Islam, Politik dan Pancasila

Oleh: Jusman Dalle* - 

TAK dapat dimungkiri, hingga kini Pancasila sebagai ideologi negara masih terus menuai diskursus di kalangan umat Islam. Sebagian memandang Pancasila sebagai thagut dan rentan menjatuhkan ke lembah kesyirikan, sebagian lagi bersikap akomodatif.

Pancasila yang berakar dari sejarah, agama, adab atau budaya, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang saat NKRI masih berbentuk kerajaan, diterima sebagai ideologi negara yang mengatur keanekaragaman Indonesia, (bukan ideologi yang dipaksakan untuk individu).

Perjalanan Pancasila


Diskursus tersebut tentu tidak lepas dari sejarah perjalanan umat Islam dengan Pancasila. Pancasila mula-mula digagas dan disampaikan saat Muhammad Yamin berpidato pada 29 Mei 1945. Oleh Soekarno, pada 1 Juni 1945, kemudian dikemukakan gagasan serupa dengan substansi yang sama.

Perjalanan Pancasila sebagai dasar negara tak pernah sepi dari berbagai ancaman dan penyimpangan oleh penguasa, yang oleh penulis diidentifikasi sebagai sebab musabab trauma terhadap Pancasila.

Di masa Soekarno misalnya, Pancasila dibuntuti oleh kelompok komunis yang hendak mengganti dasar negara tanpa Tuhan (negara komunis). Haluan politik Soekarno yang lebih condong ke Soviet pada waktu itu, menjadi jembatan emas kelompok-kelompok komunis untuk melegitimasi aksi-aksinya.

Termasuk juga dugaan adanya campur tangan intelijen Amerika Serikat yang memang tidak senang dengan haluan politik antikolonial Soekarno, yang notabenenya merupakan sekutu AS merupakan negeri-negeri penjajah.

Pancasila dijadikan korban. Termasuk Soekarno sebagai Presiden RI pada waktu itu, berupaya menggerakkan Pancasila untuk kepentingan politiknya. Inilah sejarah awal suramnya perjalanan Pancasila yang telah dirumuskan melalui perdebatan maraton dan alot sebagai buah pemikiran founding father bangsa. Bahkan Soekarno secara akomodaif namun penuh muatan politik, menggagas konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Sesuatu yang tidak mungkin.

Ibarat mencampur antara air dan minyak, Soekarno hendak menjadikan komunisme sebagai faham yang diterima di republik ini. Bukan itu saja, Soekarno pun mengangkat diri sebagai Presiden seumur hidup, suatu penghianatan terhadap demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Terlapas dari jasa-jasanya sebagai Proklamator dan tokoh founding father bangsa, Soekarno menciderai Pancasila.

Pancasila Soeharto, Hantu Bagi Umat Islam
Setali tiga uang, Soeharto yang pada awalnya tampil gagah membela Pancasila, termasuk propaganda Soeharto yang seolah menyelamatkan Pancasila dalam peristiwa berdarah 30 September 1965 yang kemudian dikenal sebagai hari Kesaktian Pancasila. Saat Pancasila berusaha diganti dengan komunisme -anti Tuhan- yang sama sekali jauh dari jiwa bangsa Indonesia.

Rentang waktu 32 tahun pemerintahan Soeharto, Pancasila mejadi hantu dan momok yang menakutkan bagi rakyat. Dalih menciptakan stabilitas yang membungkus niat busuk melanggengkan kekuasaan, menjadi alasan tindakan represif rezim Soeharto (Orde Baru). Kalangan santri dituduh merancang makar terhadap Pancasila, dan khususnya penguasa.

Akibatnya, umat Islam yang dijadikan korban rezim mengalami trauma sosial. Efek traumatik ini yang justru melahirkan gerakan-gerakan bertentangan dengan NKRI. Trauma yang direproduksi oleh rezim. Tak dapat dipungkiri, Pancasila lah yang menjadi tameng dan benteng kekuasaan Soeharto selama 32 tahun.

Pancasila pula yang dijadikan senjata pamungkas saat suara-suara demokratisasi mulai bergema. Namun pada akhirnya, kebatilan akan zahuq di atas kebenaran. Soeharto ambruk di Istana. Soeharto sukses mengembalikan sakralitas Pancasila sebagai momok menakutkan, yang juga secara paradoks sukses menodai Pancasila.

Reformasi, Pancasila Menghilang   
Era reformasi datang dengan membuka diri dalam ruang kebebasan yang unlimited. Demokratisasi membuka ruang partisipasi bagi siapa saja. Termasuk bagi mereka yang datang tanpa ideologi, atau mereka yang memiliki ideologi alternatif untuk menggantikan Pancasila yang dipandang tidak lagi diperlukan. Termasuk juga yang bisa membeli ideologi dengan rupiah.
   
Sekali lagi bahwa, Indonesia memasuki babak baru dalam dunia politiknya. Nahasnya, babak demokrasi ini datang ketika trauma masa lalu masih melekat dalam benak sebagian masyarakat. Termasuk juga ketika nilai-nilai ideologi Pancasila menjadi luntur oleh dinamika poliitk yag super cepat.
   
Akhirnya, muncullah berbagai jenis kelamin politik yang secara normatif menuliskan Pancasila di dalam AD/ART partainya. Namun pada kenyataannya, lagi-lagi Pancasila dibajak, kali ini beramai-ramai karena eranya demokratis. Keyakinan terhadap ketidakmampuan Pancasila untuk dilanjutkan sebagai dasar negara pun menyeruak. Termasuk dari generasi muda. Berbagai survei menguatkan keyakinan tersebut. Pancasila tidak lagi sakti.
   
Bahkan konflik sosial berlatar ekonomi, politik, dan SARA, jamak terjadi. Kohesifitas Pancasila hilang di tengah arus globalisasi yang menawarkan berbagai ideologi yang “menyenangkan”. Ditambah lagi oleh aksi akrobatik para pemimpin negeri ini yang memperlihatkan ketidakpedulian pada rakyatnya. Kekhawatiran terhadap krisis rasa kebangsaan pun terus mencuat ke permukaan.
   
Tidak saja dari data berbagai lembaga survey yang merepresentasikan ancaman tersebut, akan tetapi kita juga telah disuguhkan oleh tontonan  memilukan oleh aktor-aktor reformasi yang mengidentifikasi diri mereka sebagai elit bangsa.
   
Mengutip dari Fahri Hamzah di dalam bukunya Negara, Pasar dan Rakyat, negara yang sejatinya berperan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan dalam rangka mengakomodasi kepentingan rakyatnya, justru menjadi sosok egois dan sekedar corong aspirasi pihak-pihak tertentu. Akibatnya, kekuasaan dipandang penting dan perlu hanya bagi mereka yang diuntungkan. Maka hilanglah daya tarik negara dan segala instrumennya.
   
Sebagaimana Antonio Gramsci, kuasa mayoritas menjadi absolut adanya. Demokrasi hanya milik mereka yang memiliki dominasi kuasa yang ditopang oleh materi. Ideologi dikeranjangsampahkan.
   
Fakta ini dapat dilihat dari lemahnya kapasitas pemimpin kita. Baik secara moralitas, maupun secara leadership. Justru mereka yang menjadikan materi sebagai ideologi politik dan kebangsaannya, melenggang tanpa hambatan. Lihatlah misalnya, benih-benih politik dinasti di sejumlah derah mulai mengkhawatirkan kita. Model politik yang tidak bermuara pada ideologi, yang menjadikan kekuasaan hanya sebagai instrumen untuk mencapai kesejahteraan.
   
Tidak hanya itu, kekosongan ideologi juga melahirkan koruptor. Bahkan koruptor berjamaah kita dapat saksikan dari rombongan yang terdiri 26 mantan anggota DPR yang digelandang oleh KPK. Ini masih di DPR Pusat, belum lagi di daerah. Termasuk 155 kepala daerah dan mantan kepala daerah yang terlibat kasus korupsi.
   
Pancasila yang ke lima dasarnya relevan dengan nilai-nilai Islam tentu tidak harus ditolak secara absolut. Dari soal Tauhid pada sila pertama, jelas-jelas merupakan pokok agama Islam. Pintu masuk dan keluar dari Islam ada pada kalimah tauhid sebagai persaksian. Syahadat.

Kemanusiaan pada sila kedua, dapat kita lihat misalnya di dalam ayat “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah penataannya yang baik” (QS Al-A'raf: 56).

Persatuan pada sila ketiga , adalah perintah yang sangat ditekankan oleh Islam. Allah Swt berfirman “Berpegang teguhlah kamu sekalian pada agama Allah, dan janganlah kamu berpecah belah. Ingatilah karunia Allah kepadamu, ketika kamu dahulunya bermusuh-musuhan, lalu dipersatukan-Nya hatimu, sehingga kamu dengan karunia Allah itu menjadi bersaudara. Dan kamu dahulunya berada di tepi jurang neraka, lalu Allah melepaskanmu dari sana. Demikianlah Allah menjelaskan keterangan-keteranganNya kepadamu supaya kamu mendapat petunjuk." (QS. Al-Imran: 103)

Termasuk juga musyawarah yang merupakan intisari dari sila keempat Pancasila. Allah berfirman; “(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Syura: 38).

Dan keadilan pada sila kelima. Di dalam Al Qur’an surat An-Nisa: 135 Allah SWT berfirman “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qist (keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri…’)." Bahkan Kata ‘adl (keadilan) yang dalam berbagai bentuknya terulang 28 kali dalam Alquran.

*Penulis adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Analis Ekonomi Politik SERUM Institute


Sumber: http://kampus.okezone.com/read/2011/06/01/95/463387/islam-politik-dan-pancasila

Stukstur Sosial Islam

Oleh: Marah Halim* -

KESEIMBANGAN dalam semua aspek kehidupan adalah idealisme Islam. Islam datang di tengah situasi dan kondisi sosial yang betul-betul bobrok hingga disebut zaman jahiliyah. Strata sosial dalam masyarakat Arab jahiliyah sangat timpang. Perbudakan merajalela, kaum wanita ternista, moralitas berada di titik nadir, dan yang berlaku adalah hukum rimba, homo homini lupus.

Kedatangan Islam, menurut Fazlur Rahman dalam “Islam”-nya, pada awalnya memberikan penekanan utama pada prinsip monotheisme, tertib moral, dan keadilan sosial ekonomi. Prinsip-prinsip inilah yang membuat berang pemuka Quraisy karena menganggap prinsip-prinsip itu mengancam eksistensi mereka.

Penekanan Muhammad pada keadilan ekonomi jelas membuat tersinggung kelompok oligarkhi yang menguasai perekonomian Mekkah. Larangan riba jelas menohok dan mengancam stabilitas mereka. Karena itu, kata Fazlur Rahman, penentangan mereka terhadap Islam dilatarbelakangi oleh berbagai motivasi, tidak semuanya semata-mata karena Muhammad menentang habis tradisi mereka, tetapi juga karena kepentingan ekonomi mereka terancam. Seperti Abu Sofyan, salah satu konglomerat yang getol hendak menyingkirkan Nabi. Larangan riba jelas bertentangan dengan budaya mereka yang merentekan uang dan barang hingga berlipat ganda, bukan tanggung-tanggung, jika piutang mereka tidak diibayar, mereka akan menjadi budak si pemberi piutang. Kondisi ini amat mempengaruhi starata sosial masyarakat Arab jahiliyah saat itu.

Perjuangan panjang Muhammad akhirnya sampai juga pada titik kulminasi, di mana di akhir hayatnya ia sempat menyaksikan suatu realitas yang ideal bagi masyarakat Islam, yakni masyarakat madani (civil society). Di akhir pidato perpisahannya pada Haji Wada, Rasul Allah yang mulia ini mengulangi lagi elan vital yang dibawa Islam di atas, bahwa Islam datang untuk menegakkan prinsip-prinsip kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas. Suatu kondisi ideal masyarakat Islam telah tercapai di mana monotheisme telah tegak, moralitas masyarakat diacungi jempol, strata kelas menengah lebih banyak dari dua strata lainnya, kelas atas dan kelas bawah. Artinya kedatangan Islam adalah memperbaiki struktur lahiriyah dan batiniyah masyarakat Islam.

Struktur sosial yang seimbang jelas merupakan cita-cita setiap peradaban. Noeng Muhadjir, guru besar filsafat pendidikan di Yogyakarta, dalam salah satu ceramahnya di Banda Aceh, mengatakan bahwa sepanjang sejarah manusia, dikenal tiga model struktur sosial masyarakat, pertama adalah struktur piramida atau prisma; kedua model piramida terbalik; dan yang ketiga adalah model ketupat.

Struktur model piramida atau prisma adalah struktur yang buruk, di mana dalam struktur ini jumlah masyarakat strata sosial rendah atau miskin paling banyak. Strata ini akan meningkat secara mengerucut sehingga pada titik paling topnya, jumlah strata sosial yang super tinggi semakin sedikit. Struktur seperti ini jelas sangat timpang, dan struktur seperti inilah yang mendominasi strata sosial masyarakat dunia dulu hingga sekarang.

Struktur model piramida adalah bias dari aliran kapitalisme yang mendorong manusia memberlakukan hukum rimba. Siapa saja yang memiliki banyak kapital, boleh-boleh saja menguasai sumber-sumber produksi, tanpa batas, dan batas satu-satunya adalah kemampuan mereka sendiri.

Adalah bencana abad ini, ketika yang mengusung bendera itu adalah gembong-gembong kapitalis sejati seperti Amerika dan kroninya, fakta bahwa mereka menjadikan dunia sebagai objek kekuasaan, negara dapat dibeli, manusia diatur dengan uang, nasib manusia seolah ada di tangannya. Nafsu serakah kapitalisme telah membuat dunia dan peradaban remuk redam. Korban keserakahan yang paling anyar adalah Irak dan Afghanistan. Namun, di atas semua itu, yang paling memilukan adalah ketika virus kapitalisme itu telah betul-betul mewabah, menjadi mainstream dalam masyarakat modern. Filosofi kapitalisme itu dewasa ini terdapat di semua lapisan masyarakat, dan hasilnya adalah ketimpangan yang luar biasa.

Struktur model kedua, piramida terbalik, di mana jumlah strata tinggi dan kaya, paling banyak dan mendominasi masyarakat, hampir mustahil terwujud dalam masyarakat yang besar seperti negara. Kalaupun ini menjadi idealisme suatu masyarakat, maka untuk mewujudkannya paling bisa dalam wilayah yang terbatas dan kecil sekali. Mungkin Brunai Darussalam adalah contoh suatu masyarakat dengan kemakmuran yang tinggi, tapi, Brunai bukanlah contoh ideal masyarakat madani, sebab ia juga masih berada di bawah ketiak kaum kapitalis.

Struktur model piramida terbalik ini pula yang menjadi angan-angan aliran komunisme, seperti yang dianut oleh mantan Uni Soviet, RRC, Korea Utara, Kuba, dan kroninya. Prinsip aliran ekonomi ini adalah prinsip “maju bersama mundur bersama”, makmur sama-sama, melarat juga dibagi rata. Untuk beberapa dasawarsa, aliran ini pernah mendominasi dunia dan sempat mampir di Indonesia. Tapi, secara makro, idealisme seperti ini sulit diwujudkan. Tidak bisa dibayangkan jika potensi manusia hanya dan untuk negara, mereka tidak bebas berkreasi dan berangan-angan seperti mereka yang menganut prinsip kapitalis, semua tergantung pada negara. Ini adalah idealisme yang terlalu ideal tapi akhirnya tidak ideal, meski yang seperti itulah yang terbaik, tetapi mustahil terjadi. Bukti nyata kegagalan aliran ini adalah tumbangnya Uni Soviet, penyangga utama aliran ini.

Bagaimana dengan struktur model ketiga? Model ketupat. Demikian Noeng Muhadjir menyebutnya. Struktur sosial yang sangat elegan yang dicita-citakan adalah seperti formasi ketupat, banyak di tengah, artinya dalam struktur ini, strata menengah adalah starata yang paling banyak yang membesar dari bawah dan mengerucut ke atas. Strata bawah, kalangan ekonomi lemah merengsek ke atas semakin sejahtera menuju level menengah, mengkristal membentuk kalangan menengah-lah yang paling banyak dalam masyarakat. Setelah itu naik lagi ke atas membentuk setengah kerucut yang dihuni strata paling top, tapi jumlahnya terbatas, bukan terbanyak seperti model kedua dan tersedikit dalam model pertama.

Amat mungkin dan amat ideal. Dan itulah yang menjadi idealisme Islam. Nabi mengatakan bahwa sebaik-baik keadaan adalah pertengahan. Islam tidak pernah melarang siapapun untuk memiliki harta benda yang banyak, tapi tidak boleh memonopoli kapital sehingga merugikan orang lain. Islam juga melarang miskin dan menganjurkan giat untuk menggapai sejahtera, sebab agama hanya bisa ditegakkan dengan kesejahteraan kehidupan umat. Islam melarang penumpukan kapital pada satu-satu kelompok atau individu. Di sisi lain, Islam juga tidak merestui cara komunisme yang menggenggam dan menyamakan nasib manusia, padahal manusia dalam Islam dianjurkan dan bebas berkompetisi meraih kejayaan, dan kejayaan yang paling baik adalah pertengahan, tidak terlalu kaya dan tidak miskin.

Tiga model struktur sosial dalam masyarakat di atas dewasa ini, dalam bentuk mikro, ada dalam masyarakat dan wujud pula dalam mentalitas masyarakat. Struktur mana yang paling menonjol, amat ditentukan oleh komitmen individu dan komitmen kolektif.

Komitmen ideal adalah yang berbasis elan vital Islam. Sebab, kesemua elan vital Islam di atas saling berkaitan satu sama lain. Prinsip-prinsip yang berdimensi batiniyah seperti akidah dan akhlak, amat besar pengaruhnya terhadap prinsip-prinsip seperti persamaan ekonomi, persamaan sosial, dan solidaritas. Jika struktur model pertama dan kedua yang paling mendominasi struktur sosial kita, maka kita sebenarnya masih berada di zaman jahiliyah, jahiliyah abad modern.


* Marah Halim adalah Widyaiswara BKPP Aceh. 

Sumber: http://aceh.tribunnews.com/news/view/59380/struktur-sosial-islam

SOSOK ORIENTALISME DAN KIPRAHNYA

Oleh: Tabrani. ZA Al-Asyhi- -

Kegiatan orientalis ini bermula di Spanyol (Andalus) pada tahun ke tujuh Hijriyah ketika sedang berlakunya peperangan antara pasukan Salib dengan kaum muslimin. Maka Alfonso, Raja Kastilia, memanggil Michael Schot untuk membahas ilmu-ilmu kaum muslimin dan peradaban mereka. Lalu Schot mengumpulkan pendeta-pendeta di daerah yang berdekatan dengan kota Toli-Toli dan mereka terjemahkan beberapa buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Prancis. Kemudian Schot menyerahkannya kepada Raja Sicilia yang telah memerintahkan pembuatan naskah tersebut dan mengirimkannya ke Universitas Paris sebagai hadiah. Dan Uskup Agung Toli-Toli, Reymond Lul, melakukan penerjemahan dengan tekun. Setelah itu maka orang-orang Eropa aktif melakukan penerjemahan berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu ketuhanan, ilmu kedokteran, ilmu pasti, ilmu falak dan lain-lainnya.
Dan banyak orang yang berpendapat bahwa orientalis itu lahir dari imperialisme dan missionarisme. Imperialisme memandang bahwa pemahaman islam secara benar akan memberikan kekuatan kepada masyarakat Islam sehingga dapat menangkal kesewenangan imperialisme. Maka bekerjalah para orientalis untuk merusak akidah Islam. Mereka mencampuradukkan ide-ide dan pemikiran yang benar dengan yang salah dari negara-negara yang menang dan yang dikalahkan yang mereka sebut dengan, peradaban, keduniaan atau penyatuan kebudayaan dan pemikiran manusia.
Pada permulaan abad ke 13 hijrah (akhir abad ke 18 Masehi) kaum orientalis sengaja mengubah metode dan strategi. Mereka menggunakan metode baru yang dianggap mampu membebaskan orientalis dari tujuan missionarisme. Mereka mengarahkan program hanya untuk pengkajian ilmiah semata mata. Maka didirikanlah pengajian perguruan tinggi untuk mempelajari bahasa-bahasa Timur di ibukota negara-negara Eropa, seperti London, Paris, Leiden, Berlin dan sebagainya. Dan di sana diadakan jurusan khusus untuk mempelajari bahasa Arab dan bahasa-bahasa negeri Islam yang lain, seperti bahasa Parsi, Turki, Urdu dan lain-lain. Tujuannya ialah untuk membekali pemerintah imperialis dengan wartawan-wartawan yang piawai dan tahu seluk-beluk dunia Islam. Maka banyaklah mahasiswa muslim yang tertarik untuk kuliah di sana. Dan sudah tentu pemikiran-pemikiran tentang Islam yang dikuliahkan di sana mempengaruhi mahasiswa muslim tersebut. Selanjutnya para orientalis berusaha mengembangkan program mereka untuk mendirikan perguruan tinggi.
Bahaya yang ditimbulkan oleh kaum orientalis semakin jelas, baik dalam bidang pendidikan, kebudayaan, ataupun pemikiran. Mereka berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk mencari penyokong dan pengikut yang dapat membantu mereka menyebarkan kebohongan tentang Islam dan memerangi akidah, akhlak, dan hukum-hukum Islam sesuai dengan yang mereka inginkan.
Thaha Husein adalah termasuk kelompok pertama orang yang mengagumi dan menjunjung tinggi metode kaum orientalis. Dia mengibarkan bendera untuk membela hawa nafsu kaum orientalis. Keyakinan Thaha Husein terhadap pemikiran Barat dan orientalis melebihi keyakinan kaum orientalis itu sendiri. Begitulah dia mengikuti mereka dan merasa sangat puas hati terhadap apa yang mereka katakan, sehingga dalam masalah-masalah yang membahayakan sekalipun. Seperti pendapat mereka tentang kemanusiaan Rasulullah dan Al-Quran. Dan bukunya yang berjudul “Fisy-Syi'ril Jahili” jelas diilhami oleh pemikiran orientalis itu, meskipun dia tidak menyatakan secara terang-terangan.
30 tahun setelah benih orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, cengkeraman orientalis dalam studi Islam sudah semakin merambah ke berbagai bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya proyek-proyek pesanan negara-negara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata kuliah hermeneutika di IAIN atau UIN, hari ini, adalah salah satu bagian kecil dari imbas orientalis yang tidak bisa dianggap hal yang enteng.
Terasa lebih sayang lagi bila kita mengabaikan kajian-kajian orang di luar kita hanya karena alasan-alasan ideologis dan psikologis, bukan karena alasan ilmiah. Penolakan ideologis atas orientalisme sampai kini sangat dipengaruhi oleh kritik-kritik intelektual semacam Anwar Abdul Malik (1963), Hisyam Jaid (1978), Edward Said (1978), dan Hassan Hanafi (1981) tentang keterkaitan orientalisme dengan proyek kolonialisme. Kritik semacam ini, kini sudah sepantasnya ditinjau ulang secara kritis.
Banyak orang bahkan kaum cendekiawan Muslim, tiba-tiba silau mata. Mereka mendadak percaya orang di luar Islam yang tidak mengakui akidah Islam, untuk melihat Islam, seolah-olah orientalis lebih baik dari orang Islam sendiri. Siapa sesungguhnya mereka. Dan bagaimana kaum liberal sampai memuji-muji? nyaris tanpa kritik sedikit pun.

1. Theodor Noldeke (1836-1931)
Noldeke lahir 2 Maret 1836, di Hamburg, Jerman. Ia seorang pakar semitik Jerman yang ternama dan menyelesaikan studinya di Gottingen, Vienna, Leiden dan Berlin. Pada tahun 1859 tulisannya tentang Sejarah Al-Qur`an memenangkan penghargaan dari French Academie des Inscription. Tahun 1860, ia menuliskannya kembali, dibantu muridnya Schwally, dari bahasa Latin ke bahasa Jerman dengan judul Geschichte des Korans. Dan mempublikasikannya dengan beberapa tambahan di Gottingen.
Noldeke bisa dikatakan dedengkot orientalis. Selain ia menguasai sastra Yunani, ia juga mendalami tiga bahasa Semit, yaitu Arab, Suryani dan Ibrani. Ayahnya banyak berperanan mengarahkan Noldeke untuk mempelajari berbagai bahasa itu. Noldeke belajar bahasa Suyani kepada H Elwald, bahasa Arami kepada Bertheau dan belajar bahasa Sansekerta kepada Benfay. Ketika masih duduk sebagai mahasiswa, Noldeke sudah mulai belajar bahasa Turki dan Persia. Ia meraih gelar sarjana mudanya pada usia 20 tahun dengan karya tulisnya berjudul Tarikh Al-Quran’.
Noldeke sebenarnya mengembangkan pemikiran Abraham Geiger yang mengatakan bahwa Al-Quran terpengaruh agama Yahudi. Pertama, dalam hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin dan kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral dan ketiga tentang pandangan terhadap kehidupan. Pada tahun 1833 Geiger menulis karya dalam bahasa Jerman (dialihkan dalam bahasa Inggris) berjudul “What Did Muhammad Borrow from Judaism”.
Tulisan Noldeke tentang Sejarah Al-Quran terus direvisi oleh muridnya Friedrich Schwally dan karyanya diterbitkan dengan judul: The Origin of the Qur’an. (1909). Pada tahun 1919 ia menyelesaikan edisi keduanya dengan judul The Collection of The Qur’an. Ia juga merintis penyusunan, penyusunan buku The History of the Text. Setelah Schwally meninggal, usahanya itu dilanjutkan oleh Bergstassser dan terakhir disempurnakan oleh Otto Pretzl pada tahun 1938. Jadi buku tentang Sejarah Al-Qu`ran itu ditulis oleh ramai-ramai orientalis Jerman selama 68 tahun. Hasilnya karya itu kini menjadi karya standar dalam masalah sejarah kritis penyusunan Al-Quran bagi para orientalis. Taufik Adnan Amal, Dosen Ulumul Qur’an dan aktivis Islam Liberal, juga menjadikan karya orientalis menjadi rujukan utamanya dalam menulis buku “Rekonstruksi Sejarah Al-Quran.”

2. Ignaz Goldziher (1850-1921)
Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam. Ia lahir pada 22 Juni 1850 di Hongaria. Ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Pendidikannya dimulai dari Budhapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 dan pindah lagi ke Universitas Leipzig. Goldziher dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka saat itu yaitu Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata). Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870 dengan karyanya : “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah”.
Pada tahun 1894, ia diangkat menjadi profesor kajian bahasa Semit. Goldziher memang sangat cerdas. Pada usia 16 tahun, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Saat itu ia juga biasa membaca buku-buku tebal dan memberikan ulasannya. Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum. Ia kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih. Tahun 1889 menulis karangan tentang hadits berjudul Dirasah Islamiyah, dua juz. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Nabi Muhammad SAW. Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad. Hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya.
Dalam buku itu, Goldziher juga menyatakan: “Sesungguhnya Muhammad telah memilihkan ajaran-ajaran Islam dari agama-agama yang menonjol pada masanya, yaitu agama Yahudi, Nasrani, Majusi dan agama berhala, setelah ia melakukan penyaringan Islam tidak mampu mempersatukan bangsa Arab dan menghimpun kabilah-kabilah yang bermacam-macam kepada tata peribadatan yang satu. Menurut Prof. Jamal, tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh Goldziher itu bukan barang yang aneh. Dulu, ketika turun Al-Quran, orang-orang Musyrik juga menyatakan Muhammad seorang yang gila, tukang sihir, mendongeng palsu dan lain-lain. Al-Quran bahkan turun meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan Yahudi dan Nasrani.

3. Christian Snouck Hurgronje (1857-1936)
Orientalis ini banyak dikenal masyarakat Indonesia. Lahir di Belanda, Snouck meraih gelar sarjananya di Fakultas Teologi, Universitas Leiden. Kemudian ia melanjutkan ke jurusan sastra Semitik dan meraih doktor, ketika umur 23 tahun. Disertasinya tentang Perjalanan Haji ke Mekkah (Het Mekkanche Feest). Tahun 1884 ia pergi ke Jeddah sampai 1885, dan bersiap-siap untuk masuk ke Mekkah.
Snouck kemudian berpura-pura masuk Islam, agar bisa ke Mekkah dan menjalankan ibadah haji. Tapi enam bulan kemudian ia diusir karena terbongkar jati dirinya. Ia kemudian kembali ke Belanda sebagai lektor di Universitas Leiden hingga tahun 1887. Lalu ia tinggal di Indonesia, sebagai jajahan Belanda hingga 17 tahun, dengan kedudukan sebagai penasihat pemerintah Belanda. Ia menulis karyanya yang berjudul Makkah dalam bahasa Jerman, dua jilid (1888-1889). Selain itu, ia juga menulis De Atjehrs (Penduduk Aceh) dalam dua jilid (1893-1894).
Dalam disertasinya yang berjudul Het Mekkanche Feest, Snouck menjelaskan arti ibadah haji dalam Islam, asal usul dan tradisi yang ada di dalamnya. Ia mengakhiri tulisan dengan menyimpulkan bahwa haji dalam Islam merupakan sisa-sisa tradisi Arab Jahiliah. Pendapat Snouck memang mirip dengan Goldziher yang mencoba menarik-narik pengaruh tradisi Jahiliah, Kristen dan Yahudi ke Islam. Snouck bahkan lebih jauh mencoba mengeliminir Islam hanya menjadi agama ritual, ibadah khusus belaka. Dan mengkritik umat Islam yang membawa-bawa Islam ke arah perjuangan politik.

4. Louis Massignon (1883-1963
Ia adalah orientalis terkemuka berasal dari Prancis. Louis banyak belajar dari tokoh-tokoh orientalis terkenal, seperti Goldziher, Hurgronje dan Le Chatelle orientalis dari Prancis. Pada tahun 1906-1909 ia pergi ke Mesir dan belajar di Universitas Al Azhar. Pada tahun 1912 ia mengajar filsafat di situ dan di antara pengagumnya adalah Dr. Thaha Husein Di Timur Tengah saat itu ia juga menjadi perwira militer pada kantor Gubernur Jenderal Prancis di Suriah dan Palestina. Pengalamannya di dunia Islam itu menjadikannya orientalis yang sangat memahami politik di dunia Islam.
Tahun 1922 ia kembali ke Paris untuk menyelesaikan program doktornya di Universitas Sorbonne. Ia menulis disertasi mengenai tasawuf Islam dengan judul “La Passion d’ al Hallaj, Martyr Mystique de l’Islam” (Derita Al Hallaj, Sang Sufi yang Syahid dalam Islam). Bila para ulama Islam mengafirkan al Hallaj, maka Massignon memujinya sebagai seorang saleh yang syahid. Cerita Al Hallaj versi Massignon ini banyak diambil oleh para aktivis Islam Liberal di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Massignon selain mengkaji Islamologi, ia juga menjadi pembimbing rohani pada perkumpulan missionarisme Prancis di Mesir. Ia berusaha keras memasukkan misi Kristen pada program-program pemerintah Prancis di tanah jajahannya di Timur Tengah. Bahkan ia berusaha -sebagaimana Goldziher-memasukkan unsur-unsur Katolik dalam Islam. Di mana ia menyamakan penghormatan kaum Muslim kepada Fatimah sebagaimana pemujaan Katolik ke Bunda Maria. Massignon juga berusaha mempengaruhi rakyat Afrika Utara agar menerima niat baik politik Prancis di wilayah itu. Aliran sufi dan mistik ini banyak dianut oleh rakyat Afrika Utara dan itu sangat menguntungkan pemerintah Prancis. Ia berusaha meyakinkan rakyat Afrika Utara agar menjadi bagian dari tanah Prancis.

5. Joseph Schacht (1902-1969)
Ia lahir di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902. Ia mulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Prusia dan Leipzig. Tahun 1923 ia memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Prusia dan menjadi guru besar pada 1929. Pada tahun 1934 ia diundang untuk mengajar di Universitas Kairo, Mesir. Di situ ia mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas Kairo Mesir hingga 1939.
Schacht melanjutkan studinya di Inggris itu di Universitas Oxford dan memperoleh gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar Doktor pada tahun 1952. Ia diangkat sebagai guru besar di seluruh universitas yang ada di Kerajaan Inggris. Ia dengan kawan-kawannya mengedit cetakan kedua Dairat al Ma’arif al Islamiyah. Kemudian ia ke New York dan menjadi guru besar di Universitas Columbia dan meninggal di Amerika pada Agustus 1969.
Dalam bidang Fikih, karya Schacht antara lain: Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence
(Oxford, 1950). Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.
Guru Besar Hadits dan Ilmu Hadits Universitas King Saud, Prof Dr MM Azami menulis dua buku tentang pemutarbalikan sanad hadits oleh Schacht. Azami, dengan bukti-bukti yang otentik, karyanya dipuji orientalis Prof. AJ Arberry dari Universitas Cambridge Inggris, menulis kritik Sacht dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature (terjemahan Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya). Dalam buku itu Azami menjelaskan bahwa teori Schacht tentang Sejarah Pemalsuan Hadits banyak ditemui kesalahan dan pemutarbalikan fakta.
Selain orientalis-orientalis yang disebutkan di atas, sebenarnya masih banyak lagi orientalis lain yang pengaruhnya besar bagi dunia Islam. Seperti J. Arberry, Arthur Jeffery, Montgomery Watt dan lain-lain. Orientalis masa kini pun tak kalah banyaknya dengan zaman dahulu. Bahkan kini mereka mendirikan Islamic-Islamic Studies di Barat, untuk mendidik anak-anak cerdas Islam agar mengikuti jejak mereka. Di antara tokoh yang terkenal adalah Wilfred C Smith dan Leonard Binder. Kini, ada beberapa orientalis yang dikenal cukup akomodatif dengan Islam, meski masih ada bias-bias dalam tulisannya. Seperti John L Esposito dan Karen Amstrong. Esposito, meski banyak melahirkan karya-karya yang membela Islam, tapi ia tetap memberi cap kepada Sayyid Qutb dan Al Maududi sebagai tokoh “Islam Radikal”. Karen Amstrong menyamakan “Islam Fundamentalis” dengan Kristen Fundamentalis dan Yahudi Fundamentalis. Dan itulah yang dirujuk dan dipuja-puja kaum liberal untuk melihat Islam.

REFERENSI

A. Munir dan Sudarsono, Dasar- Dasar Agama Islam, Jakarta, Rineka Cipta, t.t
A. Tabrani, Rusyan, Pendidikan Budi Pekerti, Jakarta Timur: Intimedia Cipta Nusantara, t.t
Anwar Masy’ary, Butir-Butir Problematikan Dakwah Isamiyah, Surabaya: Bina Ilmu, 1993
Departemen Agama, Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta: Andalan Utama, 1993
Edward W. Said, Orientalisme, alih bahasa Asep Hikmat, Bandung: Pustaka, 2001
H. A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern, Bandung: Mizan, 1993
Mustholah Maufur, Orientalisme, cet.1, Jakarta: Pustaka al-Kutsar, 1995
Nilcoson, Ash-Shufiyyah Fil Islam, Terjemahan, Bandung: Rosda karya, 1998
Nur Fauzan Ahad, Orientalisme (A Short Note), Bandung: Nusa, 2007
Prof. Ahad M. Jamal, Pemikiran Liberal Salah Kapraf, Jakarta; Rineka Cipta, 1986


Mengikuti Salaf, Ideologi atau Metodologi?


Oleh Ahmad Arif* – 

Di antara berkah pasca tumbangnya rezim Soeharto di akhir abad ke 20 silam adalah munculnya berbagai gerakan keIslaman. Sayangnya, tidak semua gerakan tersebut bersifat konstruktif. Malah ada kecenderungan menguatnya entitas yang membenarkan radikalisme dan anarkisme.

Hal ini bertolak belakang dengan mayoritas muslim negeri ini yang dikenal dengan sikap moderat dan toleran. Akibatnya, bukan kebanggaan yang diperoleh umat Islam di Indonesia, yang ada malah kesengsaraan dan kenistaan. Islam pun kemudian menjadi ‘tersangka’ dan seringkali ‘ditelanjangi’ baik oleh para intelektual muslim diabolis, terlebih lagi pihak-pihak yang memang tidak suka melihat progresifitas Islam dan umatnya.

Kelompok ‘Radikal’
Memakai baju koko berwarna putih, bersorban atau berpeci, memelihara janggut, celana berwarna gelap di atas mata kaki, senantiasa meneriakkan yel-yel ‘Allahu Akbar’, dan wanitanya menggunakan burqa (cadar), merupakan ciri khas kelompok tersebut. Tak jarang, dalam berbagai aksinya mereka membawa senjata tajam, merazia tempat-tempat yang ditengarai sebagai maksiat, menutup paksa perhelatan konser musik atau yang sejenisnya, memutuskan silaturrahim dengan alasan ‘marah karena Allah’. Bahkan ada kecenderungan takfir (mengkafirkan) sesama muslim yang tidak sepemikiran dengan mereka.
Kehadiran mereka yang begitu rupa membuat banyak kalangan terhenyak dan bertanya-tanya, siapa mereka sebenarnya? Kelompok Islam dengan ciri-ciri di atas seringkali disebut kelompok ‘radikal’, ‘militan’, atau bahkan ‘ekstrimis’. Dari sekian sebutan yang dilabelkan terhadap mereka, satu hal yang patut digarisbawahi bahwa mereka memang kelompok ‘garis keras’ yang dalam tujuannya tidak mengenal kata kompromi (no compromise). Namun juga harus diingat bahwa kemunculan mereka dalam kancah politik nasional berkaitan dengan perkembangan pemahaman keIslaman yang disebut salafiyah (salafisme).
Banyak ahli yang berpendapat bahwa kemunculan kelompok-kelompok Islam garis keras sekarang ini berkaitan dengan reformulasi pemahaman salafiyah yang mengajarkan umat Islam agar mencontoh perilaku Nabi Muhammad dan para sahabat secara totalitas. Gerakan salafiyah yang pada awalnya menekankan pada pemurnian akidah, mengalami metamarfosis pada abad ke-20 menjadi tidak hanya gerakan furifikasi keagamaan semata, tapi menjadi motivasi perlawanan terhadap berbagai paham yang mereka nilai tidak sesuai dengan ruh Islam.

Bukan Mazhab
Dari sekian banyak literatur yang mengupas tentang keberadaan salafiyah di atas, karya Dr. Sa’id Ramadhan al Buthi, as Sasafiyah; marhalah zamaniyah mubarakah la mazhab Islami (Salafiyah; periode historis yang penuh berkah, bukan mazhab Islami) merupakan kajian yang diakui banyak kalangan sangat brilian. Salah satu di antara mereka adalah Fahmi Huwaidi, kolomnis senior pada harian al Ahram Mesir yang beberapa decade silam sempat menjadi jubir kaum sekuler-liberal disana. Tapi, setelah berinterkasi secara pemikiran dan personal dengan al Qaradhawi, Muhammad al Ghazali dan Syaikh al Buthi, pemikirannya kembali kepada Islam wasthy (moderat) yang menjadi mainstreaming mayoritas umat.
Menghormati salaf adalah wajib, tapi menganut mazhab salafiyah adalah bid’ah. Demikian pokok pikiran yang dijelaskan dalam buku itu. Salafiyah sebenarnya tidak memiliki pilar yang lengkap untuk menjadi sebuah mazhab. Akan tetapi, siapa pun tidak dapat mengingkari bahwa di tengah masyarakat Islam terdapat orang-orang yang mengusung panji aliran ini. Kita menghormati mereka, namun penghormatan itu tidak lantas menghalangi kita untuk mendiskusikan pandangan mereka.
Secara terminologis, kata salaf mengacu kepada orang-orang dari tiga abad pertama sejarah Islam yang meliputi generasi para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. “Islam mengajarkan untuk mengikat akal dan tindakan kita dengan ikatan loyalitas kepada salaf, meneladani mereka, setia kepada kaidah-kaidah mereka dalam memahami nash, dan tidak keluar dari prinsip keyakinan dan aturan tingkah laku yang disepakati oleh mereka semua atau oleh sebagian besar mereka” (hal. 11).

Gineologi
Slogan salafiyah pertama-tama muncul di Mesir bersamaan dengan lahirnya gerakan reformasi keagamaan pada akhir abad 19 dan awal abad 20 yang dipelopori oleh Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh, lalu dilanjutkan oleh Rasyid Ridha, Abdurrahan al Kawakibi, dan lain-lain. Pada masa itu, dekadensi akut melanda masyarakat ditandai dengan berkembangnya pelbagai bid’ah dan khurafat. Para penyeru reformasi tersebut berupaya memperbaiki dan membangkitkan kembali umat Islam dengan cara mengembalikan mereka kepada kesejatian Islam.
Setiap misi reformasi harus memiliki slogan tertentu yang menjadi manifestasi substansi tujuannya dan mampu menarik perhatian masyarakat, maka slogan yang dipakai oleh tokoh pembaharu itu adalah ‘salafiyah’. Pada masa itu, ‘salafiyah’ berarti seruan untuk membersihkan pelbagai polusi akidah yang mengotori kesejatian Islam. Dalam pengertian itulah slogan ini lahir, diadopsi, dan disebarkan. Ia tidak menunjukkan lahirnya mazhab Islam yang baru. Tapi, sekadar identitas sebuah dakwah dan deskripsi sebuah metode.
Seiring dengan waktu, slogan salafiyah seperti uraian di atas mengalami degradasi. Slogan yang sedianya dimaksudkan untuk merefleksikan ketundukan kepada konsepsi ahlussunnah waljama’ah, berubah menjadi slogan sekelompok orang yang berpegang teguh pada beberapa pendapat, dan menganggap pendapat mereka sebagai pembeda antara yang mendapat petunjuk dengan yang sesat.

Sikap terhadap Salaf
Ketundukan kepada salaf tidak dilakukan dengan cara pemasungan diri pada tekstualitas kata-kata atau pendapat-pendapat parsial yang mereka lontarkan. Karena, mereka tidak melakukan hal tersebut melainkan dengan cara merujuk kepada kaidah dalam menafsirkan dan menakwilkan nash serta landasan ijtihad dan kajian terhadap prinsip moral dan aturan hokum. “Merujuk kaidah dan landasan tersebut adalah kewajiban kaum muslim di setiap masa, baik salaf maupun khalaf (penerus). Ini adalah karakteristik umum dan benang merah yang menyatukan umat kapan dan dimana saja. Salaf tidak memiliki keistimewaan apapun dalam hal ini dibandingkan dengan khalaf, kecuali karena merekalah pionir dalam melihat dan merasakan besarnya kebutuhan terhadap kaidah tersebut, lalu bekerja keras dalam mengkaji dan membukukannya” (al Buthi, hal. 12)
Dengan demikian, adalah salah besar jika kita menjadikan kata salaf menjadi istilah baru yaitu salafiayah, lalu menjadikannya sebutan khusus bagi sekelompok orang yang mengklaim pengertian tertentu darinya, sehingga menjadi sekte Islam baru selain sekte-sekte yang telah ada dengan jumlah sangat banyak dan saling bertentangan. “Jadi, tidak ada sesuatu pun yang dapat dijadikan patokan untuk berafiliasi kepada sekte mereka (seandainya mereka –salaf- mempunyai sekte). Fakta menyatakan juga bahwa metode mereka dalam memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah, yang sekarang disebut ushul fiqh, adalah metode semua umat Islam, dan bukan simbol afiliasi kepada kelompok tertentu” (hal. 22).
“Berideologi salafiyah berarti menganggap salaf memiliki mazhab khusus dan menganggap hanya penganut mazhab ini yang merepresentasikan dan memperjuangkan hakikat Islam. Dengan konsepsi seperti ini, Islam menjadi pengekor bagi mazhab dan tokoh salafiyah. Sedangkan mengikuti metodologi salaf berarti menghormati mereka yang telah tunduk kepada Allah dengan ikhlas dan komitmen dengan ajaranNya dengan jujur. Juga berarti mengikuti mereka dalam memahami Islam dan meneladani metode mereka dalam memahami kitab dan sunnah. Jadi, pada hakikatnya, yang menjadi leader tetaplah Islam, dan yang menjadi poros dan asas tetap metode periwayatan dan pemahaman Islam” (hal. 222)
Sebagai penutup, kita tidak meminta saudara-saudara kita tersebut untuk menanggalkan pendapat mereka. Kita hanya mengingatkan mereka untuk tidak menjadikan pendapat mereka sebagai satu-satunya manifestasi agama yang benar dan menganggap pendapat lain sebagai kekafiran, kemusyrikan dan kesesatan. Mereka harus menyadari bahwa dalam masalah ijtihadiyah, kita dapat menganut pendapat apa saja, asal tetap berada di dalam kerangka metode yang disepakati bersama. Wallahu a’lam

*Penulis adalah peminat kajian sosial keagamaan, alumni Fakultas Syariah UIN Jakarta

DEMOKRASI DAN PLURALISME POLITIK


Oleh: Tabrani. ZA Al-Asyhi* -

Keberadaan kekuasaan negara tidak terpisahkan dan bahkan berhubungan secara langsung dengan kekuasaan rakyat.  Penyaluran kekuasaan rakyat dari berbagai jalur pada akhirnya bermuara pada dua jalur inti yaitu jalur partai politik dan non partai politik. Hierarki nilai demokrasi pada puncak tertinggi adalah pluralisme politik. Menurut Ronald H Chilcote (ahli perbandingan politik), bahwa dalam pluralisme politik, nilai demokrasi disandarkan pada keragaman kepentingan dan penyebaran kekuasaan. Inti dari teori ini merujuk pada konsep dasar demokrasi di mana rakyat dengan berbagai kelompok dan beragam kepentingannya diperkenankan untuk menguasai negara melalui berbagai jalur kekuasaan yang telah dibentuk dan dimiliki oleh negara. Seluruh jalur kekuasaan yang telah membentuk kekuatan negara pada prinsipnya paralel dengan jalur kekuasaan yang dimiliki rakyat.

Pluralisme politik adalah ruang demokrasi yang mampu membuka sumbatan-sumbatan agar kekuasaan dari berbagai kelompok rakyat dapat mengalir dengan bebas menuju penguasaan rakyat terhadap negara. Demokrasi telah menjamin bahwa pluralisme politik dalam sebuah negara tidak akan melahirkan negara totaliter, tidak akan menciptakan sentra kekuasaan pada golongan tertentu (seperti pada masa orde lama dan orde baru Indonesia). Tidak boleh ada niat apa lagi tindakan dari kelompok rakyat tertentu untuk mendominasi kelompok rakyat yang lain dalam sebuah sistem kekuasaan negara, baik kekuasaan negara di tingkat nasional (pemerintah pusat) atau kekuasaan negara di daerah (pemda). Dalam dimensi pluralisme politik, seluruh rakyat melalui berbagai jalur “entitas” dan komunitasnya harus diberi  jalan untuk mengendalikan kekuasaan atau mempengaruhi kekuasaan. Melalui jalan tersebut rakyat dapat mengirim orang-orang yang telah dipilih untuk masuk ke lembaga legislatif dan eksekutif.

Hari ini Indonesia telah memberi hak kepada rakyatnya untuk dapat masuk ke dalam lembaga pemerintahan baik melalui jalur parpol dan non parpol. Di samping rakyat parpol, rakyat non parpol  bisa masuk parlemen sebagai anggota DPD RI, dan rakyat non parpol juga bisa jadi gubernur, bupati/walikota melalui jalur independen. Kedua kelompok rakyat ini telah diberi hak yang sama oleh negara untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan.

Perwakilan kekuasaan rakyat di negara kita disebar (di distribusi) ke dalam dua lembaga; legislatif dan eksekutif. Kekuatan kedua lembaga ini begitu besar karena mereka tergabung bersama dalam membuat berbagai keputusan negara/undang-undang untuk dijalankan oleh eksekutif; artinya dibahas bersama, diputuskan bersama, baru kemudian dijalankan oleh eksekutif. Sistem distribution of power  yang dianut di Indonesia telah membangun fungsi legislatif dan eksekutif sebagai Pemerintah bersama bukan sebagai musuh bebuyutan yang saling ingin menjatuhkan. Jika pun semangat ingin “berkonflik” ini mau diteruskan, maka rubah dulu UUD 45 yang mengatur sistem politik Indonesia dengan pola pembagian kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif menjadi  pola pemisahan kekuasaan dari ketiga lembaga tersebut.

Kondisi ini berbeda dengan negara-negara yang menganut konsep separation of power (pemisahan kekuasaan) antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, seperti di Eropa dan Amerika, ada ketegasan fungsi tugas yang jelas pada masing-masing lembaga tersebut. Fungsi legislatif sebagai pembuat kebijakan, dan eksekutif sebagai eksekutor (pelaksana kebijakan).  Sistem politik Indonesia dengan pola distribusi kekuasaan telah membangun hubungan rumit antara legislatif dan eksekutif. Mengutip pendapat guru besar ilmu politik Universitas Indonesia, Prof. Dr. Nazaruddin Syamsuddin yang menyatakan bahwa sistem politik Indonesia adalah “banci”; maksudnya sistem politik negara kita tidak jelas, diumpamakan bukan sebagai  laki-laki dan juga bukan sebagai perempuan.

Akibat dari sistem “banci” ini maka kedua lembaga ini di Indonesia tidak pernah berdiri kokoh dalam menjalankan fungsinya. Hubungan kedua lembaga ini menjadi semakin rumit jika dikaitkan dengan konsep pluralisme politik di mana nilai demokrasi disandarkan pada keragaman kepentingan dan penyebaran kekuasaan. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai bentuk hubungan “rumit” antara legislatif dan eksekutif yang dipertontonkan oleh para elit politik parlemen dan elit politik eksekutif baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Dalam membahas anggaran misalnya, yang terlihat dominan adalah hubungan negatif (kolaborasi kepentingan) dan hubungan konflik (saling memaksa mempertahankan kepentingan).

Di tingkat DPR-RI misalnya mencuatnya kasus hak angket century dan hak angket mavia pajak. Sedangkan di tingkat daerah sering kita melihat keterlambatan “ketok” palu (pengesahan) APBD disebabkan penyesuaian kepentingan elit. Dan terakhir yang paling hangat di Indonesia adalah para anggota DPR RI yang studi banding ke luar negeri yang menurut saya di sini “tidak ada manfaatnya”. belum lagi masalah pembangunan gedung baru DPR RI yang banyak menuai kontroversi. Di sini kita melihat bahwa semua itu semuanya adalah sarat dengan kepentingan pribadi dan kelompok.

Di sini saya penulis melihat keadaan Aceh, yaitu keinginan Gubernur Aceh sebagai pimpinan eksekutif agar raqan pilkada Aceh harus mengakomodir keinginan rakyat non parpol (independen) untuk dapat maju sebagai calon kepala daerah, sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia. Usulan Gubernur sebenarnya bukan keinginan Irwandi Yususf (jika dikaitkan dengan Irwandi Yusuf yang ingin maju sebagai calon gubernur dari jalur independen), tetapi keinginan mayoritas rakyat Aceh dalam dinamika pluralisme politik Aceh.

Tapi kenapa DPRA masih bersikeras menolak usul Gubernur?  Pertanyaan ini akan terjawab bila kita kaitkan dengan keberadaan sistem politik “banci” yang diterapkan di Indonesia, sementara aliran pluralisme politik ingin terus mencapai nilai-nilai demokrasi ideal dalam struktur dan lembaga politik negeri kita yang “kabur”. Dibukanya jalur independen secara nasional adalah upaya meredam “kebanci-an” sistem politik kita yang masih menciptakan jarak antara rakyat dan pemerintah, akibat dari lebih dominannya kekuasaan parpol dibanding dengan kekuasaan rakyat di dalam lembaga-lembaga kekuasaan negara. Diharapkan akan terciptanya balancing of power antara lembaga eksekutif yang dipimpin oleh rakyat non parpol dan lembaga legislatif yang diisi oleh rakyat parpol.

Sementara di Aceh hari ini anggota parlemen di lembaga legislatif Aceh mempertontonkan diri bahwa mereka belum ingin atau mereka sesungguhnya belum siap memasuki fase high level democration value, meski Aceh adalah sebagai pelopor jalur independen yang kini sedang bergemuruh dilaksanakan di Indonesia. Jika Gubernur sebagai wakil rakyat di lembaga eksekutif mengusulkan calon independen untuk disepakati bersama dalam Qanun Pilkada, sebenarnya Gubernur hanya meneruskan usulan dari semangat pluralisme politik yang menghendaki meningkatnya nilai demokrasi dalam berbagai pilar kekuasaan politik rakyat pada di setiap lembaga kekuasaan negara di daerah. Dan apabila ada gerakan penolakan dari elite legislatif Aceh saat ini, itu juga karena semangat pluralisme politik yang ingin mempertahankan jalur kekuasaan politik berdasar  kepentingan dan ideologi parpol yang mereka yakini. Terserah, semangat pluralisme politik yang mana yang paling diinginkan oleh mayoritas rakyat Aceh.

Masalah yang hampir serupa juga terjadi di Yogyakarta yang (oleh Pemerintah Pusat) “meng-kentut-kan”  keinginan rakyat. Karena menurut hasil survey oleh salah satu lembaga survey di Indonesia, bahwa mayoritas rakyat Yogyakarta adalah memilih penetapan. Tapi kenapa pemerintah pusat dan DPR RI masih belum mengesahkan RUU Keistimewaan Yogyakarta? Kenapa masih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan, bukan kepentingan rakyat? Kenapa tidak mau meneruskan usulan dan keinginan rakyat? Perlu diingat bahwa Rakyat adalah Raja.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta


Sumber: 
Tulisan ini telah dipublikasikan oleh:http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=111&Itemid=57

Mengawal Akidah dari Lembaga Pendidikan

Oleh: Teuku Zulkhairi - -

Ditengah dahsyatnya ‘serbuan’ paham-paham yang merusak akidah masyarakat Aceh, dibenak kita muncul satu pertanyaan; sejauhmana peran lembaga pendidikan formal di Aceh membentengi akidah umat? Jika kita telaah lebih lanjut, ternyata pendidikan agama khususnya pelajaran akidah dan pelajaran-pelajaran dasar keislaman lainnya masih dianggap tabu untuk diajarkan di sekolah-sekolah umum dan bahkan sekolah agama sekalipun. Kita bisa melihat, hingga hari ini, berapa lama jam pengajaran pendidikan Islam diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi umum? Misalnya mata pelajaran pokok Islam seperti Sirah Nabawiyah, Tauhid/Akidah, Alquran/Ulumul Quran, Tafsir, Hadist/Ulumul Hadist, Ushul Fikh/Fikih dan sebagainya. Ada sekolah yang bahkan hanya memberikan waktu sebanyak 2 jam untuk quota pengajaran agama Islam per pekannya.
Bahkan, beberapa mata pelajaran pokok Islam ini cenderung menjadi mata pelajaran kelas dua pada sekolah-sekolah umum dan bahkan di madrasah agama sekalipun. Maka kemudian munculnya komunitas masyarakat atau mahasiswa yang mengartikan Islam secara serampangan yang berakhir dengan goyahnya akidah mereka adalah sebuah konsekwensi logis. Kasus-kasus seperti ini misalnya terlihat dari pemaknaan konsep Ad-Din yang tidak dimaknai sebagai 'Agama' oleh komunitas Millata Abraham. Begitu juga dengan tekad komunitas tersebut untuk menggabungkan ajaran agama-agama samawi seperti Kristen dan Yahudi di dunia kedalam agama tersebut. Kasus lainnya misalnya terlihat dari pola pikir komunitas Islam liberal yang menganggap kebenaran itu relatif. Semua agama mengajarkan kebenaran. Inilah efek ketika pelajaran pendidikan Islam tidak lagi menjadi perhatian lembaga pendidikan formal, diperhatikan namun masih begitu minim.
Disisi lain, selama ini mata pelajaran umum juga belum disajikan secara Islami. Misalnya mata pelajaran IPA, IPS, belum ada petunjuk yang konkrit untuk para guru bagaimana menyajikan pendidikan umum yang selalu relevan dengan nilai-nilai Islam, sehingga para peserta didik memahami betul bahwa pelajaran yang diajari juga memiliki kaitan dengan pendidikan Islam. Dengan realita seperti ini, alhasil, sekali lagi, lahirnya produk-produk pendidikan yang buta dengan agamanya, atau hanya beragama dengan pikirannya menjadi konsekuensi yang sangat logis. Selain itu, berbagai ketimpangan yang terjadi selama ini, baik pada ranah individual, masyarakat maupun tatanan negara yang merongrong mimpi kita melihat Islam jaya di Aceh terjadi justru karena nilai-nilai pendidikan Islam belum diterapkan secara sempurna di lembaga pendidikan formal, atau bahkan tidak diterapkan sama sekali.
Di perguruan tinggi bahkan lebih ironis lagi, dengan alasan belajar di jurusan umum tertentu, pelajaran agama Islam hanya diajari saat semester pertama atau bahkan tidak pernah disentuh sama sekali. Para mahasiswa hanya mendapatkan ilmu-ilmu keislaman dari halaqah-halaqah, kajian-kajian keislaman dan sebagainya. Itupun terbatas hanya bagi mahasiswa yang seriua menuntut ilmu. Cukupkah?  tentu tidak. Lembaga pendidikan seharusnya menyediakan ruang bagi mahasiswanya untuk mempelajari Islam hingga selesai perkuliahan. Karena Aceh membutuhkan produk-produk pendidikan yang tidak hanya menguasai bidang keilmuan umum saja. Tetapi juga memiliki wawasan keIslaman (tsaqafah Islamiyah) dan komitmen keIslaman(wala’ dan bara’) yang memadai.
Kondisi dengan segala carut marut ini ternyata merupakan buah dan produk dari sistem pendidikan sekuler Indonesia yang diwarisi dari semangat kolonialisasi era penjajahan oleh para tokoh titipan kaum kolonialis. Fakta ini semakin mempertegas urgensitas Islamisasi pendidikan di Aceh. Sistem pendidikan Indonesia yang sekuler-materialistik ini sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik  tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Maka. Sampai disini Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of Knowledge) sudah seharusnya menjadi perhatian utama para ulama dan umara di Aceh ke depan untuk kemudian dijadikan sebagai agenda utama dalam proses penerapan syariat Islam di Aceh. Sebab, tidak diragukan lagi bahwa hanya dengan pendidikan Islam yang komperhensif pintu gerbang kebangkitan Islam dan umatnya bisa dibuka. Hanya dengan Islamisasi Pendidikan cita-cita syariat Islam yang kaffah di Aceh menjadi mungkin untuk diimpikan. Hanya dengan masuknya nilai-nilai Islam di semua level lembaga pendidikan akidah umat bisa terus dikawal.
Secara normatif, Islamisasi pendidikan di Aceh seperti ini sesuai dengan kultur masyarakat Aceh yang kental dengan nilai-nilai keislaman. Secara yuridis, Islamisasi pendidikan ini di Aceh bisa dimulai dari kurikulum pembelajaran karena didukung oleh Qanun Pendidikan yang merupakan turunan dari UUPA (Undang-undang pemerintahan Aceh). Dalam Qanun nomor 5 tahun 2008, pada pasal 35 disebutkan; (1) Kurikulum yang digunakan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan standar isi nasional dan muatan lokal yang dilaksanakan secara Islami. (2) Kurikulum yang dilaksanakan secara islami sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah seluruh proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah.
Menyimak ayat 1 dan 2 pasal 35 tersebut, sebenarnya sudah secara jelas meniscayakan agar semua stakeholderpendidikan di Aceh serius mewujudkan semua usaha islamisasi pendidikan pada semua lembaga pendidikan di Aceh dan di semua levelnya yang dimulai dengan menata kembali kurikulum pendidikan Islam. Khususnya di lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah dan perguruan tinggi umum. Disini, peran eksekutif dan legislatif juga sangat dituntut untuk benar-benar menaruh perhatian yang ekstra terhadap perjalanan pendidikan Islam di Aceh. Baik dari sektor finansial maupun sektor lainnya. Sebab, tujuan mereka diangkat sebagai legislatif dan eksekutif sendiri adalah untuk mewujudkan semua harapan rakyat yang dalam hal ini diterjemahkan ke dalam qanun-qanun dan aturan lainnya yang telah disepakati oleh rakyat.
Dalam urusan pendidikan ini, dengan keistimewaan yang kita miliki, Aceh mestinya sudah meninggalkan total semua model pendidikan sekuleristik-materialistik ala Indonesia. Secara paradigmatik, konsep pendidikan di Aceh harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum, dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sesuai dengan amanah qanun diatas. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas. Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimalisasi pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqafah/wawasan Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi, dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.
Dengan Islamisasi kurikulum di lembaga pendidikan ini, ke depan kita berharap agar paham-paham dan agama imporan yang merusak akidah umat bisa diantisipasi. Selain itu, Islamisasi kurikulum lembaga pendidikan ini nampaknya juga akan merubah paradigma kita bahwa syariat Islam di Aceh bukan hanya berbicara tentang pidana (jinayah) saja, tapi juga syariat Islam yang bisa membentuk manusia yang siap menjalani hukuman, syariat Islam yang bisa membawa umat ini menuju kemajuan dan kejayaan, kekokohan akidah, mental yang kuat, mandiri dan sejahtera secara ekonomi dan sebagainya.Tentunya, semua ini hanya bisa diwujudkan jika eksekutif dan legislatif kita menaruh perhatian yang ekstra, bukan hanya retorika menjelang pilkada. Wallahu a’lam bishshawab.Teuku Zulkhairi | Mahasiswa Program Studi Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Sumber:
http://acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=539:mengawal-akidah-dari-lembaga-pendidikan&catid=74:paradigma-islam

Islam dan Konsep Pluralisme Agama

Oleh: Novendra DJ - -

Bagian dari persoalan penting umat Islam adalah memahami dengan baik tentang gagasan (konsep) ‘pluralisme’ yang sejalur dengan totalitas pandangan dan keyakinan agama ini. Apa makna dan bagaimana Islam mendudukkan gagasan ini secara proporsional? Sehingga menerima pluralisme tidak bertabrakan dengan aqidah yang membentuk keyakinan Islam itu sendiri.

Istilah ‘pluralisme’ secara umum merujuk pada suatu cara pandang yang berorientasi kemajemukan (kejamakan). Gagasan ini dicangkokan pada berbagai ranah atau berbagai subjek pengetahuan, kemudian mengkristal sebagai suatu isme tersendiri. Namun tulisan ini hanya memfokuskan pada ranah kemungkinan Islam menerima dan memposisikan konsep tersebut terkait eksistensi agama-agama lainnya.



Mengingat ada perkembangan wacana pluralisme di Indonesia akhir-akhir ini dominan dengan gagasan teologi inklusif. Hal demikian sebenarnya bagian dari merespon arus globalisasi yang memaksa para intelektual agama-agama menyelesaikan berbagai perselisihan dan konflik berbasis keyakinan agama. Ini juga sepertinya agama terlanjur ditasbihkan sebagai sumber dan pemicu konflik sosial dan negara. Walaupun fakta dominin menunjukkan faktor kesewenangan kelas sosial, kesenjangan ekonomi dan penindasan yang terajut dalam ketidakadilan sosial adalah muara konflik.



Pluralisme Atas Dasar Kesamaan Tujuan Puncak

Diatas basis pandangan pluralisme, beberapa kalangan meyakini keberagaman adalah kemestian. Hal ini tidak terkecuali terhadap kehadiran ragam agama ditengah-tengah manusia. Kehadiran berbagai agama adalah respon manusia yang beragam (saling berbeda) atas Tuhan sebagai Realitas Absolut. Keberbedaan ini muncul dikarenakan ketidaksamaan pengalaman dan rentang sejarah yang dijalani berbagai individu dan kelompok manusia. Atas dasar itu, wajar ada keberagaman perspektif  ditengah-tengah manusia dalam memahami dan memberi reaksi atas Wujud Mutlak, yang sesungguhnya semua agama berorientasi kepadanya.

Dengan demikian, tidak layak bagi suatu kelompok penganut agama tertentu menegasikan (menyalahkan) makna yang dikandung oleh agama-agama lain diluarnya. Ini termasuk persoalan nilai kebenaran dan keselamatan yang ada dalam seluruh ajaran agama-agama. Setiap persepsi dan penerapan dari berbagai agama tersebut memiliki nilai tersendiri yang dapat mengacu pada tujuan tunggalnya. Artinya, tidak ada monopoli, baik dalam tingkatan interpretasi maupun aplikasi praktisnya.

Orientasi pluralisme agama – dalam pengertian pertama ini – dapat dimaknai bahwa tidak ada klaim ekslusif  terhadap kebenaran yang dapat diterima. Bahwa suatu agama memandang hanya padanyalah  kebenaran dan selainnya adalah sesat dengan sendirinya tertolak. Karena masing-masing agama memiliki hakikat tertentu bersama nilai kebenarannya tersendiri. Masing-masing agama menyimpan keagungan yang layak bagi semua orang menjadikannya sebagai sandaran.

Jhon Hick melihat agama-agama besar – dalam jejak sejarahnya – adalah pembentuk keberagaman persepsi atas berbagai cabang dari masing-masing agama tersebut. Ini timbul karena adanya pengalaman-pengalaman keagamaan berbeda dialami masing-masing agama tersebut, yang membingkai ruang budaya khasnya satu sama lain. Keberagaman persepsi tersebut sesungguhnya menunjuk pada satu puncak hakikat misterius. Karenanya – menurut tokoh pluralisme agama kenamaan golongan Kristen ini – pencerapan berbagai pengalaman keagamaan dari masing-masing agama besar tersebut memperlihatkan adanya hasil-hasil moral dan spiritual yang dapat dikatakan sama. (Menggugat Pluralisme Agama, AR. Gulpaigani, terj. Muhammad Musa, hal. 14-15).

Pluralisme Atas Dasar Realitas Sosial

Makna lain pluralisme agama terkait dengan orientasi kehidupan sosial, atau pada penghargaan atas berkeyakinan dan hak setiap orang dalam pengekspresian agamanya masing-masing. Realitas sosial menuntut setiap orang atau tiap-tiap agama membangun batasan-batasan ranah sosial untuk tidak berbenturan antara satu dengan yang lainnya. Makna dari pluralisme ini tidak mencakup kolektifitas kebenaran dan keselamatan sebagai suatu keyakinan umum dan mendasar bagi setiap agama. Karena dua hal tersebut (kebenaran puncak dan fakta sosial) berada pada posisi yang terpilah secara proporsional.

Islam – sebagai agama samawi terakhir untuk manusia – mesti menunjukkan ia adalah satu-satunya yang dapat diterima sebagai kebenaran. Ia juga mesti bisa memastikan keyakinan umat atas agama ini memiliki landasan kukuh sebagai jalan keselamatan. Jika tidak, bagaimana Islam bisa mendakwahkan dirinya sebagai kebenaran dan jalan keselamatan yang mesti ditempuh manusia? Padahal sudah ada agama-agama samawi lain yang hadir kedunia dengan tawaran yang sama. Apa artinya kehadiran Islam dan diperjuangkan eksistensinya dengan berbagai kemampuan yang ada, hingga mesti membayarkannya dengan nyawa dan darah?

Demikian juga Kristen dan Yahudi, dengan alasan apa agama ini mesti dipertahankan? Bagaimana mereka bisa menunjukkan ia senantiasa relefan diusung sebagai kebenaran dan jalan keselamatan? Mengapa pula agama-agama ini mesti menjaga umatnya agar tidak keluar darinya?. Bahkan lebih dari itu, Kristen mesti melihat bahwa umat diluarnya adalah “domba-domba tersesat”. Artinya, setiap agama mesti memiliki keyakinan atas kebenaran dan keselamatan secara ekslusif adalah miliknya. Tidak hanya sebatas perasaan dan mengkondisikan suasana psikologis semata. Namun ia mesti hadir ditingkat argumen-argumen rasional-niscaya dan dapat diterima manusia.

Pluralisme dari Aspek Vertikal dan Horizontal

Sisi lain yang mesti dilihat dari makna pluralism agama adalah aspek vertikal dan horizontalnya. Ini terbatas pada agama-agama samawi belaka. Maksudnya. Seluruh bangunan teologi dan syariat yang berlaku diantara agama-agama samawi memiliki sumber yang sama dan diturunkan oleh realitas puncak yang sama pula. Tidak ada persoalan terkait dengan kebenaran dan jalan keselamatan yang dilalui para penganutnya. Karena tidak ada kontradiksi terkait bangunan teologi yang ada pada Islam, Kristen dan Yahudi, sebab bersumber pada Yang  Satu. Sedangkan syariat dari masing-masing agama tersebut berbeda satu sama lain, dimana dari segi penerapannya memiliki konteks waktu yang berbeda-beda.

Secara terpisah kita mesti melihat bahwa keberagaman syariat tersebut tidak dapat berlaku dalam kondisi bersamaan. Karena sumber yang menurunkan syariat, keputusannya adalah dalam posisi menggantikan antara satu dengan yang lain sesuai fase penurunannya. Keberlakuan yang satu dengan niscaya membatalkan yang lain. Namun dari sudut pandang teologis tidak ada perubahan atau pereduksian yang dapat diterima. Karena cara pandang dan kebenaranya senatiasa tunggal.

Harmoni Islam dengan Pluralisme

Dari uraian tiga bentuk gagasan pluralisme diatas, Islam secara proporsional dapat menerima bentuk kedua dan ketiga. Dasar konsepsinya adalah ketiadaan kontradiksi antara realitas tunggal dan kebenaran absolut dengan fenomena keberagaman yang tak terhindarkan. Kaidah logis ini bersesuaian dengan ketidaknihilan peneguhan keyakinan Islam dan loyalitas total padanya.

Bentuk pengertian pluralisme mengungkapkan fakta bahwa sumber pokok agama-agama (samawi) adalah Realitas Mutlak, bukan sebaliknya (ekspresi beragam terhadap Realitas Absolut). Realitas teologis adalah tunggal, artinya Islam, Kristen dan Yahudi saat diturunkan berbasis pada pandangan ketuhanan, kenabian, keadilan dan kebangkitan dalam makna yang sama. Sedangkan keberagaman syariat diantara mereka sangat terkait dengan konteks waktu dan fase umatnya. Ketaatan masing-masing umat tersebut dalam syariat sama-sama melalui jalan keselamatan. Hal ini sama seperti terungkap dalam diktum filosofis adanya “keberagaman dalam ketunggalan”.

Jika kita dapat menerima pluralisme dalam pengertian pertama, maka mempertahankan pelembagaan masing-masing jalan kebenaran dan keselamatan yang saling berbeda tersebut hilang relefansinya. Ini hanya akan menumbuhkan sikap subjektif berlebihan atas berbagai pilihan yang tidak memiliki perbedaan esensial terhadap kebenaran dan jalan keselamatan itu sendiri. Menempatkan manusia sebagai pendasaran pokok (poros), bukan Tuhan, menunjukkan tendensi subjektif pelembagaan agama-agama dan ragam ekspresi terhadap Realitas Absolut. Intinya tidak ada sikap bijaksana (dalam pengertian sebenarnya) yang terungkap dengan pemahaman seperti itu.

Sikap moderat dalam menerima makna pluralisme kedua dan ketiga sejulur dengan mizan (keseimbangan) yang dituntut Islam atas umatnya, baik dalam cara pandang maupun aplikasi praktisnya. Bukan pula semacam ruang kompromi terhadap pluralisme arus populer, tetapi keniscayaan rasional dan proporsional Islam menerima gagasan pluralisme yang demikian. Novendra Dj | Anggota Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF)

Sumber: 
http://acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=541:islam-dan-konsep-pluralisme-agama&catid=74:paradigma-islam

Yang Terlupakan dalam Pendidikan Kita

Oleh: Tabrani. ZA Al-Asyhi*


Salah satu penyebab merebaknya korupsi di Indonesia ialah gagalnya dunia pendidikan dalam pembentukan karakter agar hidup selalu dipandu nurani. Ada kesan kuat, baik guru, orang tua, maupun murid, selalu didorong untuk mengejar dan menghimpun informasi keilmuan sebanyak mungkin, namun melupakan aspek pendidikan yang fundamental, yaitu bagaimana menjalani hidup dengan terhormat.

Sebuah cerita, seorang ibu dan anaknya pagi-pagi dengan wajah tegang menuju rumah seorang aparat pemerintah. Mereka melakukan pertemuan tak lebih dari 10 menit. Kemudian ibu dan anak pamit, dan pulang dengan wajah ceria. Keceriaan disampaikan kepada ayahnya melalui telepon. Apa yang terjadi? Rupanya ibu dan anak itu berhasil memperoleh bocoran soal ujian setelah membayar sejumlah uang. Apa yang signifikan dari peristiwa ini? Jika peristiwa itu direnungkan, suatu hal amat jelas. Orang tua telah menanamkan virus kehidupan kepada anak bahwa sukses bisa dibeli dengan uang, dengan menyogok, dan semua itu seolah sah-sah saja. Peristiwa itu juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Orang tua telah merobohkan prinsip kejujuran di pagi itu. Akibatnya, jika suatu saat seseorang atau guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar atau dalam bahasa lain di bayar. Singkatnya, secara moral orang tua tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anaknya.
Pendidikan Berbasis Karakter
Pendidikan adalah usaha sistematis dengan penuh kasih untuk membangun peradaban bangsa. Di balik sukses ekonomi dan teknologi yang ditunjukkan negara-negara maju, semua itu semula disemangati nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih produktif, dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal menjaga komitmen kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi, yang oleh John Naisbit diistilahkan High-Tech, Low-Touch. Yaitu gaya hidup yang selalu mengejar sukses materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan hidup yang dalam. Akibatnya, orang lalu menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang menempel, tetapi kepribadiannya keropos.
Seseorang merasa diri hebat dan berharga bukan karena kualitas pribadinya, tetapi jabatan dan kekayaan, meski diraih dengan cara tidak terhormat. Pribadi semacam ini oleh Erich Fromm disebut having oriented, bukan being oriented, pribadi yang obsesif untuk selalu mengejar harta dan status, tetapi tidak peduli pada pengembangan kualitas moral.
Ketika pendidikan tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka yang akan dihasilkan adalah orang yang selalu mengejar materi untuk memenuhi tuntutan physical happiness (kebahagiaan fisik) yang durasinya hanya sesaat dan potensial membunuh nalar sehat dan nurani. Padahal, aktualisasi nilai kemanusiaan membutuhkan perjuangan hidup sehingga seseorang akan merasa lebih berharga dan bahagia saat mampu meraih kebahagiaan nonmateri, yaitu intellectual happiness, aesthetical happiness, moral happiness, dan spiritual happiness. Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh tokoh-tokoh moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan dan kekayaan.
Selama ini produk pendidikan amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit terhadap bumi, gemercik air, festival awan, kekompakan hidup dunia semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan dan bacaan terbuka yang amat indah. Ini semua disebabkan kesalahan proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.
Sebenarnya tak ada benda mati di hadapan orang yang akal budinya hidup. Terlebih di hadapan Allah, semuanya hidup dan bekerja atas perintah-Nya karena tercipta bukan tanpa tujuan. Pohon, batu, binatang-binatang, dan lain sebagainya di ciptakan oleh Allah adalah mempunyai tujuan. Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan berdialog dengan kehidupan secara menyeluruh.
Sebuah kasus menarik saat bencana tsunami di Aceh, hampir tidak ditemukan bangkai sapi atau kerbau dan hewan lain karena semuanya telah menyelamatkan diri. Hewan-hewan itu memiliki kepekaan dan mampu berdialog dengan sesama penghuni bumi saat bahaya akan datang. Kalaupun ada yang mati, itu lebih dikarenakan hewan-hewan itu kurang makan atau terjebak di kandang.

Belajar dan mengajar dengan hati
Seiring munculnya kesadaran dan tuntutan moral dalam dunia bisnis, dalam dunia pendidikan juga muncul gerakan baru untuk melibatkan emosi dan nurani dalam proses pembelajaran. Dipopulerkan oleh Danah Zohar, Ian Marshall, dan Daniel Golleman, literatur seputar betapa vitalnya dimensi spiritual dan emosional dalam kerja dan belajar kian diapresiasi kalangan eksekutif muda dan praktisi pendidikan. Misalnya, Training ESQ-Leadership yang dimotori Ary Ginanjar mendapat sambutan masyarakat.
Pelatihan ini menghasilkan lebih dari 50.000 alumni, tersebar di seluruh perusahaan di Indonesia, dan tiap bulan bertambah sedikitnya 7.000. Bahkan training ini telah menjelajah ke dunia Internasional. Fenomena ini tentu amat menggembirakan, sebuah kebangkitan kesadaran etis dan spiritual dalam upaya membangun bangsa yang bermartabat serta mendorong lahirnya generasi baru yang setia dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan.
Ada beberapa buku yang sebaiknya dibaca para guru, misalnya karya-karya Eric Jensen, Thomas Armstrong, dan Dave Meier soal bagaimana menciptakan proses dan suasana pembelajaran dengan mengacu pada sifat otak dan emosi (brain based learning) sehingga suasana belajar menjadi nyaman, kreatif, dan kontemplatif. Pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai subyek, di mana anak-anak itu memiliki nurani dan potensi multikecerdasan, namun belum tergali dan teraktualisasi. Dengan demikian, proses pembelajaran sebaiknya dimulai dengan melihat, mengamati, dan merasakan lingkungan sosial yang dihadapi, guru dan murid berempati menjadi bagian integral dari realitas sosial dan semesta. Dari situ keilmuan dibangun untuk membantu memecahkan problem kemanusiaan.
Semua ilmu pengetahuan awalnya adalah produk kegelisahan akal budi dan nurani guna meringankan beban hidup manusia. Celakanya, banyak kaum profesional dan birokrat yang dengan ilmu dan jabatannya malah menjadi penindas rakyat. Rakyat amat merindukan pemimpin, birokrat, dan pelaku pasar yang senantiasa mempertahankan prinsip hidup terhormat, hidup yang dipimpin suara hati, meski bisa jadi harus siap hidup sederhana. Itu semua harus dimulai dari pendidikan keluarga dan sekolah yang menjunjung tinggi pendidikan karakter.

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Tulisan ini telah di Muat di Website MSI UII:
http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=105&Itemid=57 

Merebut Makna-Belajar Bahasa Kehidupan

 Oleh: Riris K Toha* - -

DALAM bahasa yang kita gunakan, kata Ludwig Wittgenstein, ahli filsafat bahasa dari Austria, tersirat suatu orientasi hidup yang bukan saja mencakup konsep yang kita anut mengenai sekitar, melainkan juga perasaan, nilai, pikiran, kebudayaan, hingga takhayul. Bahasa amat penting. Ialah yang menentukan hubungan dan pergaulan dalam segala segi di masyarakat.
Dengan bahasa kita dapat menyembunyikan dan mengungkap pikiran, dengan bahasa pula kita mencipta dan menyudahi konflik. Karena bahasa, kita menyerahkan cinta dan dengannya pula kita mengumumkan perang. Singkatnya, bahasa adalah petunjuk kehidupan dan gambaran dunia kita. Padanya ditemukan analisis objektif kehidupan kita.
Dengarkan laporan dan berita di televisi, bising ujaran di kampus, dan saksikan kemampuan baca tulis di hampir semua lapisan. Kalimat yang tidak koheren, ejaan serampangan, pilihan kata yang bersalahan sampai ke kisah yang tidak berkembang dan mudah ditebak apalagi tidak imajinatif, ditemukan di banyak terbitan. Buku yang amat diminati, bahkan dipenuhi bahasa lisan.
Deskripsi-deskripsi serupa ini, "Seharian di rumah terus, keluar rumah kalo kuliah aja. Kalo nggak ada kuliah? Ya ngurung diri di kamar masing-masing. Kalo nggak belajar, ya tidur. Seringnya malah belajar sambil ketiduran. Aneh juga, ya? Nggak biasanya anak kos yang centil-centil itu nggak bertingkah. Biasanya, begitu denger ada sale di mal atau ada pagelaran konser musik oke, hebohnya sejak dua bulan sebelumnya." bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada yang salah dengan-pengguna-bahasa Indonesia.
Tentu saja contoh itu tidak mungkin dipahami dengan cara pukul rata, apalagi dari satu segi saja. Sekilas contoh itu dapat diterima sebagai hasil pendidikan yang semrawut, dapat juga mewakili jiwa yang ingin bebas. Tampak ketidakpedulian, terasa pelecehan, dan keduanya memastikan bahwa bahasa Indonesia tidak dianggap penting juga tak berharga bagi pemiliknya. Tetapi, bila kita percaya pada bahasa sebagai buah pikiran, alat logika untuk meramu idiom demi penyampaian pikiran dan perasaan, cara berbahasa harus dikaitkan dengan kemampuan berpikir. Kecermatan dan kesantunan berbahasa dengan begitu, adalah cerminan nalar dan budaya seseorang.
Hal itu mengantar kita pada sekolah yang mendidik siswa mampu membaca dan menulis dalam pelajaran bahasa Indonesia. Apakah yang terjadi di sekolah? Apakah dengan semua upaya, dana, waktu, dan tenaga yang dicurahkan, kita hanya akan menuai kegagalan? Bagaimanakah caranya mengelola mata pelajaran bahasa Indonesia sehingga menarik dan dapat berbekas pada siswa? Adakah jalan sehingga dengan belajar bahasa siswa menemukan minat dan dengan begitu dapat mengembangkan potensinya apalagi menemukan jati dirinya?
Pertama, harus dipercaya, belajar bahasa yakni membaca, menulis, dan berbicara adalah bagian dari proses berpikir. Dengan bahasa, siswa dimampukan berpikir kalau boleh hingga ke tataran yang rumit karena tersedianya sebuah struktur untuk mengekspresikan dan mengenali hubungan antarkonsep dan dengan itu ia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam pelajaran bahasa, siswa belajar tentang bagaimana berkomunikasi sambil mengenali cara berpikir yang sesuai budaya bahasa yang dipelajarinya. Karena itu, semua upaya di kelas dikerahkan untuk memampukan komunikasi dan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Contoh keseharian tulisan membuktikan bahwa siswa tak biasa dan bisa berpikir. Bercakap dan berkomunikasi juga sulit bagi banyak orang. Hal yang sama tampak pula pada bacaan mereka.
Kedua, karena bahasa adalah pikiran dan perasaan yang lahir dari sebuah budaya dan dunia, maka siswa hanya akan terlibat dalam pelajaran bahasa kalau ia diperlakukan sebagai subyek, diizinkan masuk secara aktif dalam dunia yang sedang dibacanya, dan membuat bacaannya menjadi bagian dari dirinya. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai membaca dan menulis yang tumbuh dari gerakan dinamis "membaca dunia", yaitu berbincang tentang pengalaman, berbicara bebas dan spontan, dan tidak memisahkan membaca dan menulis huruf dan kata dari membaca dan menulis kehidupan.
Ketiga, dengan kerendahan hati guru perlu menyadari pentingnya peningkatan pengetahuan tentang siswa, mengenai bahasa yang diajarkan dan harus diyakini, apalagi perihal kehidupan sebagai sumber dan alasan pentingnya berbahasa dan menjadi manusia. Guru perlu sabar dan toleran menghadapi dan menerima siswa dan senantiasa tak sabaran untuk memberikan yang terbaik. Dengan menyadari kompleksitas perkembangan siswa, para penentu keberhasilan diharapkan mengasihi siswanya secara afirmatif, sekaligus dapat menerima dan mendorongnya berbuat lebih banyak, yang membuatnya makin bertanggung jawab atas tugasnya. Kualitas itu menguatkan guru untuk memotivasi siswa menginterpretasi bacaannya, merebut makna dan menulis ulang apa yang dibacanya, dan berubah karenanya.
Jadi, apakah yang dapat dilakukan, dan perubahan manakah yang diperlukan? Pusat pengajaran bahasa haruslah siswa, demi pemahaman, minat, dan kebutuhan mereka. Siswa penuh dengan bahasa dan amat gembira belajar. Kemampuan mereka mengonstruksi makna juga istimewa sehingga para pengajar bisa dengan mudah menjadi pembelajar ketika berhadapan dengan siswa. Karena yang utama dalam pelajaran bahasa adalah kebersatuan bacaan, tulisan, dan ujaran siswa dengan dunia yang hendak dikenalinya, maka guru perlu menjadi satu dengan siswa, punya kegirangan menjelajah mengenali kehidupan, ingin tahu dan suka berkelana.
Pengajaran bahasa dengan demikian adalah upaya melibatkan murid, yang tidak bisa diperlakukan melulu sebagai pelatihan teknis, tetapi harus menghubungkannya dengan perasaan, minat, dan kebutuhan mereka. Keberhasilannya tergantung dari partisipasi dalam dialog yang terencana.
Untuk itu, dua jam pertama setiap hari di sekolah hendaknya dipersembahkan untuk bahasa, dan sepanjang hari upaya bernalar, mempertimbangkan rasa dengan mengedepankan keperluan siswa menjadi utama. Karena membaca dan menulis adalah cara untuk menemukan arah dan arti, keindahan dan keintiman hidup yang dapat mencipta dan membangun kehidupan siswa. Hanya dengan mengajar bahasa dengan benar kita membantu anak mendapatkan haknya sebagai anggota keluarga umat manusia.


Riris K Toha-Sarumpaet Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Cinta & Menikah Tanpa Cinta


Oleh: Tabrani. ZA Al-Asyhi - -

Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan cinta wanita kepada laki-laki adalah perasaan yang manusiawi yang bersumber dari fitrah yang diciptakan Allah SWT di dalam jiwa manusia, yaitu kecenderungan kepada lawan jenisnya ketika telah mencapai kematangan pikiran dan fisiknya. Sebagaimana Firman Allah SWT, yang artinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendir , supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya , dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang .Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar Rum: 21)

Cinta pada dasarnya adalah bukanlah sesuatu yang kotor, karena kekotoran dan kesucian tergantung dari bingkainya. Ada bingkai yang suci dan halal dan ada bingkai yang kotor dan haram. Cinta mengandung segala makna kasih sayang, keharmonisan, penghargaan dan kerinduan, di samping mengandung persiapan untuk menempuh kehidupan di kala suka maupun duka, lapang dan sempit. Cinta Adalah Fitrah Yang Suci Cinta bukanlah hanya sebuah ketertarikan secara fisik saja. Ketertarikan secara fisik hanyalah permulaan cinta bukan puncaknya. Dan sudah fitrah manusia untuk menyukai keindahan. Tapi di samping keindahan bentuk dan rupa harus disertai keindahan kepribadian dengan akhlak yang baik.

Islam adalah agama fitrah karena itulah islam tidaklah membelenggu perasaan manusia. Islam tidaklah mengingkari perasaan cinta yang tumbuh pada diri seorang manusia .Akan tetapi islam mengajarkan pada manusia untuk menjaga perasaan cinta itu dijaga , dirawat dan dilindungi dari segala kehinaan dan apa saja yang mengotorinya. Islam membersihkan dan mengarahkan perasaan cinta dan mengajarkan bahwa sebelum dilaksanakan akad nikah harus bersih dari persentuhan yang haram.

Menikah Tanpa Cinta

Adakalanya sebuah pernikahan terjadi tanpa dilandasi oleh cinta. Mereka berpendapat bahwa cinta itu bisa muncul setelah pernikahan. Islam memandang bahwa faktor ketertarikan merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Islam melarang seorang wali menikahkan seorang gadis tanpa persetujuannya dan menghalanginya untuk memilih lelaki yang disukainya seperti yang termuat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist


Firman Allah SWT, yang artinya: "Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suaminya" (QS. Al-Baqarah: 232). “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu , bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW, lalu ia memberitahukan bahwa ayahnya telah menikahkannya padahal ia tidak suka, lalu Rasulullah SAW memberikan hak kepadanya untuk memilih”. (HR. Abu Daud). Karena yang menjalani sebuah pernikahan adalah kedua pasangan itu bukanlah wali mereka.

Selain itu seorang yang hendak menikah hendaknyalah melihat dahulu calon pasangannya seperti termuat dalam hadist: "Apabila salah seorang dari kamu meminang seorang wanita maka tidaklah dosa atasnya untuk melihatnya, jika melihatnya itu untuk meminang, meskipun wanita itu tidak melihatnya". (HR. Imam Ahmad)

Memang benar dalam beberapa kasus, pasangan yang menikah tanpa didasari cinta bisa mempertahankan pernikahannya. Tapi apakah hal ini selalu terjadi, bagaimana bila yang terjadi adalah sebuah neraka pernikahan, kedua pasangan saling membenci dan saling mencaci maki satu sama lain. Sebuah pernikahan dalam islam diharapkan dapat memayungi pasangan itu untuk menikmati kehidupan yang penuh cinta dan kasih sayang dengan mengikat diri dalam sebuah perjanjian suci yang diberikan Allah SWT. Karena itulah rasa cinta dan kasih sayang ini sudah sepantasnya merupakan hal yang harus diperhatikan sebelum kedua pasangan mengikat diri dalam pernikahan. Karena inilah salah satu kunci kebahagiaan yang hakiki dalam menyikapi problematika rumah tangga nantinya.

Bila Aku Jatuh Cinta

Allahu Rabbi aku minta izin
Bila suatu saat aku jatuh cinta
Jangan biarkan cinta untuk-Mu berkurang
Hingga membuat lalai akan adanya Engkau

Allahu Rabbi
Aku punya pinta
Bila suatu saat aku jatuh cinta
Penuhilah hatiku dengan bilangan cinta-Mu yang tak terbatas
Biar rasaku pada-Mu tetap utuh

Allahu Rabbi
Izinkanlah bila suatu saat aku jatuh cinta
Pilihkan untukku seseorang yang hatinya penuh dengan kasih-Mu
dan membuatku semakin mengagumi-Mu

Allahu Rabbi
Bila suatu saat aku jatuh hati
Pertemukanlah kami
Berilah kami kesempatan untuk lebih mendekati cinta-Mu

Allahu Rabbi
Pintaku terakhir adalah seandainya kujatuh hati
Jangan pernah Kau palingkan wajah-Mu dariku
Anugerahkanlah aku cinta-Mu...
Cinta yang tak pernah pupus oleh waktu
Amiin ya rabb...