian-kajian keagamaan (halaqah).

Bila yang mengajar mentoring agama adalah para dosen dari fakultas Ushuluddin atau Syariah, diharapkan pemahaman keislaman mahasiswa Unsyiah bisa lebih mendalam. Ada baiknya diperkenalkan kepada mereka seluruh khazanah Islam klasik yang selama ini tak pernah diajarkan. Agama tidak hanya dilihat dari paradigma satu jamaah, melainkan dari pelbagai mazhab pemikiran Islam. Sehingga kekayaan khazanah intelektual umat Islam betul-betul terwariskan.

Coba perhatikan peta politik kampus, dengan mudah kita dapatkan mahasiswa kita terpecah. HMI tidak akur dengan LDK (sering disebut anak mushalla), demikian juga sebaliknya. Bahkan dua organisasi Islam ini sering kali bergesekan satu sama lain karena urusan politik kampus, yaitu memperebutkan kursi HMJ (himpunan mahasiswa jurusan), BEM, dan PEMA. Energi kader bangsa terbuang cuma-cuma karena urusan sepele (tapi dianggap begitu besar).

Wacana keilmuan Islam telah kosong di atmosfir universitas-universitas kita. Coba tanya pada aktivis muslim bagaimana konsep pendidikan Islam, psikologi Islam, ekonomi Islam, hukum politik Islam, dsb (dengan catatan bila kita setuju akan islamisasi pengetahuan), maka segera kita temukan kegagapan mereka dalam wacana pemikiran Islam. Belum lagi jika ditanya apakah mereka punya konsep sendiri (original) tentang ekonomi, pendidikan, sains, teknologi terapan, filsafat, dst. Padahal mereka sendiri belajar di fakultas KIP, ekonomi, hukum, dan psikologi.

Jadi memang ada ketidaksesuaian (unrelated) antara cita-cita (misal: Islam sebagai ustaziatul alam/soko guru dunia) dengan aktivitas gerakan dan individu mereka sendiri. Bagaimana mungkin mengatakan Islam is the solution bila aktivis Islamnya sendiri tak menguasai konsep? Sehingga slogan “Islam adalah solusi” menjadi orasi yang hilang daya magnetnya.

Karena kelemahan kita adalah ilmu. Maka sudah saatnya kedua organisasi itu bersinergi untuk  membangun pusat studi ilmu-ilmu keislaman kemudian digandengkan dengan ilmu non-agama yang menjadi spesialisasi mereka. Bila wacana keilmuan Islam kita kuat, maka wacana aliran sempalan seperti Mukmin Mubaligh pasti tak laku di Universitas Syiah Kuala.

*Penulis adalah pegiat Kelompok Studi Darussalam (KSD), alumni IELSP Ohio University USA. Sekarang berdomisili di Tungkob, Aceh Besar.


Bencana dalam Perspektif Agama

Oleh: Syukri Muhammad Yusuf-
Bumi ini bukanlah tempat yang aman, nyaman dan tenang. Semua penghuninya rentan terhadap berbagai ancaman alam, atau sering disebut bencana alam. Berbagai bencana alam dapat menyerang planet bumi ini kapan saja, tanpa sinyal dan tanpa permisi, menyebabkan kehancuran, kehilangan harta dan nyawa. Gempa bumi, gelombang tsunami, banjir, kebakaran hutan, erupsi merapi, longsor, badai topan sampai kepada wabah penyakit adalah sederet bencana alam yang akhir-akhir ini kerap “mengunjungi” negeri ini.
Meskipun memiliki intensitas dan akibat yang berbeda-beda, namun kesamaannya adalah mereka mampu dalam seketika meluluh-lantakkan suatu negeri, berikut seluruh penghuninya, yang tersisa hanya puing-puing reruntuhan belaka. Apa yang terjadi di Jepang dan Tangse, Pidie belum lama ini cukup menjadi pelajaran bagi kita, bahwa kita cukup rentan terhadap bencana yang datang secara tiba-tiba, dan kita belum siap menghadapinya.
Bencana sudah pasti tak dikehendaki oleh siapa pun, tetapi yang penting diingat bahwa tak ada pula seorang pun yang sanggup menolaknya. Tak ada manusia “superman” yang memiliki kekuatan untuk melawan ataupun mencegah bencana alam ini, termasuk memprediksinya. Kalaupun ada para ahli atau alat canggih yang ditengarai mampu memprediksi terjadinya bencana, tapi apakah mereka juga mampu memprediksi waktu persisnya akan terjadi bencana dimaksud? Tentu saja tidak. Bahkan siapa pun tidak dapat memprediksi nasibnya sendiri jika bencana itu datang menimpanya. Selain itu, telah banyak sinyal diberikan akan terjadi bencana alam pada suatu hari ternyata tidak terbukti, tetapi justru bencana itu datang pada saat orang-orang tidak menghiraukannya.
Mengurangi Risiko Bencana
Manusia memang tidak mampu melawan, menghentikan dan menghindari terjadinya bencana, namun sejauh apa yang dapat dilakukan manusia adalah mengurangi risikonya. Merujuk kepada referensi agama yang mengulas tentang bencana, maka kita berkesimpulan bahwa upaya mengurangi risiko bencana adalah merupakan suatu keharusan religi, bahkan sampai pada tingkat wajib hukumnya, paling kurang dapat dikategorikan ke dalam fardhu kifayah (jika tidak ada yang melakukan maka seluruh penduduk negeri ikut menanggung dosa).
Dalam sebuah Hadits Rasulullah Saw. bersabda: “Sekiranya kalian mendengar di suatu negeri terjadi wabah (penyakit menular) maka jangan seorang pun memasuki negeri itu, dan bagi orang-orang yang berada di dalamnya tidak boleh seorang pun keluar dari padanya”. (HR. Bukhari). Hal itu bertujuan, agar risiko atau korban dan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana bisa ditekan seminimal mungkin dan tidak merambah secara meluas ke daerah-daerah lain.
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa pada sebuah peperangan yang dihadiri Rasulullah Saw, di sela-sela penantiannya terhadap musuh Rasulullah Saw berpidato di hadapan pasukannya: “Wahai manusia jangan sekali-kali kalian bercita-cita untuk bertemu dengan musuh, tetapi mohonkanlah kepada Allah keselamatan…!” (HR. Bukhari). Logikanya adalah jika bertemu musuh tentu saja akan terjadi bencana peperangan yang berdampak kepada risiko hilangnya nyawa dan harta benda. Untuk mengurangi atau menghindari risiko dimaksud harus melakukan langkah-langkah antisipatif dan menghindari pemicunya.
Hadits-hadits di atas benar-benar mencerminkan ketegasan ajaran Islam dalam menekankan adanya upaya-upaya pengurangan risiko bencana. Dalam prinsip-prinsip hukum Islam (qawa’id fiqhiyah) ditegaskan pula bahwa segala sesuatu yang dapat menimbulkan bencana harus dicegah. Dan segala upaya serta sarana yang dapat menghindarkan manusia dari bencana harus dilakukan, baik secara fisik maupun nonfisik. Dalam kaitannya dengan ini, upaya dimaksud harus dilakukan mulai dari peringatan dini, saat terjadi bencana dan pasca bencana.
Bahkan harus dimulai dari penyebaran informasi mengenai potensi bencana, dampaknya, dan cara-cara penanggulangannya. Segala sarana dan fasilitas alat komunikasi seperti HP, internet, radio, televisi, media cetak, begitu juga media-media tradisonal lainnya, seperti mimbar jumat, hiburan rakyat dan lain-lain yang dapat menyampaikan informasi secara cepat dan tepat harus dimanfaatkan dalam mitigasi bencana, terutama ke daerah-daerah rawan bencana. Tentu saja agar risiko dan dampak dari bencana alam yang tidak seorang pun menginginkannya dapat diminimalisasi sedemikian rupa.
Apabila disederhanakan upaya pengurangan risiko bencana, pada tahap awal dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam dua bentuk kegiatan dan dilakukan secara simultan.
Pertama, yang paling penting adalah mengurangi ancaman bencana, yaitu dengan cara menghindari segala tindakan yang dapat menjadi pemicu terjadinya bencana. Dalam kasus banjir misalnya, segala tindakan yang dapat menjadi pemicu terjadinya banjir harus dihindari. Seperti mengeksploitasi alam tanpa mempedulikan apa yang akan terjadi pada lingkungan itu harus dilarang secara tegas melalui penegakan hukum yang adil. Jika tidak, maka malapetaka itu terus membayangi kehidupan manusia. Contoh yang paling dekat hari ini adalah akibat hutan yang dibabat oleh manusia menyebabkan terjadi banjir, erosi, tanah longsor yang dapat merugikan manusia itu sendiri. Kasus banjir bandang Tangse cukup sebagai pelajaran, betapa dampak yang ditimbulkan pembalakan liar sangat besar.
Dalam konteks ini bencana alam harus dibaca melalui perspektif Al Quran yang secara tegas mengatakan bahwa kerusakan di muka bumi terjadi akibat ulah dan perbuatan manusia. (QS. Ar-Ruum: 41). Selanjutnya, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuura : 30)
Karenanya, ajaran Islam mengharuskan untuk menutup rapat-rapat segala celah yang dapat memicu terjadinya akibat yang lebih fatal, sebagai upaya prepentif dalam rangka pengurangan risiko bencana (sadd dzari’ah). Ada banyak hal yang pada dasarnya dibenarkan dalam Islam tetapi karena dampak yang akan ditimbulkan lebih besar maka Islam melarang tindakan dimaksud untuk dilakukan.
Ancaman bencana akibat kerusakan alam bukanlah hal yang diada-adakan. Karena, (nyaris) tak ada fenomena alam yang terjadi tanpa sebab. Hubungan sebab akibat ini berlaku bagi alam, sebagaimana kehidupan, kematian dan gejala-gejala alam lainnya. Seluruh jagad raya ini membentuk semacam mata rantai kehidupan, yang saling menghubungkan, membutuhkan, mengikat dan saling memengaruhi satu sama lain. Itulah sebabnya, Islam sangat menganjurkan agar manusia senantiasa menjaga kelestarian alam. (QS. Al A’raf: 56).
Kedua, meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Memang secara intuisi setiap orang mempunyai naluri untuk menyelamatkan diri dari bencana. Namun, dengan memahami cara-cara menghadapi bencana alam secara cerdas dan sistematis; mulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, hingga tanggap darurat maka risiko bencana dapat ditekan serendah mungkin. Dalam hal ini kemampuan dan keterampilan masyarakat harus terus ditingkatkan.
Selain itu, dampak bencana juga dapat dikurangi bahkan dihindari jika tersedia informasi yang akurat, tepat dan terkomunikasikan segera serta mampu dicerna dengan cepat. Untuk mewujudkan kondisi demikian, tidak berlebihan jika ada banyak pengamat dan pemerhati bencana mengusulkan tentang pentingnya pendidikan kebencanaan diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan kita. Tujuannya tidak hanya untuk sekedar mengetahui dan memahami bencana, tetapi yang lebih penting dan utama adalah bagaimana bisa menghadapi risiko dengan sikap siaga dan responsif terhadap bencana sehingga risiko yang fatal bisa dihindari, paling tidak dapat meminimalkan dampak yang lebih parah. Sikap demikian adalah sesuatu yang diajarkan oleh Al-Quran dalam menghadapi berbagai kemungkinan. “Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu,…!”. (QS. An-Nisa’: 71)
Sebagai negeri yang sangat rawan terhadap bencana alam, kepedulian terhadap pengurangan risiko bencana mestinya sudah menjadi prioritas program pemerintah. Karena, hanya dengan adanya keseriusan dalam melakukan pengelolaan program dimaksud maka dampak serius dari bencana dapat ditekan serendah mungkin.
Dengan upaya serius itu, diharapkan saudara-saudara kita yang berdomisili di kantong-kantong rawan bencana, mampu bertindak cekatan dan berkelit secara gesit ketika diserbu oleh bencana, seperti halnya masyarakat Simeulu ketika dihadang oleh gempa tsunami enam tahun silam. Jangan biarkan, nyawa demi nyawa anak negeri ini melayang sia-sia hanya lantaran kita tidak renponsif dan tidak siap menghadapi risiko bencana yang konon mustahil dapat dihindarkan. Sementara Al Quran melarang kita mati konyol dan sia-sia, “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al Baqarah: 195)
Pil pahit yang pernah kita telan pada gempa tsunami tahun 2004, dimana lebih dari 300 ribu nyawa melayang harus menjadi pelajaran berharga. Jika tidak maka sia-sialah Tuhan menfasilitasi manusia dengan akal. Karena martabatnya tak lebih ‘bak’ sindiran orang bijak, keledai adalah binatang yang paling dungu, namun sang keledai tidak pernah terperosok ke dalam lobang yang sama untuk kedua kalinya. Semoga![]
*Dr H Syukri Muhammad Yusuf MA, anggota Public Awareness Coordination Committee (PACC)

Sehat Kurang Berpikir Sehat

Negara Islam No, Sekularisme No!

Kuasa Sosial Media

Eksklusivisme Intelektual

‘Meme’ Kekerasan

Rasionalisasi Politik Seputar Pemilihan Umum

Anutan Ideal vs Penganut Brutal

Mukjizat Al-Qur`an


Oleh: Hamidan dan Fauzie/
 Al-Qur’an adalah kitab samawi yang terakhir yang diturunkan kepada baginda Rasullullah saw, yaitu nabi Allah yang terakhir sebagai petunjuk dan pedoman kepada umat manusia akhir zaman dalam menjalani kehidupannya di dunia pada masa lalu, saat ini dan akan datang. Al-Qur’an selain memberitakan hal-hal yang bersifat realistik atau nyata, namun banyak juga hal-hal yang ghaib dan tidak bisa dijangkau indera manusia turut diberitahukan di dalamnya. Perkara yang seperti inilah yang menjadikan al-Qur’an itu unik dan berbeda dari kitab-kitab yang lain.
Mukjizat (Ar.: al-mu’jizah = membuat orang menjadi tunduk, sesuatu yang datang kemudian, dan membuat orang menjadi lemah kerna tidak mempunyai kemampuan menghadapi sesuatu). Kata “Mukjizat” menurut Quraish Shihab berasal dari bahasa Arab أعجز yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu, sedangkan ‘ta’ marbutah pada kata معجزة  menunjukkan makna mubalaghoh (superlatif). Sedangkan menurut Manna al-Qattan, ahli tafsir dan fikih dari Mesir, mendefinisikan mukjizat dengan sesuatu yang di luar adat kebiasaan yang tidak satu tantangan pun yang dapat menandinginya. Manakala menurut Abdul Karim az-Zarqani, ahli tafsir abad pertengahan mengatakan bahwa mukjizat adalah suatu kejadian luar biasa yang dapat melemahkan manusia atau makhluk lain. Manusia biasa tidak mampu membuat tandingan yang serupa, baik secara individu mahupun secara kolektif. Menurut al-Baqillani, mukjizat bertujuan untuk membuktikan kenabian seorang nabi dan menambah keyakinan para pengikutnya. Mukjizat tersebut ada yang bersifat abadi, seperti al-qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw dan ada pula yang bersifat terbatas pada masa dan waktu tertentu, seperti mukjizat yang dimiliki Nabi Musa as dan Nabi Isa as.
Materi selengkapnya

Asbabun Nuzul

Oleh: Mad Ratimin, Ahmad Darsuki, Laras Anugrahaning Tyas/

Asbab an-Nuzul artinya sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an. Al-Qur`an merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Memahami al-Qur`an tentu saja memerlukan kajian yang mendalam. Pengkajian tersebut menghasilkan berbagai macam cabang ilmu yang terkait dengan al-Qur`an. Cabang-cabang ilmu tersebut bergabung menjadi satu, sekarang lebih dikenal dengan ulumul qur’an. Ulumul Qur`an adalah pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan al-Qur`an dari aspek turunnya, penyesuaiannya, i`jaznya, nasikh-mansukh dan lain-lain. Sangat banyak permasalahan yang harus dikaji dari aspek-aspek tersebut, antara lain aspek turunnya al-Qur`an. Aspek ini disebut dengan asbab an-nuzul.
Asbab an-Nuzul merupakan suatu aspek ilmu yang sangat penting dan harus diketahui, dikaji dan diteliti oleh para mufassirin atau orang-orang yang ingin memahami al-Qur`an secara mendalam. Untuk mengetahui tafsir suatu ayat al-Qur`an tidak mungkin bisa tanpa mengetahui latar-belakang peristiwa dan kejadian diturunkan ayat tersebut, karena ilmu asbab an-nuzul ini menunjukkan dan menyingkapkan hubungan dan dialektika antara teks dan realitas. Jadi, peristiwa turunnya ayat merupkan jalan yang kuat untuk memahami arti dan makna al-Qur`an. Sehingga, mengetahui asbab an-nuzul sangat menolong kita untuk memahami al-Qur`an. Menurut al-Wahidy (wafat pada tahun 427 H) berkata:“Tidaklah mungkin kita mengetahui tafsir ayat, tanpa mengetahui kisahnya dan sebab turunya”.
Materi Selengkapnya
Download

Dari Republiken ke Pemberontakan

Menggugat Performa Partai Politik

Cara Jogja Mengatasi Ahmadiyah

Written by Richo Andi Wibowo | Dosen Hukum Administrasi Negara FH UGM | 
Sekalipun pemberitaan tentang Ahmadiyah tidak sebombastis sebelumnya, namun sesungguhnya aturan pelarangan aktivitas jemaat ahmadiyah terus berlanjut. Sementara itu, Provinsi Jogjakarta justru tenang-tenang saja dan konsisten untuk tidak melarang kegiatan Ahmadiyah. Tulisan ini berupaya memotret mengapa kiranya hal tersebut dapat terjadi serta hal positif apakah yang dapat dipetik oleh daerah lain atas pengalaman Jogja ini.

Dalam konteks berfikir hukum (juridische denken), sebelum menyusun suatu aturan, penyusun peraturan perlu untuk menimbang aneka alasan dari aspek filosofis, sosiologis dan normatif (Ni’matul Huda, 2005). Tampaknya, terhadap tiga hal ini, Pemprov Jogja tidak melihat urgensi mengatur jemaah Ahmadiyah.
Secara filosofis, hukum hanyalah mengatur/melarang tindakan yang sifatnya kejadian konkrit seperti mencuri, membunuh, menipu, dll. Dengan demikian, hukum tidak dapat melarang apa yang di pikirkan atau yang diyakini oleh seseorang.
Padahal, konflik timbul (utamanya) diakibatkan oleh bersebrangannya keyakinan antara jemaah ahmadiyah dengan umat Islam pada umumnya dalam memandang siapakah Nabi yang terakhir. Sehingga, akar permasalahan Ahmadiyah ini terletak pada keyakinan. Suatu objek dimana instrumen hukum bikanlah instrument yang tepat untuk mengatasinya. Dengan demikian, sirnalah landasan filosofis aturan pelarangan aktivitas Ahmadiyah.
Secara sosiologis, masyarakat Jawa secara budaya memang masih meyakini ungkapan “menang tan ngasorakke” (menang tanpa mengalahkan), “nglurug tanpa bala” (menyerbu tanpa pasukan) dan digdoyo tanpo aji (sakti tanpa ajian) (Purnomo, SM, 12/07/2009).
Ungkapan diatas menunjukan bahwa masyarakat Jawa tidaklah tertarik pada kekerasan dan mengutamakan kerukunan. Maka dari itu, umat Islam Jawa juga ‘terbimbing’ untuk rendah hati terhadap kekuatan mayoritas yang dimilikinya, dan tidak akan bersikap sewenang-wenang kepada kelompok lain yang minoritas.
Diyakini, dengan demikian justru akan membuat pihak lawan hormat dan sungkan kepada umat Islam dan sangat mungkin justru tertarik untuk memplaari Islam dengan benar secara persuasif (menang tanpa mengalahkan).
Sesungguhnya, aneka kearifan lokal tersebut sesungguhnya koheren dengan strategi peperangan Sun Tzu dan sunnah Rasululah. Sun Tzu, jenderal perang dari China yang hidup 5 abad sebelum masehi menuliskan filsafat perang yang terkenal dengan nama “The Art of War”. Menurutnya, strategi perang yang paling hebat bukanlah bertempur dan menang, melainkan memenangkan pertempuran tanpa berperang sama sekali.
Rasululah pun tampaknya mencontohkan filosofi serupa. Ketika Rasul bersama kaum muhajirin dan anshar merebut kota Mekkah, maka hal tersebut dapat dilakukan tanpa ada pertumpahan darah sedikit pun. Bahkan penduduk Mekkah dilakukan dengan hormat, adil dan santun. Suatu hal yang justru membuat mereka simpati dan kemudian secara ikhlas memeluk Islam.
Singkatnya, secara sosiologis masyarakat jawa memiliki cultural guidelines yang santun yang dapat menjadi pedoman umat Islam Jawa untuk tidak melakukan kekerasan kepada kaum minoritas (Ahmadiyah). Hal ini mereka lakukan bukan saja karena mereka memang enggan berkonflik, namun karena menyadari bahwa cara ini adalah cara yang paling efektif.
Secara normatif, dasar hukum guna mengeluarkan peraturan daerah juga tidaklah kuat. Peraturan Gubernur Jawa Baray tentang Pelarangan Aktivitas Ahmadiyah misalnya menggunakan landasan hukum pasal 13 ayat (1) (c) UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasal ini pada pokoknya menyatakan bahwa Pemprov berwenang dalam hal penyelenggaraan ketertiban umum dan masyarakat.
Namun, argumentasi tersebut patut untuk diperdebatkan mengingat UU yang sama menyatakan bahwa urusan Pemerintah pusat ada 6, salah satunya adalah Agama. Bahkan, pada penjelasan Pasal 10 ayat 3 (f) UU 32 tahun 2004 tercontohkan bahwa pengakuan terhadap keberadaan suatu agama serta menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan beragama merupakan kewenangan pemerintah pusat. Sehingga, landasan normatif pemprov Jabar (dan juga daerah lain) patut untuk dipertanyakan.
Berdasarkan elaborasi diatas, dapatlah kiranya disimpulkan bahwa dengan mencermati aspek filosofis, sosiologis dan normatif (yuridis), tampak logis apabila Jogja tidak mengikuti daerah lain yang mengatur pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Pada sisi lain, dimungkinkan pula kepada daerah lain untuk mempertimbangkan cara Jogja dalam membangun tertib sosial yang –justru- tidak berbasis pada aturan hukum (legal substance), namun pada level yang lebih tinggi yaitu level budaya hukum (legal culture).Richo Andi Wibowo | Dosen Hukum Administrasi Negara FH UGM.
Artikel ini dikutip dari Aceh Institute
http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=505:cara-jogja-mengatasi-ahmadiyah&catid=74:paradigma-islam

Studi dan Dialog Antar Agama

Written by Alkaf Muchtar Ali Piyeung | Peneliti Aceh Institute dan Pegiat di Kelompok Studi Darussalam

Dalam sebuah artikelnya yang berjudul The Development and Role Religious Studies: Some Indonesian Reflections, Haidar Bagir dan Irwan Abdullah mencoba menjelaskan hal ihwal mengenai studi perbandingan agama di Indonesia, secara institusional diawali oleh gagasan Mukti Ali. Mukti Ali melakukannya di IAIN Sunan Kalijaga (kini UIN) Jogjakarta  dengan mendirikan jurusan perbandingan agama. Inisiatif yang kemudian diikuti oleh IAIN lainnya di Indonesia. Keberadaan jurusan perbandingan agama diakui telah memberikan basis kepada tradisi dialog antar agama di Indonesia. Dan sebagai lembaga awal yang menginisiasi studi antar agama di Indonesia, kini UIN Sunan Kalijaga telah mengubah orientasi metodelogi dari kajian normatif ke historis, dengan melakukan penekanan terhadap studi sosial empiris.

Pendekatan historis, empiris dan juga kritis ini dianggap mampu untuk mendamaikan truth-claim, yang datang dari pendekatan metafisis dan psikologis terhadap agama (Abdullah, 1999). Contoh pendekatan tersebut bisa dilihat dari penelitian tentang Masjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita (Mudzar, 1998), dimana penelitian tersebut berupaya memahami tentang konflik dan integrasi sosial yang awalnya ditimbulkan oleh perbedaan agama.

Dalam artikel yang sama juga dijelaskan bahwa keberadaan studi agama kemudian juga diikuti juga oleh universitas Kristen, dimana pada tahun 1990-an sudah memulai studi agama tanpa pendekatan doktrinal, sebagai sebuah pendekatan yang membedakan dengan studi teologi yang memang sudah berdiri sebelumnya. Peranan Universitas-universitas yang berbasis Kristen, seperti Universitas Kristen Duta Wacana, Universitas Kristen Satya Wacana dan Universitas Sanata Dharma dalam membangun studi agama juga dapat dilihat secara signifikan, sebab keberadaanya mampu menjembatani pemahaman antar agama. Hal ini dapat dilihat dengan penerbitan buku Memahami Kebenaran Yang Lain; Sebagai Upaya Pembaharuan Hidup Besrama (Hendri Wijayasih, et al, 2010). Buku yang merupakan persembahan untuk Pdt. Djaka Sutapa, Th.D dan keberlangsungan Pusat Studi Agama-Agama (PSAA) ini disusun secara simpatik dan ditulis oleh para sarjana baik muslim maupun Kristen.

Pendekatan secara intelektual tersebut kemudian dipercaya menjadi fondasi dalam membangun dialog antar agama di di Indonesia. Ini bisa dilihat dari usaha untuk memahami pengalaman dari masing-masing agama melalui cara pandang out-sider. Hal tersebut dapat dilihat dalam tulisan yang terdapat dalam buku di atas. Diantaranya dari Dr. Hamim Ilyas, MA dan Aris Fauzan, MA mengenai Islam-Kristen Indonesia; Menegakkan Payung Ibrahi., Atau juga bisa dibaca dari tulisan Prof. Dr. Waristo Utomo yang berupaya memahami tentang tema politik yang sensitif dalam kalangan muslim Indonesia mengenai hubungan negara dan agama melalui tulisan Sikap Kekristenan Terhadap Ide Pendirian Negara Islam. Selain dengan penerbitan buku, kampus-kampus Kristen itu juga dalam menyelenggarakan kuliah tentang agama-agama mengundang pengajar dari muslim. Trend ini tentu positif untuk mampu membangun sebuah situasi yang simpatik dalam studi agama.

Kondisi tersebut tentu menunjukkan bahwa betapa pengalaman dewasa ini memang telah menunjukkan gejala yang mengembirakan, sebab para pemuka agama, cendekiawan, pemerintah, LSM dan universitas secara aktif mengambil peran dan memberikan sumbangan yang signifikan terhadap terbangunnya relasi yang positif dan konstruktif antar umat beragama.  Namun demikian, hal tersebut masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang rumit karena hal demikian ternyata belum menyentuh lapisan masyarakat akar rumput, yang di mana di sanalah sering  terjadi gesekan akibat belum terbangunnya pemahaman yang baik mengenai hidup berdampingan dengan yang berbeda.

Beberapa kekerasan atas motif dan sensitifitas keagamaan masih juga belum hilang dari lingkungan sekitar kita. Atas klaim kelompok lain sesat, maka kekerasan dianggap sebagai jalan yang paling baik untuk menghalau ’kesesatan’ itu. Kondisi ini tentu memprihatinkan, agama yang seharusnya menjadi poros utama dari nilai-nilai kebajikan, malah menjadi alat untuk melegitimasi kekerasan.

Kita percaya, bahwa dengan hadirnya studi perbandingan agama, maka diharapkan diialog antar agama akan menjadi lebih konstruktif. Hal ini penting untuk dilakukan, sebab dialog tidak saja membuat hubungan keduanya menjadi produktif dan harmonis, namun juga bisa menyelesaikan tantangan lain yang juga dihadapi adalah semakin menguatnya fundamentalisme, kekerasan dan esklusfisme di kalangan umat beragama dewasa ini, sesuatu hal yang tentu saja ditolak oleh kaum beragama yang moderat, sebab hal tersebut bukanlah esensi dari keberagamaan dan bisa menganggu hubungan hubungan antar dan intra agama di Indonesia.

Dengan demikian, dialog antar agama, dan juga intra, haruslah didorong oleh segenap pihak, dengan berupaya untuk saling memahami keberagamaan yang berbeda serta membicarakan solusi-solusi yang dimiliki agama dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian maka menjadi tugas utama kelompok intelektual adalah harus terus merawat dengan baik hubungan antar agama dengan mengantarkan kita secara serius menyusun formula-formula toleransi yang bijak dan kuat melalui pijakan teologis dan sosio-historis.Alkaf Muchtar Ali Piyeung | Peneliti Aceh Institute dan Pegiat di Kelompok Studi Darussalam.

Artikel ini dikutip dari Aceh Institute

http://www.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=504:studi-dan-dialog-antar-agama&catid=74:paradigma-islam

Politik Sang Rektor

Sejarah Aceh dalam Film