INDUSTRIALISASI PENDIDIKAN TINGGI

Oleh: Tabrani. ZA Al-Asyhi* -  

Kompetisi global juga sudah melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat lulusan SMA, MA dan SMK bersaing untuk mendapatkan institusi pilihan, perguruan tinggi pun berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon mahasiswa potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau finansial. Perguruan tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan gencar berpromosi. Begitu pula perguruan-perguruan tinggi swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran dan menjadikan dunia pendidikan tinggi seperti bisnis dan industri. Kini beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus atau ekstensi.
Akhir tahun ajaran jenjang pendidikan SLTA sebenarnya jatuh sekitar bulan Mei. Namun sebelum mengikuti ujian akhir nasional (UAN), sebagian siswa SMA/MA/SMK -terutama yang nilai rapor hingga semester lima tidak di bawah rata-rata-sudah mendapat tempat di perguruan tinggi. Beberapa perguruan tinggi sudah melakukan ujian seleksi masuk dan menerima siswa SMA/MA/SMK sekitar bulan Maret dan April. Bahkan ada perguruan tinggi yang sudah memulai seleksi gelombang pertama pada Januari dan Februari. Beberapa tahun terakhir ini, seleksi mahasiswa baru menjadi makin dini karena perguruan tinggi berlomba-lomba memajukan tanggal penerimaan mahasiswa baru untuk menjaring mahasiswa pilihan sebelum didahului perguruan tinggi pesaing. Dalam semangat persaingan ini, ada perguruan tinggi yang menetapkan seleksi gelombang pertama pada awal tahun, tetapi sebetulnya diam-diam sudah memastikan untuk menerima mahasiswa pilihan sekitar bulan Oktober dan November ketika siswa SMA/MA/SMK belum mengikuti ujian akhir semester gasal. Seleksi pra-gelombang pertama ini dibungkus dengan nama jalur prestasi, jalur khusus, jalur kerja sama, dan semacamnya.

Program Unggulan
Akreditasi program studi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) merupakan syarat minimal namun tidak cukup memadai untuk dijadikan poin jual. Kini perguruan tinggi berlomba mengemas dan menonjolkan beberapa program unggulan lain, di antaranya sertifikasi internasional, kerja sama dengan industri, dan kerja sama internasional. Sertifikasi internasional bisa berupa pengakuan dari organisasi profesi di luar negeri (misalnya ada program bisnis yang mengklaim mendapatkan pengakuan AACSB, American Association of Colleges and Schools of Business) atau sertifikasi kendali mutu yang biasanya dilakukan di dunia industri (ada PTS yang telah memperoleh ISO 9001).
Keterkaitan antara perguruan tinggi dan dunia kerja merupakan salah satu area yang sering mendapat sorotan. Dalam pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi (SK Mendiknas No 045/U/2002 perihal Kurikulum Inti), pengajaran harus relevan dengan kebutuhan masyarakat dan kompetensi yang ditentukan industri terkait dan organisasi profesi. Maka dari itu, kerja sama dengan industri sering dijadikan poin jual. Beberapa perguruan tinggi mencantumkan pelatihan dan sertifikasi Microsoft, SAP, atau Autocad dalam brosur mereka. Sementara perguruan tinggi lain memasukkan nama-nama perusahaan besar sebagai tempat magang dan penampung lulusan mereka. Kerja sama internasional-berupa program transfer, sandwich, double degree dengan universitas luar negeri, dan pertukaran mahasiswa-sering ditonjolkan sebagai daya tarik karena dipercaya meningkatkan citra perguruan tinggi sebagai institusi berkualitas internasional. Tidak tanggung-tanggung salah satu kampus di Indonesia membuat iklan kampusnya di televisi dengan icon presiden Amerika Serikat Presiden Barak Obama dengan menyewa bintang iklan yang mirip dengan Obama. Dalam hal ini, calon mahasiswa dan orang tua perlu jeli dan memperhatikan dua hal.
Pertama, apakah institusi luar negeri yang dipasang sebagai mitra benar-benar berkualitas. Tidak semua institusi asing bermutu. Perguruan tinggi di Indonesia bisa saja memanfaatkan gengsi dan kelatahan orang Indonesia terhadap label asing. Ada universitas terkemuka di Indonesia yang pernah terkecoh dan mengecoh publik melalui kemitraan dengan institusi yang ternyata malah hanya menawarkan program nongelar dan reputasinya biasa-biasa saja. Kadang, institusi luar negeri yang dicantumkan menggunakan nama pelesetan yang bisa mengecoh. University of Berkeley tentu tidak sama dengan University of California at Berkeley dan yang Institute berbeda dengan Nanyang Technological University.
Kedua, jika institusi luar negeri yang dipasang benar-benar bergengsi, betulkah ada kesepakatan timbal balik antara kedua institusi. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia tidak segan-segan mencatut nama besar seperti INSEAD, Harvard University, universitas dalam kelompok Ivy League atau universitas besar lainnya. Calon mahasiswa perlu bertanya, sejauh mana dan dalam kapasitas apa kesepakatan antara kedua institusi dilakukan, apakah ada perjanjian tertulis, manfaat apa yang bakal diperoleh mahasiswa dalam kerja sama ini.

Tim dan strategi pemasaran
Seperti layaknya di perusahaan, banyak perguruan tinggi mempunyai tim pemasaran khusus meski mereka kadang agak sungkan menggunakan istilah marketing. Umumnya, tim marketing ini bekerja dengan bendera humas, tim informasi studi, atau biro informasi. Di beberapa PTS swasta, tim pemasaran ini bekerja penuh waktu secara profesional dengan armada lengkap mulai dari staf relasi media, presenter, desainer brosur, sampai dengan petugas jaga pameran. Periode sibuk bagi tim ini biasanya dari Oktober sampai Mei, tetapi mereka bekerja sepanjang tahun.
Di luar periode sibuk, tim marketing melakukan pembenahan internal di perguruan tinggi. Mereka merancang prospektus, brosur, dan katalog dengan cetakan dan desain yang tidak kalah mewah dengan prospektus perusahaan multi nasional. Selain itu, mereka juga mengoordinasi dosen dan wakil mahasiswa dari semua program studi yang ada dan melibatkan beberapa di antaranya dalam aneka kegiatan promosi di dalam maupun di luar kampus. Beberapa dosen pun tidak segan-segan menjalankan peran sebagai petugas promosi jurusan dalam kemasan seminar maupun pameran studi. Selama periode sibuk, berbagai macam kegiatan promosi dilakukan, baik PTS maupun PTN. Kegiatan promosi yang berkaitan langsung dengan jurusan adalah lomba untuk siswa-siswi SMA/MA/SMK. Program studi Sastra Inggris, misalnya, menyelenggarakan lomba pidato, debat, membaca berita, atau menulis esai dalam bahasa Inggris dan lain-lain termasuk program studi lain merancang lomba sesuai dengan program studinya.
Selain lomba, beberapa perguruan tinggi juga menyelenggarakan open house yang di bungkus dengan nama bazar. Ada yang melakukannya di kampus, tetapi ada pula yang menyewa hotel berbintang. Dalam open house ini, berbagai keunggulan pada tiap program studi dan di tingkat perguruan tinggi dipamerkan melalui presentasi, tayangan video, foto, dan contoh produk. Kegiatan promosi tidak hanya dilakukan di kota tempat perguruan tinggi. Tim pemasaran juga melakukan perjalanan ke luar kota bahkan ke luar pulau dalam rangka "menjemput bola". Sekarang adalah era perguruan tinggi berburu calon mahasiswa.
Upaya pemasaran tidak hanya terbatas pada kegiatan promosi sesaat, tetapi juga strategi jangka panjang berupa program menjalin relasi dan kerja sama dengan SMA/MA/SMK. Dalam beberapa tahun belakangan, para kepala dan guru bimbingan konseling di SMA/MA/SMK menjadi orang penting yang diperhatikan dan dimanjakan. Perguruan tinggi menggelar berbagai seminar tahunan dan mengundang mereka dengan menanggung semua biaya transportasi dan akomodasi. Ada pula perguruan tinggi yang melakukan kerja sama secara berkesinambungan misalnya program pendampingan pelajaran teknologi informasi atau revitalisasi perpustakaan di SMA/MA/SMK.
Berbicara soal promosi, tidak ada kecap nomor dua. Masing-masing perguruan tinggi berupaya menampilkan keunggulan dan nilai jual. Kepala SMA/MA/SMK, calon mahasiswa, dan orang tua perlu mencermati persaingan antar-perguruan tinggi dengan cerdas, bijak, dan mempelajari tiap tawaran dengan kritis agar bisa membuat keputusan dan pilihan yang paling baik dan sesuai di antara semua alternatif yang ada.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Menelusuri Gagasan Sekulerisasi


Oleh: Tabrani. ZA Al-Asyhi* - 

Sekulerisasi merupakan gagasan penting yang diadopsi oleh kelompok Islam Liberal, yang sangat diperjuangkan secara konsisten ataupun radikal oleh Nurcholis Majid khususnya. Tidak diragukan lagi bahwasanya sekulerisasi merupakan gagasan yang berasal dari  warisan sejarah perkembangan peradaban Barat mulai abad pertengahan ditandai dengan dominasi gereja yang menghambat penelitian ilmiah. Indikatornya ialah bibel mengandung hal-hal yang kontradiktif dengan akal. Sehingga revolusi ilmiah yang dirintis oleh Copernicus dengan teori heleosentrinya dianggap bertentangan dengan bibel.
Allah SWT telah menetapkan Rasullah SAW  sebagai penyempurna agama-Nya. Oleh sebab itu Allah menetapkan bahwa agama Islam telah sempurna. Tapi perubahan zaman menyumbangkan interpretasi-interpretasi mengenai agama Islam yang melahirkan  gagasan sekulerisasi dan liberisasi dalam Islam. Hal ini disebabkan oleh pemikiran yang bergulir dari kaum Orientalis Barat dan  misionaris Kristen yang  diadopsi oleh Islam Liberal.
Hal ini menimbulkan perpecahan antara dua golongan saudara yang sebagian besar menguasai lahan hijau umat Islam. Salah satunya adalah seorang yang buta akan integrasi ilmu pengetahuan dan agama yang disebabkan oleh pengaruh pemikir barat yang menafikan kebesaran tunggal. Tapi dengan mengembangkan pola dialog interaktif, Adnin Armas sebagai umat Islam sisi kanan menyingkap esensi dari gagasan Islam Liberal yang condong menghancurkan serta mengumumkan bahwasanya mereka termasuk umat Islam yang menentang  konsep Tuhan yang ditulis dalam bukunya berjudul Pengaruh Kristen Orientalis Terhadap   Islam Liberal, diterbitkan oleh Gema Insani Press cetakan pertama pada tahun 2003 setebal xxiv +156 halaman.
Gagasan sekulerisasi muncul dikarenakan ketidaksanggupan doktrin dan dogma agama Kristen untuk berhadapan dengan peradaban Barat yang sangat beragam. Hasilnya para teolog Amerika dan Eropa menggagas revolusi teologi radikal, yang menggagaskan bahwasanya ajaran Kristen harus disesuaikan dengan sains dan teknologi modern dalam menghadapi sekulerisasi.
Harvey Cox pada tahun 1960-an telah menjelaskan secara rinci bahwa istilah Inggris secular berasal dari bahasa latin saeculum yang berarti zaman sekarang. Pada satu kata lain dalam bahasa Latin juga menunjukkan makna dunia, yaitu mundus yang kemudian di Inggriskan menjadi mundane yang menunjukkan makna ruang. Menurut Harvey Cox, kata dunia dalam bahasa latin memiliki dua arti yaitu mundus dan saeculum, makna kata dunia yang memiliki arti kata ambivalensi yang berasal dari perbedaan antara dua konsep antara  Yunani dan Ibrani. Bagi orang Yunani dunia adalah ruang atau sebuah tempat, maka orang Yunani kuno memandang realitas  menurut ruang. Tapi menurut orang Ibrani, esensi dunia adalah sejarah, maka orang Yahudi memandang realitas menurut masa. Ketegangan konsep antara kedua belah pihak berdampak besar bagi perkembangan teolog Kristen sampai saat ini. Sekulerisasi bermakna pembagian antara  intuisi spiritual dan sekuler, sedangkan sekulerisasi artinya pindahnya tugas gereja dengan tanggung jawab tertentu khususnya pada bidang politik. Penjelasan Cox tersebut identik dengan Nur Cholis Majid yang memasukkan sekulerisasi dalam Islam.

Pro-Kontra Sekulerisasi Nur Cholis Majid Dan Al-Attas
Dalam menanggapi isu tersebut secara tidak langsung telah membagi pemikir Islam menjadi dua kubu yaitu, kubu Nurcholis Majid dan Naquib Al-Attas. Nur Cholis Majid pada tanggal 2 Januari 1970 meluncurkan gagasan sekulerisasinya dalam diskusi yang meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Gagasan itu diperkuat pada pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta tanggal 21 Oktober 1992 yang berjudul “Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Beragama di Indonesia”. Setelah itu berjubellah para propagandis sekulerisasi Indonesia dengan memproklamirkan sekulerisasi, di antaranya adalah Ulil Absar Abdalla, dkk.
Padahal gagasan sekulerisasi merupakan modifikasi Nur Cholis Majid yang diadopsi dari Harvey Cox dan Robert N Bellah berhasil mengolaborasikan gagasannya dari konsepsi pandangan mereka dan ajaran Kristen. Dengan mencari justifikasi dalam ajaran Islam serta melupakan dikotomi antara sejarah Islam dengan Kristen. Menurutnya dengan menerangkan arti etimologi sekulerisasi akan membantunya dari segi bahasa, ia berpendapat bahwasanya: “Kata sekuler berasal dari bahasa Inggris, Latin, Belanda dan lain-lain, yang berasal dari bahasa Latin, yaitu saeculum artinya zaman sekarang ini. Sedangkan arti yang sebenarnya salah satu dari dua kata latin yang berarti dunia atau waktu (mundus) adalah ruang. Menurutnya Sekuler merupakan  istilah paralel dalam bahasa Yunani Kuno, Latin dan bahasa Arab.
Nur Cholis mengutip pendapat Harvey Cox, bahwasanya sekulerisasi dan sekulerisme berbeda. Hal tersebut karena semakin jelas jika dianalogikan dengan perbedaan rasionalisasi yaitu proses penggunaan suatu metode untuk memperoleh pengertian dan pengetahuan tentang hal tersebut. Sedangkan rasionalisme adalah pendukung rasionalisasi. Analoginya, sekulerisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian yang menimbulkan sekulerisasi terbatas dan kritikan. Yang diberikan oleh hari ketuhanan dan prinsip ketuhanan. Jadi sekulerisasi harus dianut oleh semua agama khususnya Islam.
Dalam menggulirkan gagasannya ia menjustifikasikan  dua kalimat syahadat yang mengandung negasi dan afirmasi. Islam dengan ajaran tauhidnya telah mengikis habis animisme, hal ini berarti bahwasanya tauhid telah melahirkan sekularisme besar-besaran pada diri animis. Manusia ditunjuk Tuhan sebagai khalifah di muka bumi ini yang memiliki intelektualitas, rasio dan akal pikiran yang harus dimodifikasikan dengan rasionalisasi dan desakralisasi. Ia melanjutkan argumennya, bahwa dalam Islam terdapat dua konsep, pertama hari agama adalah masa ketika hukum-hukum antara manusia tidak berlaku lagi, yang ada hanya hubungan antara manusia dan Tuhannya. Kedua, hari Dunia adalah  masa yang sedang kita jalani saat ini, hukum-hukum akhirat belum berlaku.
Berbeda dengan Nur Cholis Majid yang mengikuti paham Cox, Syekh Muhammad Naquib al-Attas justru sebaliknya. Pada tahun 1973 ia telah mengkritik sekulerisasi dengan mengembangkan gagasannya dalam bentuk karya monograf dan menerbitkan buku Islam dan Secularism. Menurut Al-Attas klaim sekulerisasi terdapat dalam bible itu merupakan kebohongan terbesar karena sebenarnya sekulerisasi dihasilkan oleh konflik lama antara bible dan orang  Barat.  Al-Attas juga  mengkritik arti Cox tentang perbedaan arti sekulerisasi dengan sekulerisme, karena dua kata tersebut berujung pada makna yang sama yaitu relativisme sejarah yang sekuler.
Dan Islam tidak boleh mensekulerkan serta desakralisasi nilai-nilai agama dengan segala hal. Karena dinamisme kehidupan terjadi karena hubungan vertikal dan horizontal yang dinamis. Memang manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi bukan menjadi partner Allah. Sedangkan sekulerisasi pada makhluk hidup akan mendatangkan malapetaka dan korban eksploitasi sains yang sesat. Jadi sekulerisasi yang dipromosikan lewat gagasan-gagasan orang Liberal merupakan kopian dari eksperimen Kristen dan orang Barat yang sangat berbeda  dengan ajaran Islam.

Dialog Mengenai Orientalis dan Al-Qur`an Proyek Misi Kristen dan Orientalis
Ketika Nur Cholis meluncurkan gagasan sekulerisasi pada tahun 1970 di Indonesia, sangat menyentuh hal-hal yang mendasar pada keautentisitas Al-Qur`an dan Mushaf Utsmani. Karena agenda keabsahan Al-Qur`an telah digarap lama oleh mereka dan sangat mendukung gagasannya. Ironisnya, upaya untuk meragukan Al-Qur`an juga muncul di kalangan aktivis Islam Liberal.  
Usaha Orientalis yang terus menerus menyerang Islam berhasil menjebol pemikiran intelek muslim. Salah satunya Muhammad Arkoun seorang cendekiawan yang sangat populer di kalangan Islam Liberal, membela pemikiran marginal dan menggugat pemikiran dominan dengan mengeluarkan pendapatnya bahwasanya keauntetikan Al-Qur`an perlu dilacak. Ia mengklaim muslim ortodoks  yang terjebak dengan pendekatan fisiologis dan historisme yang terbatas dengan kajian klasik dan tidak menggunakan ilmu-ilmu humaniora. Menurut Arkoun, para Orientalis sangat berjasa bagi kemajuan perkembangan serta studi Islam. Namun gagasan Arkoun tersebut ditolak oleh kalangan muslim. Karena pada hakikatnya bukan Al-Qur`an yang diragukan oleh kaum muslim namun keislaman Arqoun itu sendiri yang perlu diragukan.

Tanggapan
Dialektika antara Islam kiri (Liberal) dan Islam fundamental merupakan wujud penolakan terhadap gagasan serta metodologi Islam yang bersifat bebas tanpa batas dan diadopsi serta diaplikasikan dari pemikiran para Orientalis dan  Misionaris Kristen, seperti Harvey Cox, Robert Bellah, Michel Faucault atau Charles Kurzman yang menafikan the real dan kebenaran tunggal. Padahal konsep Islam yang didasarkan pada Al-Qur`an dan hadits merupakan kunci kemajuan peradaban Islam dari zaman nabi Muhammad SAW sampai detik ini. Oleh sebab itu sangat tidak logis sekali kalau pendukung Islam Liberal mengusung gagasan mereka sebagai wujud protes terhadap Islam fundamental, di antaranya, pertama menciptakan negara sekuler yang terlepas dari nilai-nilai agama. Kedua, kodifikasi Orientalis dan pemikir Barat yang sangat ambisius untuk menghancurkan Islam terhadap Al-Qur`an yang difilter oleh Islam Liberal. Hal ini disebabkan kebodohan mereka yang menginterpretasikan Al-Qur`an secara global tanpa mendalami sistematika pembelajaran Al-Qur`an secara kompleks dari faktor historis maupun  bahasa.
Kesimpulannya Islam Liberal merupakan fenomena kehidupan Islam yang terdoktrin dengan oleh pemikiran para Orientalis dan  Misionaris Kristen, yang menafikan the real dan kebenaran tunggal. Sehingga konsep Islam yang mendasar pada ketuhanan, kenabian, ilmu, politik dan agama dirancui oleh arti kebebasan yang tak terbatas dalam pola pikir tentang Islam. Dan dengan kebohongannya, mereka maju dengan segala argumen yang menyesatkan. Padahal Islam merupakan agama yang telah mengintegrasikan antara agama dan ilmu sejak dahulu kala karena Islam agama modern karena berpedoman pada wahyu Allah, bukan modern karena zaman dan manuskrip  yang  tertulis karena sumbangsih pemikiran manusia yang terbatas. Sehingga apabila umat Islam meninggalkan Al-Qur`an dan hadits berarti kita memungkiri agama Islam sendiri yang diturunkan dan disebarkan oleh nabi  Muhammad SAW.

Tulisan ini merupakan sebuah pemahaman dari Buku Adnin Armas, MA- Pengaruh Kristen Orientalis Terhadap Islam Liberal.

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Kisah Perempuan Menggapai Kesetaraan - suar.okezone.com

Demokrasi yang Dibajak para Bandit - suar.okezone.com

60 Kriteria Pria Idaman menurut Islam

60 Kriteria Laki-laki Idaman (Ideal) menurut Islam adalah laki laki mukmin (beriman) yang …:


1) Islam menjadi pedoman hidupnya yang utama (QS.6:153);

2) Ikhlas menjadi dasar hidupnya (QS.2:207);

3) Taqwa menjadi bekal hidupnya (QS.2:197);

4) Taat menjadi karakteristik khasnya (QS.3.132);

5) Shalat dan sabar merupakan kekuatannya (QS.8:56;32:24);

6) Tsabat (teguh) merupakan sikap hidupnya (QS.8:45);

7) Ukhuwah Islamiyah menjadi pengikat hatinya (QS.49:10;43:67);

8) Tidak mengenal sikap palsu, kamuflase, banyak tingkah dan takabur (QS.25:63);

9) Ruang jiwanya dipenuhi oleh perhatian dan kepedulian yang besar dan penuh kesungguhan dalam mencapai hadaf (tujuan baik) mereka (QS.28:55);

10) Detik-detik malamnya amat berharga, diisi dengan ibadah Qiyamul Lail/Muraaqabatullah (QS.25:64 : 17:79. 76:26);

11) Senantiasa risau dan amat takut akan azab Neraka Jahanam (QS.25:65-66);

12) Punya ukuran-ukuran yang jelas atas kebenaran dalam kehidupannya (QS.25:67.17:29);

13) Tidak menyekutukan Allah, dan tidak menantang (menyalahi) perintah Allah (QS.25:68-71);

14) Tidak menyia-nyiakan hak orang lain dan tidak menzalimi seorangpun (QS.25:72);

15) Hatinya lurus dan hidup subur, dengan iman yang benar (QS.25:73);

16) Senantiasa menginginkan kebaikan yang dilakukan menjamah dan berlanjut untuk setiap generasi (QS.25:74-76);

17) Senantiasa Jujur dalam perkataan dan perbuatan;

18) Senantiasa menjaga tali silaturrahmi;

19) Senantiasa menjaga amanah yang diberikan;

20) Senantiasa menjaga hak tetangga;

21) Senantiasa memberi kepada yang membutuhkan;

22) Senantiasa membalas kebaikan orang lain;

23) Senantiasa memuliakan tamu;

24) Memiliki sifat malu;

25) Senantiasa menepati janji;

26) Tubuhnya sehat dan kuat (Qowiyyul jismi);

27) Berakhlak baik/mulia kepada sesama makhluk Allah; (Matiinul khuluqi);

28) Senantiasa Shalat tepat pada waktunya;

29) Senantiasa memautkan hatinya ke masjid /Cinta Shalat berjamaah di Masjid;

30) Senantiasa membaca dan mempelajari Al Qur’an dan mengamalkannya;

31) Sederhana dalam urusan dunia dan paling cinta pada urusan akhirat;

32) Paling suka melakukan amar ma’ruf nahi munkar;

33) Paling berhati-hati dengan lidahnya (menjaga lidah);

34) Senantiasa cinta pada keluarganya;

35) Paling lambat marahnya;

36) Senantiasa memperbanyak istighfar, berdzikir dan mengingat Allah swt dan memperbanyak Shalawat Nabi;

37) Senantiasa suka dan ringan berzakat, infaq dan bersedekah;

38) Senantiasa menjaga wudhu;

39) Senantiasa menjaga Shalatnya terutama Shalat wajib;

40) Senantiasa menjaga Shalat sunnat Tahajjud dan Shalat Dhuha;

41) Paling cinta dan hormat pada kedua orang tuanya, terutama ibunya;

42) Cerdas / Pikirannya intelek (Mutsaqoful fikri);

43) Aqidahnya bersih/lurus (Saliimul ‘aqiidah);

44) Ibadahnya benar (Shohiihul ‘ibaadah);

45) Rendah hati (Tawadhu’);

46) Jiwanya bersungguh-sungguh (Mujaahadatun nafsi);

47) Mampu mencari nafkah (Qaadirun’alal kasbi);

48) Senantiasa menjaga dan memelihara lidah/lisan (Hifdzul lisaan);

49) Senantiasa istiqomah dalam kebenaran (Istiqoomatun filhaqqi);

50) Senantiasa menundukkan pandangan terhadap lawan jenis dan memelihara kehormatan (Goddhul bashor wahifdzul hurumat);



51) Senantiasa lemah lembut dan suka memaafkan kesalahan orang lain (Latiifun wahubbul’afwi);

52) Benar, jujur, berani dan tegas (Al-haq, Al-amanah-wasyaja’ah);

53) Selalu yakin dalam tindakan yang sesuai ajaran Islam (Mutayaqqinun fil’amal);

54) Senantiasa pandai memanfaatkan waktu (untuk dunia dan akhirat) (Hariisun’alal waqti);

55) Sebanyak-banyaknya bermanfaat bagi orang lain (Naafi’un lighoirihi);

56) Senantiasa menghindari perkara yang samar-samar (Ba’iidun’anisy syubuhat);

57) Senantiasa berpikir positif dan membangun (Al-fikru wal-bina’);

58) Senantiasa siap menolong orang yang lemah (Mutanaashirun lighoirihi);

59) Senantiasa berani bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang memusuhi kita (Asysyidda’u’alal kuffar);

60) Senantiasa mengingat akan datangnya kematian;

Apakah anda atau suami atau (calon) suami/pasangan Anda telah memenuhi ciri-ciri pria idaman menurut Islam seperti di atas ?

Apabila sudah sebagian maka sempurnakanlah dan pertahankanlah, namun apabila belum senantiasa berusahalah untuk menyempurnakannya, karena memang Tidak ada insan yang sempurna, kecuali Rasulullah saw, tapi senantiasa berusahalah menjadi yang mendekati kriteria-kriteria tersebut.

Semoga kita semua dan anak keturunan kita senantiasa diberikan petunjuk dan bimbingan oleh Allah swt untuk bisa menjadi insan dan laki-laki yang baik menurut Islam dan bagi akhwat semoga diberi Allah swt atau bagi akhwat (perempuan) dapat diberikan Allah swt pasangan laki-laki mukmin yang baik menurut Islam seperti disebutkan di atas. Amiin


Wallahualam bissawab

source ;
http://ikhwahfillah.com/pg/blog/minoneko/read/5834/60-kriteria-pria-idaman-menurut-islam

Dalil-Dalil Acara Saat Kematian

Hakimis: DALIL-DALIL ACARA SAAT KEMATIAN: "HUKUM TA'ZIAH Ta'ziah adalah mengajak kerabat mayit bersabar atas musibah untuk mendapatkan fahala, menjauhi gundah yang mengakibatkan d..."

Hakimis: Hukum Penggunaan Ilmu Hisab dan Rukyat dalam Penen...

Hakimis: Hukum Penggunaan Ilmu Hisab dan Rukyat dalam Penen...: "Para ulama dalam menggunakan sarana untuk menentukan awal dari bulan Ramadhan dan Syawal. Sebagian ulama memilih rukyah, sebagian lagi mem..."

Bangsa Yang Anti Kerja


Oleh: Tabrani. ZA Al-Asyhi* -

Perilaku sebuah bangsa tidak tercipta dalam waktu singkat, namun terbentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Lihatlah kondisi perguruan tinggi yang sudah lama mengalami “kecelakaan”. Sebanyak 98 persen dari dosennya merupakan lulusan sendiri yang mengambil S2 dan S3 di dalam negeri. Sebagian besar dari mereka kemudian mengajar dan menguji. Mungkin itu belum jadi masalah karena itu semua tergantung kualitas dari perguruan tinggi dan dosen itu sendiri. Yang lebih parah sekarang banyak kita dapati di beberapa kampus di Indonesia bahwa dosen di pascasarjana yang mengajar para mahasiswa Magister (S2) adalah masih master yang belum menyelesaikan program Doktoralnya (S3), bukan itu saja bahkan mereka menjadi pembimbing dan penguji karya tulis ilmiah (tesis) untuk mahasiswa magister (S2). Sementara itu daya serap mahasiswa terhadap mata kuliah yang disuapi dosennya hanya 20-30 persen. Situasi ini diperparah oleh perilaku sebagian besar mahasiswa yang tidak senang membaca buku. Padahal buku merupakan jendela dunia.

Kalau kita amati sekarang, baik dosen maupun mahasiswa kini tidak lagi menghargai disiplin. Sebelum tahun 1970-an atau pada zaman Soekarno, sikap ini masih bagus, dalam arti mereka tahu disiplin. Mengapa begitu, karena pelajaran dari bangsa Jepang dan Belanda masih menetes kepada para pemimpin bangsa saat itu. Akan tetapi, sejak tahun 1970-an sampai sekarang perilaku unggul itu mulai merosot. Mereka mulai malas bekerja dan malas berdisiplin. Baik mahasiswa maupun dosen sering bolos. Menurut penelitian, rata-rata kehadiran mahasiswa hanya 10 kali dalam satu semester. Artinya, dorongan bermalas-malas di kalangan civitas akademika sangat kuat. Yang paling parah, para dosennya sendiri juga suka bolos dengan berbagai alasan dan melupakan tanggung jawabnya sebagai pengajar.

Gejala umum ini ternyata tidak hanya di kalangan perguruan tinggi, tapi merembet ke sekolah-sekolah rendah dan menengah. Ada suatu anggapan bahwa setelah SMA dan masuk perguruan tinggi, mereka semua bisa hidup bebas. Mau datang kuliah, mau bolos, tidak apa-apa. Ini amat mengherankan, gejala itu tumbuh subur pada saat negeri ini membangun pada masa Orde Baru. Demikian juga perilaku pegawai di perguruan tinggi yang harusnya datang pukul 07.00, pada umumnya datang pada pukul 09.00.

Pendidikan Antikerja
Sebuah analisis terhadap perilaku masyarakat di negara maju menyatakan, mayoritas penduduknya sehari-hari mengikuti prinsip-prinsip dasar kehidupan. Misalnya, menghargai etika, kejujuran dan integritas, bertanggung jawab, hormat pada aturan dan hukum masyarakat, hormat pada hak orang/warga lain, cinta pada pekerjaan, berusaha keras menabung dan investasi, bekerja keras hingga tepat waktu.

Para mahasiswa di negara-negara maju menyebut belajar itu bekerja. Di Amerika Serikat, misalnya, kalau mahasiswa itu berkata, I must to work, itu artinya belajar atau kuliah. Namun, di republik ini para mahasiswa tidak menganggapnya demikian. Pernah seorang menteri pendidikan menyatakan, anak-anak lebih suka sekolah, tapi tidak suka kerja. Celakanya, dalam kurikulum, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, terkesan anti- kerja.

Dalam kurikulum, program manual work hampir tidak pernah ada. Malah yang ada pun terus dianjurkan agar dihapus. Dulu yang mengadakan kurikulum jenis ini Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh negeri bekas jajahannya, mulai tahun 1970-an, kemudian diganti dengan nama resmi keterampilan atau kerajinan seni rupa. Pernah dalam diskusi IKIP seluruh Indonesia, bidang keterampilan kerajinan dipisahkan dari seni rupa, bahkan sekarang hanya jadi ekstra kurikuler.

Pada zaman Ode Baru, semua media koran, televisi, radio dan sebagainya memublikasikan pembedaan itu. Jadi sekolah itu hanya untuk kerja mental, bukan kerja fisikal. Pernah ada pelajaran hasta karya. Tapi kemudian tidak boleh dipakai oleh murid-murid untuk melakukan apa-apa yang menghasilkan apa-apa. Yang mengatakan bahwa pelajaran seni dan hasta karya di sekolah-sekolah itu harus bebas berekspresi. Katanya yang penting bukan hasil, tapi proses, seraya tidak peduli hasilnya apa. Proses rasa bebas itu artinya kerja sembarangan dalam pelajaran seni rupa kerajinan dan sebagainya.

Di kalangan masyarakat ada hubungan antara harkat manusia dan kerja manual. Makin banyak kerja manual manusia itu makin rendah harkatnya. Makin kurang kerja manual atau sama sekali tidak kerja manual, makin tinggi harkatnya. Kerja intelektual atau kerja mental, misalnya belajar ilmu, teori, filsafat, banyak sekali peminatnya karena makin tinggi harkatnya.

Namun, yang kerja fisikal hanya sedikit saja karena harkatnya rendah. Kerja fisik itu bukan hanya dianggap rendah, tapi juga merupakan kerja orang-orang jelata. Itu kerja orang-orang miskin, sedangkan kerja orang-orang yang tidak begitu harus menjauhkan diri dari yang manual, dari yang fisikal. Situasi ini sama dengan zaman Yunani dan Romawi dulu. Di zaman Yunani kuno tersebut semua kerja yang bersifat fisikal manual dianggap tidak bermartabat.

Bernilai rendah
Ironisnya, dunia pendidikan di republik ini juga ”memusuhi” program yang berorientasi pasar. Sejumlah ahli design pernah mengeluhkan tentang perilaku di kampusnya yang tidak market friendly. Mereka merasa tertekan sebab kalau membuat design berorientasi pasar itu dianggap rendah. Yang bagus dan dihargai kalau design dibuat klasik atau bersifat scientific. Situasi ini berbeda dengan di luar negeri. Di negara maju itu hampir semua mahasiswanya bekerja. Yang tidak bekerja hanya mahasiswa Indonesia yang kebetulan dapat beasiswa dari pemerintah. Malah mereka bisa anteng bekerja di perpustakaan seperti menyusun buku yang secara fisik tidak mau dikerjakan mahasiswa Indonesia.

Bangsa ini menganggap kerja itu mempunyai nilai rendah. Artinya, kerja itu beban, kerja itu suatu keterpaksaan, kerja itu suatu siksaan. Manusia Indonesia pada umumnya bermimpi hidup senang, hidup enak, tanpa kerja. Lalu siapa yang menghasilkan makanan dan sebagainya? Seperti pada zaman Yunani kuno, ya orang-orang rendah, rakyat jelata itu. Merekalah yang disuruh kerja, menghasilkan padi, misalnya. Nilai paling tinggi itu hidup senang. Hidup senang artinya punya banyak uang. Bagaimana menciptakan harta banyak tanpa kerja, ya korupsi dan terus korupsi kapan lagi supaya bisa banyak uang, begitulah pemikiran yang dikembangkan oleh orang kita Indonesia khususnya para pejabat... korupsi dan terus korupsi...
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Zainuddin dan Nazaruddin

Dunia dilengkapi terang dan gelap, siang dan malam, lelaki dan perempuan, dekat dan jauh, rendah dan tinggi, maupun baik dan buruk. Zainuddin membawa kita pada imajinasi tentang kebaikan, dan Nazaruddin kepada keburukan. Almarhum Zainuddin Muhammad Zein mengajak sejuta umat menuju kebaikan dengan segala kenikmatan dunia akhirat, sementara Muhammad Nazaruddin dihujat jutaan orang karena mempraktikkan keburukan dengan segala adzab dunia akhirat.
  
Din pada almarhum Zainuddin merupakan sebuah jalan lurus yang dibimbing para malaikat menuju pintu surga, din pada Nazaruddin berbentuk jalan pintas yang penuh rayuan syetan sehingga mempercepat ke dasar neraka. Zainuddin menegakkan "din", Nazaruddin menodai "din". Kata orang, "din" adalah cahaya agama. Pada akhirnya, almarhum Zainuddin berdiri pada pilar moralitas yang dihiasi rigorisme, dan Nazaruddin meninggalkan moralitas untuk kemudian terperangkap laksisme. Oleh sebab itu, kepergian almarhum Zainuddin diiringi doa, dan kepergian Nazaruddin diwarnai sumpah serapah.
  
Begitulah dunia yang diwarnai dikotomi-dikotomi tegas. Inilah dualitas semesta. Dalam sejarah agama ada Habil dan Qabil, di pewayangan kita kenal Pendawa dan Kurawa, dan kini ingatan kita disegarkan Zainuddin dan Nazaruddin.
  
Zainuddin Muhammad Zein adalah seorang dai kondang yang baru saja pergi dipanggil Sang Khalik pada Selasa (5/7/2011) pukul 09.15 WIB, dan Muhammad Nazaruddin adalah seorang politisi tersangka kasus suap yang baru-baru ini dikabarkan pergi dari Singapura. Keduanya, dalam realita kehidupan bisa ditafsir saling keterkaitan. Zainuddin mempunyai tugas untuk mengajak Nazaruddin meninggalkan keburukan. Dalil agama digunakan Zainuddin untuk meyakinkan Nazaruddin. Kemudian Zainuddin mengingatkan Tuhan dimana-mana, tetapi sayang, Nazaruddin justru lebih percaya kepada filsuf Nietzsche bahwa "Tuhan telah mati!". Lantaran racun Nietzsche itulah Nazaruddin gampang sekali melupakan kebaikan.
  
Padahal jika seeorang masih ingat baik, ia akan dituntun mencapai tujuan hidup melewati rel moralitas. Baik adalah kunci moralitas. Namun, apakah baik itu? Kita bakal kesulitan untuk mendefinisikan "baik" itu. Sejak dulu diingatkan oleh Filsuf George Edward Moore, jangan bersusah payah untuk mencari definisi kata "baik". Moore punya argumen "baik" itu  bersifat primer sehingga tidak bisa  dianalisis karena memang bukan terdiri dari bagian-bagian lagi. "Baik" tak bisa direduksi kepada sesuatu yang lebih mendasar lagi karena memang dari sono-nya sudah merupakan data dasar. Atas dasar ini kita tidak akan menemukan definisi itu.
  
Agar baik punya makna, maka Moore membedakan "baik" dan "sesuatu yang baik". Tatkala membicarakan "sesuatu yang baik" maka "baik" yang dikenakan pada sesuatu itu sudah bisa dimaknai. Memang agak ruwet untuk dipahami, tetapi dengan contoh ini, misalnya, "politisi yang baik" maka "baik" yang dikenakan pada "politisi" sudah bisa dimaknai. Maknanya adalah politisi baik mau mempraktikkan segala ragam keutamaan.
  
Lebih makro lagi bahwa "manusia yang baik", menurut Aristoteles, melakukan aktivitas jiwa dalam kesesuaian dengan keutamaan. Di sini jelas, "keutamaan-keutamaan" menjadi ukuran "manusia baik". Platonis senantiasa menggunakan "yang baik" sebagai tujuan. Oleh karena itu segala tindakan dan pilihan akan mengacu kepada tujuan "yang baik". Tujuan "yang baik" itu sendiri, menurut Plato, bermuatan keutamaan.
    
Aristoteles hanya memberi batas keutamaan kepada "sifat karakter yang tampak dalam tindakan kebiasaan". Misalnya begini, kita tidak mencapai karakter jujur jika dilakukan kadang-kadang saja. Tetapi kalau terus berusaha menempatkan kejujuran sebagai kebiasaan sehari-hari,  maka karakter jujur berpotensi melekat pada diri kita. Inilah yang dimaksud Aristoteles sebagai keutamaan. Jadi, kebiasaan jujur ini merupakan tindakan yang muncul dari karakter yang kokoh dan tak berubah.
  
Mari kembali ke realitas sehari-hari, bagaimanakah "politisi yang baik"?. Dari paparan di atas maka "politisi yang baik" semustinya mengacu kepada keutamaan-keutamaan. Secara umum keutamaan itu sudah dicantumkan dalam kode etik maupun petunjuk kerja di institusinya, tetapi jika mengacu kepada unsur keutamaan, sampailah kepada jenis karakter yang dibutuhkan untuk menjadi "politisi yang baik".
  
Politisi yang baik mau menjunjung tinggi etika politik. Lewat etika politik inilah seorang politisi mengincar hidup baik bersama. Dari pendekatan ini akan diketahui bahwa etika politik merupakan manajemen hidup bersama yang baik. Sebuah tata hidup yang mematangkan prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan solidaritas. Empat hal ini bakal dijunjung oleh politisi yang baik.
  
Bukankah almarhum Zainuddin senantiasa mengingatkan empat hal itu dalam dakwah-dakwahnya? Maka, untuk memeroleh "sesuatu yang baik" kita memang butuh orang sekaliber almarhum Zainuddin. Ini mau menegaskan, kalau kita ingin mencapai kebaikan, kita butuh pengganti Zainuddin. Para pengganti Zainuddin inilah yang bakal menghambat kemunculan Nazaruddin-Nazaruddin lainnya. Kita bisa bayangkan, pengganti Zainuddin dihadapkan tantangan berat. Mereka dituntut untuk meyakinkan umat bahwa "baik adalah kunci moralitas"! (*)

Toto Suparto, esais, @puskabjogja.

Sumber: Okezone.com

Guru Yang Berkualitas

Guru merupakan unsur paling penting dalam dunia pendidikan, dan guru yang berkualitas merupakan penopang utama lahirnya pendidikan yang bermutu. Sehingga menurut Munif Chatib (Sekolahnya Manusia, 2009), aset terbesar dan paling bernilai di sebuah sekolah adalah guru yang berkualitas, yaitu guru yang tidak pernah berhenti belajar.

Hal ini terbukti pada negara Finlandia yang kualitas pendidikannya menempati peringkat pertama di dunia. Peringkat 1 dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes ini dikenal dengan nama PISA (Programme for International Student Assesment) yang mengukur kemampuan siswa di bidang sains, matematika dan membaca.

Apa kunci keberhasilan negara Finlandia tersebut? Ternyata kuncinya terletak pada kualitas guru. Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dan dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Di mana lulusan terbaik dari sekolah menengah biasanya mendaftar pada Fakultas Pendidikan. Persaingannya pun lebih ketat daripada masuk ke Fakultas Hukum atau Kedokteran.

Bandingkan di negara kita, kualitas guru belum menjadi skala prioritas. Hal ini bisa dilihat dari maraknya pelatihan guru oleh pemerintah, tapi hasilnya tak begitu menggembirakan. Karena memang pelatihan-pelatihan tersebut masih cendrung pada project oriented. Sementara mahasiswa yang masuk ke FKIP dan Fakultas Tarbiyah tidak melalui kompetensi yang selektif.

Bahkan ada kecenderungan pilihan sebagian besar mahasiswa terhadap kedua fakultas tersebut (FKIP dan Tarbiyah) karena dorongan pragmatis, sebutlah agar cepat memperoleh pekerjaan dan peluang tembus PNS-nya besar. Sehingga berimplikasi pada spektrum berpikir dan bertindak ketika menjadi guru. Dimana kerja mengajar bukan lagi dimaknai sebagai tugas kemanusiaan dan wahana mencerdaskan anak bangsa, tapi semata-mata soal tuntutan pekerjaan.

Hal inilah kiranya yang mendasari perilaku immoral guru dalam memberikan contoh yang destruktif, dan sama sekali tak mendidik kepada siswanya. Seperti yang terjadi pada peristiwa contek massal murid Sekolah Dasar (SD) di Surabaya, Jawa Timur beberapa waktu lalu. Bayangkan, guru yang notabene penyeru kebajikan, melacuri nuraninya untuk sesuatu yang sama sekali jauh dari hakikat pendidikan itu sendiri.

Ketika seseorang berniat menjadi guru, maka dengan penuh kesadaran ia sudah membuat pilihan untuk memikul tanggung jawab yang besar. Karena menjadi guru, bukan menjadi politisi yang dituntut untuk pandai membangun janji, atau pelawak yang di tuntut untuk pandai membuat audiensnya tertawa terpingkal-pingkal. Menjadi guru, adalah menjadi—“pelita dan oase”— yang menerangi kegelapan berpikir dan memuaskan dahaga keingin-tahuan anak didik.

Manusia Merdeka

Maka tugas seorang guru bukan sekadar melakukan pengajaran dengan setumpuk teori dan doktrin. Tapi juga memberikan pembelajaran yang dapat merangsang kreativitas dan potensi anak didik sesuai dengan kapasitas “alam pikir”-nya. Di sini, guru yang berkualitas adalah guru yang mampu memosisikan anak didiknya sebagai manusia “merdeka” dengan segala potensinya, baik itu potensi ruhaniyah (spiritual), aqliyah (pikiran), nafsiyah (jiwa), dan jasmaniyah (tubuh).

Sehingga keberadaan guru dalam kelas bukan sekadar sebagai penceramah dengan segala kuasa monolog-nya, tetapi memosisikan diri—sebagai mediator yang dialogis—guna memicu kreatifitas, menumbuhkan nalar, dan menggali potensi siswa. Makanya Rogers (dalam Palmer, 2003), meniscayakan perlunya perilaku guru yang menerima siswa sesuai dengan potensinya, menciptakan hubungan saling percaya dan nyaman, serta membangun hubungan dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi diri.

Untul itu Munif Chatib, Praktisi Multiple Intelligences menawarkan 5 langkah strategi pembelajaran yang baik. Pertama, batasi waktu guru dalam melakukan presentasi (30%), limpahkan waktu terbanyak (70%) untuk aktivitas siswa. Dengan aktivitas tersebut, otomatis siswa akan belajar. Kedua, gunakan modal “modalitas” belajar yang tertinggi, yaitu modalitas kinestetis (segala jenis gerak, aktivitas tubuh, emosi, kordinasi, dan hal lain yang terkait) dan visual (citra visual, warna, gambar, catatan, diagram, grafik, peta pikiran, dan hal-hal lain yang terkait) dengan akses informasi melihat, mengucapkan, dan melakukan.

Ketiga, mengaitkan materi yang diajarkan dengan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari yang mengandung keselamatan hidup. Keempat, menyampaikan materi kepada siswa dengan melibatkan emosinya. Hindarkan pemberian materi secara hambar dan membosankan. Kelima, melibatkan partisipasi siswa untuk menghasilkan manfaat yang nyata dan dapat langsung dirasakan oleh orang lain. Siswa merasa mempunyai kemampuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya.

Bersahabat dengan Kritik


Sebagaimana yang dikemukakan oleh Munif Chatib di awal tulisan ini, bahwa guru yang berkualitas adalah guru yang tidak pernah berhenti belajar. Dan salah satu indikator dari guru pembelajar adalah guru yang bersahabat dan tidak alergi dengan kritik, sekalipun oleh siswanya sendiri. Sehingga oleh Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran, 2005), guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.

Di atas itu semua adalah kesadaran moral guru akan luhur dan mulianya tugas mengajar. Sehingga diperlukan komitmen, kompetensi dan kearifan dalam mendidik. Dengan harapan melahirkan generasi bangsa yang manusiawi; yakni generasi yang cerdas, berbudi luhur, dan menjauhkan segala bentuk kekerasan dari laku hidupnya.

Muhamad Hamka
Analis Sosial & Pendidikan berdomisili di Aceh


Sumber: Okezone.com

Belajar dari China, untuk Mengenal Diri Sendiri

Oleh: Novialdi* - 

CHINA menjadi salah satu negara super power baru di era ini.” Kutipan ini rasanya memang pantas disematkan bagi negeri Tirai Bambu yang dalam 3 dekade terakhir memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi lebih dari 10 persen yang jauh melampaui pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini membuat China dinobatkan sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terdahsyat abad ini.
Kesuksesan China ini hadir atas tekad dan kekonsistenan para pemimpin China untuk menjadikan negaranya kembali menjadi pusat peradaban atau yang diistilahkan dengan Zhung Quo.

Kemajuan yang dirasakan China saat ini tidak serta merta berasal dari kerja keras para pemimpinnya saja, tetapi kemajuan ini muncul sebagai buah dari etos kerja dan kedisiplinan yang tinggi dari bangsanya yang memang menjadi identitas yang dihadirkan atas jati diri bangsa China.

Dengan sumber daya alam yang jauh melimpah dan jumlah penduduk yang tak jauh berbeda dengan China rasanya Indonesia sudah memiliki bekal yang cukup untuk bisa mengikuti jejak China atau bahkan melebihinya. Mungkin yang masih membedakan antara Indonesia dengan China saat ini ialah kesadaran untuk menjadikan jati diri bangsa sebagai landasan untuk menjalankan pembangunan.

China mungkin memiliki jati diri yang menonjol dalam etos kerja dan disiplinnya, tetapi Indonesia pun juga punya jati diri yang tak kalah hebat yakni sifat ramah dan santun dalam bergaul.

Andai saja bangsa Indonesia sadar bahwa ternyata orang-orang dari negara lain sangat menghargai Indonesia dengan jati dirinya yang sangat ramah, santun serta murah senyum. Maka boleh dibilang Indonesia sudah sepatutnya kembali mensejajarkan diri dengan kemajuan yang dicapai oleh negara lain. Tetapi kembali lagi, modal berharga seperti ini ibarat seperti mutiara yang berada dalam lumpur, baru menjadi berharga saat sadar betapa bagus kilapnya saat sudah dibersihkan.

 
*Nofialdi adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung

Sumber: http://kampus.okezone.com/read/2011/07/08/95/477427/belajar-dari-china-untuk-mengenal-diri-sendiri

Buku dan Peradaban Bangsa

 Oleh: Ridwan Kharis* -

UNGKIN sedikit orang yang mengetahui bahwa 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Menurut sejarah, tanggal itu dipilih bertepatan dengan didirikannya Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Jakarta 31 tahun yang lalu, 17 Mei 1980.

Tidak bisa dimungkiri, buku merupakan sumber informasi dan sumber ilmu pengetahuan. Melalui buku, kepribadian seseorang terbentuk dan melalui buku pula peradaban suatu bangsa terbangun. Ada kata-kata bijak yang mengatakan bahwa jika ingin mengetahui seperti apa kepribadian seseorang 10 tahun mendatang, lihatlah teman-temannya saat ini dan buku apa yang ia baca saat ini.

Sejarah menceritakan salah satu penyebab kemunduran peradaban Islam di masa keemasannya adalah serangan bangsa Mongol yang memporak-porandakan kota Baghdad dengan melenyapkan buku-buku di perpustakaan. Ada yang dibakar, ada pula yang dibuang ke sungai.

Bangsa Jepang yang mencintai buku, menjadikannya sebagai bagian dari membudayakan aktivitas membaca di setiap saat, terbukti menjadi bangsa yang maju peradabannya. Peradaban suatu bangsa tidak akan pernah bisa lepas dengan bagaimana bangsa tersebut mencintai buku.

Budaya mencintai buku di Indonesia masih memprihatinkan. Menjadi hal yang ironis ketika menjamurnya jumlah penerbit buku akhir-akhir ini tidak diiringi dengan minat masyarakat terhadap buku.

Budaya Membaca

Berbicara tentang buku tidak akan pernah lepas dari dua aktivitas yaitu membaca dan menulis. Untuk memahami isi suatu buku mau tidak mau seseorang harus membaca buku. Dengan membaca, wawasan seseorang akan menjadi luas. Jika buku adalah jendela dunia, maka membaca adalah kuncinya.

Masyarakat Jepang sejak usia dini sudah diperkenalkan dengan membaca buku. Pantas jika Jepang dikenal sebagai bangsa yang gemar membaca. Sementara itu, masyarakat kita lebih menyukai budaya lisan dan visual daripada budaya membaca. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi kita semua, terlebih bagi pemerintah melalui kebijakannya agar budaya membaca bisa tertanam bagi masyarakat Indonesia.

Budaya Menulis


Tidak akan pernah ada buku tanpa adanya orang yang menulisnya. Budaya lisan menyebabkan masyarakat kita lebih suka berbicara daripada menulis. Padahal tanpa ditulis, suatu perkataan akan lebih cepat hilang dan dilupakan. Dengan menulis pula, kebermanfaatan kita bisa terus mengalir melebihi usia hidup kita.

Mengapa Kartini lebih dikenal orang daripada Dewi Sartika? Padahal kontribusi Dewi Sartika lebih besar dan lebih nyata bagi masyarakat. Jawabannya adalah karena Kartini menulis. Kita tidak akan mengenal ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Isac Newton, dan Albert Enstein yang telah meninggal berabad-abad lampau jika mereka tidak mentransformasikan ilmunya dalam bahasa tulis.

Seoarang penyair masyhur asal Inggris bernama TS Eliot mengatakan “Sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan baca”. Melalui tulisan ini, penulis mengajak masyarakat Indonesia untuk mencintai buku dengan membudayakan membaca dan menulis sehingga peradaban Indonesia menjadi maju di masa mendatang.

*Ridwan Kharis
Mahasiswa Teknik Mesin UGM

Mengukur Keberhasilan Pemerintah

Oleh: Febry Arisandi* -

TULISAN ini terinspirasi dari tulisan Aris Ananta, seorang pengamat ekonomi yang menulis Selamat Tinggal Pertumbuhan di salah satu surat kabar nasional.
Aris Ananta mengatakan, sesungguhnya orang telah lama menginginkan lebih dari GDP (pertumbuhan pendapatan bruto kotor) untuk mengukur pembangunan dengan banyak indikator dan tidak terpaku dengan GDP saja. Aris Ananta menegaskan, "Hidup bukan hanya soal Uang, tetapi juga kesehatan, keamanan, lingkungan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan banyak hal lagi."

Dalam tulisannya itu, Aris menyinggung pertumbuhan nasional dapat tinggi. Namun, apa gunanya jika lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan hidup tidak nyaman. Oleh sebab itu mengapa OCED, sebuah organisasi kerja sama ekonomi dan pembangunan kini menggunakan 11 indikator untuk mengukur kemajuan perekonomian yang mencakup pendapatan, perumahan, pekerjaan, masyarakat, pendidikan, lingkungan, pemerintahan, kesehatan, kepuasan hidup, keamanan, serta keseimbangan pekerjaan dan hidup.

Pemerintahan SBY

Bulan Juni akan meninggalkan kita, setelah itu kita akan memasuki bulan Juli. Setelah kita melewati bulan Juli maka tibalah bulan Agustus. Ada apa dengan Bulan Agustus? Apa spesialnya bulan ini?

Selain bulan ini adalah bulannya ummat Islam berpuasa (baca: Ramadhan). Di bulan ini, tepatnya 16 Agustus 2011 nanti, presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono akan melakukan Pidato Kenegaraan. Penulis sangat menunggu-nunggu pidato itu, penulis harap pembaca pun demikian.

Apa yang harus kita perhatikan dari pidato itu? Seperti dijabarkan di atas, kita harus perhatikan bagaimana pertumbuhan Indonesia selama pemerintahan KIB jilid II ini? Apakah presiden hanya mengukurnya dari pertumbuhan ekonomi (baca: uang) semata? Sementara masih banyak rakyat belum punya rumah, pembalakan hutan yang berujung moratorium.

Namun, mengutip Khalisah Khalid, Dewan Nasional Walhi, yang menulis, "Moratorium itu masih di Langit karena masih banyak masalah yang tak kunjung selesai salah satunya 'Mafia sektor Kehutanan'". Ditambah lagi, pengangguran dan calon pengangguran yang diperkirakan juga bertambah.

Belum hilang lagi dari ingatan, kasus Ruyati yang jadi TKI di Saudi karena di negeri sendiri tak ada “lapak” lagi untuk mencukupi. Ujung-ujungnya TKI juga moratorium, sama dengan moratorium tebang hutan. Belakangan, ketua DPR Marzuki Ali mengusulkan moratorium penerimaan PNS. Negara moratorium?

Sesungguhnya mengukur pertumbuhan hanya dari perekonomian berarti melupakan beberapa ukuran yang sudah ditetapkan OCED. Maka bagaimana nasib pendidikan kita? Melanjutkan tradisi UN, yang “menekan” jiwa itu? Sampai takutnya sekolah dianggap gagal karena ukuran sekolah sukses adalah banyaknya siswa yang lulus. Keberhasilan sekolah tidak diukur dari seberapa kreatif siswanya, seberapa jujur, baik, santun, dan peduli dengan sekitarnya.

Lantas seperti kita ketahui belakangan ada Sekolah “membiarkan” contek massal. Berhasilkah pendidikan Kita? Ya, berhasil. Angka kelulusan memang meningkat, tapi...

Pemerintahan Mahasiswa

Banyak yang mengatakan nasib Indonesia masa depan ada di tangan pemuda. Salah satu elemen dalam pemuda (mahasiswa) adalah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Baru-baru ini, salah satu surat kabar nasional memberitakan bahwa BEM tak lagi diminati. Alasannya banyak. Mulai dari alasan manajemen waktu yang sulit, tugas menumpuk, terlambat lulus, dan lain sebagainya.

Kenapa BEM tak lagi diminati? Penulis melihat ada dua alasan, pertama ada ukuran yang keliru di dalam pendidikan tinggi kita. Salah satu ukuran yang lazim dibincangkan di kalangan mahasiswa adalah mengatakan mahasiswa terlambat lulus sebagai mahasiswa tidak atau belum berprestasi. Sekali lagi ukurannya selalu angka.

Kedua, BEM hanya fokus pada proker (program kerja) dan selalu begitu. Keberhasilan BEM diukur dari seberapa banyaknya program kerja yang telah dilaksanakannya. Bukan dari apakah program kerja itu berdampak besar bagi mahasiswa di kampusnya, masyarakatnya, dan lain-lain. Lalu apa bedanya dengan event organizer (EO) yang kerjaannya mengurusi “event” dan “proyek” itu?

Program kerja yang banyak dan belum berdampak itu membuat internalnya juga terganggu. Ujung-ujungnya membosankan karena tuntutannya adalah terlaksananya Program kerja agar dianggap sukses menjadi pemerintahan kampus. Berfokus pada program kerja membuat BEM jadi kaku. Anggaplah saat ini ada isu nasional yang hangat, kalau tidak ada dalam proker maka tidak akan ada diskusi-aksi di kampus.

Karya-karya ilmiah juga begitu, kesuksesannya hanya diukur dari apakah sudah melaksanakan pelatihannya? Bukan dari seberapa banyak orang yang terpacu “berkarya” setelah pelatihan itu. Titiknya adalah mana tindak lanjutnya? Alasannya selalu “kembali ke pribadi masing-masing”.

Antara SBY dan BEM

Kalau yang menjadi ukuran keberhasilan hanya GDP dan terlaksananya Program kerja, penulis khawatir kita akan terjebak di lembah “Retorika”. Benar, kelihatan hebat di podium membacakan keberhasilan-keberhasilan itu, penuh tepuk tangan meriah pengunjung (yang mayoritas anggota/kelompoknya sendiri).

Tapi apa kenyatannya juga begitu? Apa masyarakat merasakan sebenar-benarnya merasakan “kerja” pemerintahan itu? Atau ujung-ujungnya masyarakat harus mencari jalan keluar untuk hidupnya sendiri? Seperti Ruyati yang menjadi TKI dan “dibunuh” di Saudi?

Mari kita terus memperbaiki diri, berdoa untuk Indonesia dan pemuda yang lebih baik. Pemuda yang tidak menjual “ayat-ayat”-Nya dengan harga murah dan mengatakan apa yang tidak dilakukannya. Semoga!!

*Febry Arisandi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Transisi Otoriter-Demokrasi dan Konflik Bernuansa SARA

Dalam rentang waktu kurang lebih 5 tahun terakhir ini, telah banyak kasus bernuansa SARA terjadi di Indonesia. Kejadian-kejadian yang berpotensi SARA pada 5 tahun terakhir ini dimulai dari kasus pembakaran rumah terhadap 31 keluarga yang beraliran Ahmadiah di Lombok Barat oleh sekelompok warga pada Februari 2006, disusul dengan penyerangan terhadap kelompok Ahmadiah pada Desember 2007 di Jawa Barat dan Mei 2008 di Sukabumi.
Kasus lain yakni penyerangan terhadap iring-iringan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi pada September 2010 dan pembakaran madrasah Al-Mahmud milik Ahmadiah yang dilakukan oleh sekelompok massa pada 27 Desember 2010. Tak hanya berakhir pada kasus tersebut.
Puncak dari kasus-kasus  yang berpotensi menjadi konflik SARA (suku, agama, rasa, dan antar golongan) terjadi pada tanggal 6 Februari 2011 yang menewaskan tiga orang jemaah Ahmadiah dan tujuh orang lainnya luka-luka akibat penyerangan kediaman pimpinan Ahmadiah di kampung Peundeuy, Desa Umbulah, Kecamatan Cikeusik  yang diserang oleh ribuan massa. Menyusul setelah penyerangan Ahmadiah, pada tanggal 7 Februari 2011 terjadi lagi pembakaran gereja di Temanggung yang menyebabkan sembilan orang luka-luka serta kerusakan tiga gereja.
Konflik telah banyak terjadi dalam 5 tahun terakhir ini, terutama konflik-konflik yang bernuansa SARA. Lantas apakah yang salah dengan sistem ketatanegaraan kita? Atau mungkin pemimpin kita kurang mampu dalam menangani gejolak-gejolak dalam masyarakat? Ataukah mungkinkah bangsa ini sudah tidak memiliki moral?
Masa Transisi Otoriter-Demokrasi
Pemerintahan otoriter Orde Baru yang menekan dan membelenggu masyarakat menimbulakn kejenuhan dalam benak. Kejenuhan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru telah memunculkan berbagai gerakan-gerakan politik masyarakat terutama kalangan mahasiswa. Gerakan-gerakan politik yang terus mendesak pemerintahan otoritarian Soeharto akhirnya berujung pada kejatuhan rezim Orba.
Kejatuhan rezim Orba merupakan starting point bagi NKRI dalam merubah haluan sistem pemerintahan dari Otoriter yang diterapkan Soeharto menjadi negara demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukan hanya mengadopsi sebagian prinsip demokrasi, melainkan demokrasi yang diidam-idamkan dan berusaha untuk diwujudkan adalah demokrasi yang terkonsolidasi.
Demokrasi yang terkonsolidasi merupakan demokrasi yang menyeluruh, setiap elemen-elemen negara menerapkan sistem demokrasi yang baik dalam mencapai kestabilan ketatanegaraan. Oleh karena itu, Indonesia saat ini belum dikatakan sebagai negara Demokrasi yang terkonsolidasi, melainkan masih menuju ke titik tersebut yang disebut dengan era transisi.
Hasil dari kejatuhan rezim otoriter adalah liberalisasi politik dimana setiap hak warga negara diperjuangkan. Perjuangan tersebut baru muncul setelah katup politik terhadap masyarakat terbuka, yang dulunya dalam masa otoriter masyarakat hanya penonton dalam perpolitikan, sekarang masyarakat telah menjadi salah satu inti dari perpolitikan suatu negara sehingga masyarakat bebas membuat kelompok dan bersuara depan pemerintah untuk menggunakan hak-hak yang dimiliki.
Partisi politik masyarakat ini akhirnya ngetren di kalangan masyarakat. Kebebasan yang telah terkungkung selama ini pada masa otoriter meledak dan menjadi suatu euphoria masyarakat atas kebebasannya. Euphoria sendiri didukung dengan keadaan negara yang lemah karena masih dalam penataan ulang pasca reformasi besar-besaran.
Pascareformasi 1998, masyarakat seolah-olah bebas dan merdeka untuk yang kedua kalinya setelah melawan penjajah. Masyrakat menjadi lebih berani dalam melancarkan aksi-aksinya dalam menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Termasuk melakukan protes-protes kepada pemerintah baik yang bersifat demonstrasi yang tertib maupu yang anarkis.
Bahkan juga mengungkit masalah-masalah pelanggaran-pelanggaran yang telah di perbuat pemerintah Orba, seakan-akan masyarakat meminta pertanggungjawaban pemerintah atas perlakuannya selama ini terhadap rakyat. seperti inilah keadaan masyarakat sekarang ini di masa transisi.
Konflik Horizontal
Indonesia dikenal sebagai negara “warna-warni”. Mulai dari suku, ras, agama, warna kulit, sampai pada lautan yang memisahkan antar individu. Semua itu bukanlah masalah bagi tegaknya negara ini, terbukti dari catatan sejarah yang telah dilukis oleh bangsa ini sebagai bangsa yang memiliki rasa toleransi yang tinggi dengan bersatunya seluruh elemen bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun, semua itu telah gugur pada jaman transisi menuju demokrasi yang terkonsolidasi.
Sebenarnya konflik horizontal telah banyak bermunculan sebelum kejatuhan Soeharto. Konflik tersebut muncul dikarenakan rasa kekecewaan masyarakat yang menggumpal pada pemerintah. Di lain sisi, masyarakat tak mampu menghadapi kekuatan pemerinta sehingga yang menjadi korban pelampiasan adalah golongan-golongan minoritas baik itu secara etnis maupun budaya.
Kasus konflik horizontal di era transisi sendiri berbeda dengan era pra jatuhnya Orba. Pemicu konflik horizontal yang terjadi akhir-akhir ini bukan hanya pada perbedaan kultur dan etnis, namun yang menjadi pemicu adalah perbedaan kepentingan, garis politik, serta cita-cita ideologis.
Perputaran Roda Keteraturan-Ketidakteraturan
Jaman berganti bagaikan roda yang berputar, kadang diatas kadang dibawah. Indonesia pada masa penjajahan merupakan jaman ketidakteraturan atau terbengkalainya kebangsaan Indonesia, kemerdekaan dan menjadi stabil dan teratur dengan berbagai macam sistem pemerintahan yang telah diterapkan.
Jaman ini adalah jaman pergantiaan atau era transisi yang harus dijalani dimana perubahan dengan berbalik 180° dari sistem Otoriter menjadi Demokrasi yang terkonsolidasi adalah suatu langkah yang berat sehingga membutuhkan banyak perubahan dan penyesuaian.
Dalam masa transisi, penempatan dan pengaturan elemen-elemen sosial kemasyarakatan masih belum jelas dan terinci yang menyebabkan setiap kelompok-kelompok social masih mencari tatanan hidup mereka dengan melakukan aksi-aksinya agar pemerintah bisa memberikan posisi yang tepat bagi kelompok-kelompok tersebut.
Biasanya konflik terjadi karena hal-hal yang sepele seperti ketersinggungan dan kesalah pahaman yang belakangan ini sangat sering terjadi. Oleh karena itu, wajarlah jika pada akhir-akhir ini di masa transisi ini terjadi banyak gejolak social dalam bentuk konflik horizontal dan semua negara mengalami gejala-gejala seperti ini saat dalam masa transisi.
Sesuai dengan penelitian Ted Robert Gur yang menyatakan bahwa meletupnya konflik horizontal terjadi di era transisi. Jadi tidaklah heran jika di negara kita akhir-akhir ini banyak terjadi konflik horizontal yang merupakan suatu proses dalam mencapai suatu kestabilan kembali sesuai dengan perputaran roda ketidakteraturan menuju keteraturan yang suatu saat penghujungnya akan mencapai kestabilan kembali.
Untuk mengarahkan jalannya masa transisi ini kearah yang benar, dibutuhkan juga peran pemerintah dalam masyarakat sebagai penetrasi atau penengah dalam resolusi konflik. Jadi berdasarkan ulasan diatas, masalah-masalah bernuansa SARA akhir-akhir ini bukanlah semata-mata karena ketidak seriusan pemerintah, melainkan kejadian-kejadian tersebut adalah suatu proses tercapainya keteraturan yang baru yakni demokrasi yang terkonsolidasi.
Dalam rentang waktu kurang lebih 5 tahun terakhir ini, telah banyak kasus bernuansa SARA terjadi di Indonesia. Kejadian-kejadian yang berpotensi SARA pada 5 tahun terakhir ini dimulai dari kasus pembakaran rumah terhadap 31 keluarga yang beraliran Ahmadiah di Lombok Barat oleh sekelompok warga pada Februari 2006, disusul dengan penyerangan terhadap kelompok Ahmadiah pada Desember 2007 di Jawa Barat dan Mei 2008 di Sukabumi.
Kasus lain yakni penyerangan terhadap iring-iringan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi pada September 2010 dan pembakaran madrasah Al-Mahmud milik Ahmadiah yang dilakukan oleh sekelompok massa pada 27 Desember 2010. Tak hanya berakhir pada kasus tersebut.
Puncak dari kasus-kasus  yang berpotensi menjadi konflik SARA (suku, agama, rasa, dan antar golongan) terjadi pada tanggal 6 Februari 2011 yang menewaskan tiga orang jemaah Ahmadiah dan tujuh orang lainnya luka-luka akibat penyerangan kediaman pimpinan Ahmadiah di kampung Peundeuy, Desa Umbulah, Kecamatan Cikeusik  yang diserang oleh ribuan massa. Menyusul setelah penyerangan Ahmadiah, pada tanggal 7 Februari 2011 terjadi lagi pembakaran gereja di Temanggung yang menyebabkan sembilan orang luka-luka serta kerusakan tiga gereja.
Konflik telah banyak terjadi dalam 5 tahun terakhir ini, terutama konflik-konflik yang bernuansa SARA. Lantas apakah yang salah dengan sistem ketatanegaraan kita? Atau mungkin pemimpin kita kurang mampu dalam menangani gejolak-gejolak dalam masyarakat? Ataukah mungkinkah bangsa ini sudah tidak memiliki moral?
Masa Transisi Otoriter-Demokrasi
Pemerintahan otoriter Orde Baru yang menekan dan membelenggu masyarakat menimbulakn kejenuhan dalam benak. Kejenuhan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru telah memunculkan berbagai gerakan-gerakan politik masyarakat terutama kalangan mahasiswa. Gerakan-gerakan politik yang terus mendesak pemerintahan otoritarian Soeharto akhirnya berujung pada kejatuhan rezim Orba.
Kejatuhan rezim Orba merupakan starting point bagi NKRI dalam merubah haluan sistem pemerintahan dari Otoriter yang diterapkan Soeharto menjadi negara demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukan hanya mengadopsi sebagian prinsip demokrasi, melainkan demokrasi yang diidam-idamkan dan berusaha untuk diwujudkan adalah demokrasi yang terkonsolidasi.
Demokrasi yang terkonsolidasi merupakan demokrasi yang menyeluruh, setiap elemen-elemen negara menerapkan sistem demokrasi yang baik dalam mencapai kestabilan ketatanegaraan. Oleh karena itu, Indonesia saat ini belum dikatakan sebagai negara Demokrasi yang terkonsolidasi, melainkan masih menuju ke titik tersebut yang disebut dengan era transisi.
Hasil dari kejatuhan rezim otoriter adalah liberalisasi politik dimana setiap hak warga negara diperjuangkan. Perjuangan tersebut baru muncul setelah katup politik terhadap masyarakat terbuka, yang dulunya dalam masa otoriter masyarakat hanya penonton dalam perpolitikan, sekarang masyarakat telah menjadi salah satu inti dari perpolitikan suatu negara sehingga masyarakat bebas membuat kelompok dan bersuara depan pemerintah untuk menggunakan hak-hak yang dimiliki.
Partisi politik masyarakat ini akhirnya ngetren di kalangan masyarakat. Kebebasan yang telah terkungkung selama ini pada masa otoriter meledak dan menjadi suatu euphoria masyarakat atas kebebasannya. Euphoria sendiri didukung dengan keadaan negara yang lemah karena masih dalam penataan ulang pasca reformasi besar-besaran.
Pasca reformasi 1998, mayarakat seolah-olah bebas dan merdeka untuk yang kedua kalinya setelah melawan penjajah. Masyrakat menjadi lebih berani dalam melancarkan aksi-aksinya dalam menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Termasuk melakukan protes-protes kepada pemerintah baik yang bersifat demonstrasi yang tertib maupu yang anarkis.
Bahkan juga mengungkit masalah-masalah pelanggaran-pelanggaran yang telah di perbuat pemerintah Orba, seakan-akan masyarakat meminta pertanggungjawaban pemerintah atas perlakuannya selama ini terhadap rakyat. seperti inilah keadaan masyarakat sekarang ini di masa transisi.
Konflik Horizontal
Indonesia dikenal sebagai negara “warna-warni”. Mulai dari suku, ras, agama, warna kulit, sampai pada lautan yang memisahkan antar individu. Semua itu bukanlah masalah bagi tegaknya negara ini, terbukti dari catatan sejarah yang telah dilukis oleh bangsa ini sebagai bangsa yang memiliki rasa toleransi yang tinggi dengan bersatunya seluruh elemen bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun, semua itu telah gugur pada jaman transisi menuju demokrasi yang terkonsolidasi.
Sebenarnya konflik horizontal telah banyak bermunculan sebelum kejatuhan Soeharto. Konflik tersebut muncul dikarenakan rasa kekecewaan masyarakat yang menggumpal pada pemerintah. Di lain sisi, masyarakat tak mampu menghadapi kekuatan pemerinta sehingga yang menjadi korban pelampiasan adalah golongan-golongan minoritas baik itu secara etnis maupun budaya.
Kasus konflik horizontal di era transisi sendiri berbeda dengan era pra jatuhnya Orba. Pemicu konflik horizontal yang terjadi akhir-akhir ini bukan hanya pada perbedaan kultur dan etnis, namun yang menjadi pemicu adalah perbedaan kepentingan, garis politik, serta cita-cita ideologis.
Perputaran Roda Keteraturan-Ketidakteraturan
Jaman berganti bagaikan roda yang berputar, kadang diatas kadang dibawah. Indonesia pada masa penjajahan merupakan jaman ketidakteraturan atau terbengkalainya kebangsaan Indonesia, kemerdekaan dan menjadi stabil dan teratur dengan berbagai macam sistem pemerintahan yang telah diterapkan.
Jaman ini adalah jaman pergantiaan atau era transisi yang harus dijalani dimana perubahan dengan berbalik 180° dari sistem Otoriter menjadi Demokrasi yang terkonsolidasi adalah suatu langkah yang berat sehingga membutuhkan banyak perubahan dan penyesuaian.
Dalam masa transisi, penempatan dan pengaturan elemen-elemen sosial kemasyarakatan masih belum jelas dan terinci yang menyebabkan setiap kelompok-kelompok social masih mencari tatanan hidup mereka dengan melakukan aksi-aksinya agar pemerintah bisa memberika posisi yang tepat bagi kelompok-kelompok tersebut.
Biasanya konflik terjadi karena hal-hal yang sepele seperti ketersinggungan dan kesalah pahaman yang belakangan ini sangat sering terjadi. Oleh karena itu, wajarlah jika pada akhir-akhir ini di masa transisi ini terjadi banyak gejolak social dalam bentuk konflik horizontal dan semua negara mengalami gejala-gejala seperti ini saat dalam masa transisi.
Sesuai dengan penelitian Ted Robert Gur yang menyatakan bahwa meletupnya konflik horizontal terjadi di era transisi. Jadi tidaklah heran jika di negara kita akhir-akhir ini banyak terjadi konflik horizontal yang merupakan suatu proses dalam mencapai suatu kestabilan kembali sesuai dengan perputaran roda ketidakteraturan menuju keteraturan yang suatu saat penghujungnya akan mencapai kestabilan kembali.
Untuk mengarahkan jalannya masa transisi ini kearah yang benar, dibutuhkan juga peran pemerintah dalam masyarakat sebagai penetrasi atau penengah dalam resolusi konflik. Jadi berdasarkan ulasan diatas, masalah-masalah bernuansa SARA akhir-akhir ini bukanlah semata-mata karena ketidak seriusan pemerintah, melainkan kejadian-kejadian tersebut adalah suatu proses tercapainya keteraturan yang baru yakni demokrasi yang terkonsolidasi.

Sumber: http://myzone.okezone.com/content/read/2011/03/08/4629/transisi-otoriter-demokrasi-dan-konflik-bernuansa-sara

Makar dalam Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam Merupakan Bentuk Kejahatan

Oleh: Wawan Budiyawan (Pemerhati Masalah Sosial dan Buday) - 


Negara adalah suatu organisasi yang besar, mempunyai tugas untuk pelaksanaan usaha pencapaian tujuan secara nasional dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kelestarian kehidupan bangsa dan negara. Menjaga dan memelihara eksistensi negara agar tetap bertahan hidup (survive), bukanlah suatu hal yang mudah.

Negara senantiasa diperhadapkan dengan berbagai ancaman yang membahayakan eksistensinya, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri. Salah satu bentuk ancaman yang membahayakan negara ini adalah kejahatan/tindak pidana makar.

Berdasarkan komparasi konsep makar yang terdapat pada hukum positip dan hukum pidana Islam diperoleh persamaan dan perbedaan tentang ketentuan makar. Persamaannya adalah bahwa konsep makar menurut hukum pidana positip dan hukum pidana Islam adalah sama-sama bentuk kejahatan/tindak pidana yang ditujukan terhadap kekuasaan negara dan digolongkan sebagai kejahatan politik, serta menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam percobaan dan permufakatan untuk melakukan kejahatan makar tetap dapat dipidana.

Adapun perbedaannya adalah bahwa dalam hukum pidana positif seseorang yang tidak memenuhi program pemerintah tidak dianggap makar. Sementara itu, menurut hukum pidana Islam, yang disebut makar ialah umat muslim yang hendak mencopot pemimpin negara.

Dari uraian dan pambahasan tentang konsep tindak pidana makar ini, bahwa baik menurut hukum pidana positip maupun hukum pidana Islam kejahatan/tindak pidana makar adalah merupakan bentuk kejahatan yang sangat berbahaya dan juga dikategorikan sebagai kejahatan politik yang memiliki ciri motif dan tujuan yang berbeda dari kejahatan biasa serta diancam dengan sanksi pidana yang berat.

Karena tindak pidana makar ini pada dasarnya adalah konflik vertikal yang terjadi antara rakyat dan pihak penguasa negara, maka demi menciptakan hubungan yang harmonis antara rakyat dan pihak penguasa. Penulis menyarankan agar pihak pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan negara harus dapat melaksanakan pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip demokratis, serta menanamkan rasa nasionalisme kebangsaan dan persatuan melalui pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia, dan rakyat sendiri juga harus dapat memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik.

Sumber:  http://myzone.okezone.com/content/read/2011/02/16/4344/makar-dalam-hukum-pidana-positif-dan-hukum-pidana-islam-merupakan-bentuk-kejahatan

Peran Ulama Redam Ideologi Terorisme di Kalangan Generasi Muda

Seiring dengan perkembangan lingkungan strategis dewasa ini, dunia termasuk Indonesia dihadapkan pada suatu bentuk ancaman nyata yang menjadi musuh bersama. Ancaman tersebut berupa tindak kejahatan terorisme yang membahayakan sendi-sendi kehidupan manusia karena menyebabkan hilangnya rasa aman dan sekaligus menimbulkan rasa cemas, takut serta mencekam di kalangan masyarakat.

Terorisme pada hakikatnya adalah kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, dalam arti bahwa setiap terjadi ancaman terorisme di manapun, akan merupakan ancaman bagi seluruh umat manusia karena mengancam kedamaian nasional dan internasional.

Para ulama diharapkan berperan dalam memerangi terorisme dengan cara memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat/generasi muda mengenai ajaran agama, sosial serta bidang keilmuan lainnya. Di era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peranan dan tantangan ulama semakin berat sehingga diperlukan pemahaman keilmuan yang lebih luas guna menjawab tantangan zaman dan menyelamatkan umat dari cengkraman budaya kebebebasan yang tidak terbatas.

Ulama harus memberikan pemahaman yang lurus kepada masyarakat khususnya para generasi muda tentang ajaran agama yang benar, sehingga masyarakat tidak mudah terpengaruh salah satunya dari tindakan-tindakan terorisme. Secara umum akar permasalahan dari aksi-aksi terorisme itu adalah karena kurangnya pemahaman tentang ajaran agama, sosial dan pendidikan didukung dengan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Sehingga, jika pemahaman orang itu kurang ditambah dengan kesejahteraan yang rendah, apapaun bisa dilakukan termasuk aksi-aksi terorisme.

Melalui penyuluh-penyuluh agama dan para dai, ditekankan agar menyampaikan dakwah dan ajaran agama Islam yang moderat, teduh, damai sehingga menjadi rahmatan lilalamin.Selain itu, mengimbau kepada para orang tua agar memberikan pemahaman kepada anaknya supaya jangan sampai terkena bujuk rayu untuk melakukan tindakan-tindakan ekstreem seperti dalam bentuk terorisme tersebut.

Para dai harus menyampaikan pandangan Islam yang benar, utuh serta jangan mau diiming-imingi apapun. Penanggulangan terorisme dengan pendekatan kekerasan selama ini tidak bisa meredam terorisme. Malah menimbulkan bentuk radikal baru yang lebih keras.

Sumber: http://myzone.okezone.com/content/read/2011/06/30/5835/peran-ulama-redam-ideologi-terorisme-di-kalangan-generasi-muda

KKN, Melupakan Sejenak Sisi Apatisme Mahasiswa


Oleh: Pramudya Arif Dwijanarko* -


APATIS, pragmatis, hedonis, dan berbagai kebiasaan buruk lainnya melekat pada diri mahasiswa sekarang. Bagaimana tidak? Ada tanggung jawab besar yang harus ditanggung oleh mahasiswa.
Tanggung jawab pertama adalah kepada orang tua. Mereka harus bisa memberikan jawaban atas susahnya para orang tua mereka untuk membiayai biaya kuliah yang semakin melambung. Padahal, harga kebutuhan pokok pub senakin mencekik. Akan sangat tidak sopan jika para mahasiswa pulang dengan nilai yang tidak membanggakan. Mengapa nilai? Karena nilai lah yang biasanya menjadi indikator kepuasan orang tua. Memiliki IP bagus, lulus cum laude, dan diterima di perusahaan minyak adalah dambaan banyak orang tua sekarang. Dengan tanggungan demikian para mahasiswa pun cenderung untuk lebih mementingkan segi akademis mereka. Apalagi sekarang kondisi pendidikan tinggi cukup sulit. Tugas yang menumpuk, seakan tugas itu sudah menjadi kebutuhan pokok mahasiswa.

Alasan kedua adalah masalah yang ada dalam bangsa ini. Kita tahu bahwa bangsa ini sedang dilanda sakit yang sangat kronis. Perampokan, pembunuhan, penipuan, korupsi, dan berita kriminal lainnya menghiasi negeri ini tiap hari. Masyarakat mulai jenuh. Apalagi mahasiswa, lebih baik mereka memilih untuk fokus pada kuliah, lulus, dan membahagiakan keluarga.

Namun, beberapa waktu mendatang, beberapa mahasiswa akan melupakan sisi gelap mereka tersebut. KKN, bukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, akan memaksa mahasiswa untuk tidak apatis dengan permasalahan bangsa ini. Kegiatan itu disebut Kuliah Kerja Nyata.

KKN adalah kegiatan akademik yang dilaksanakan di tengah kehidupan sosial masyarakat, terutama di wilayah pedesaan. Mahasiswa peserta KKN diperkenalkan secara langsung dengan masyarakat dan permasalahannya yang kompleks. Sambil belajar, para mahasiswa sekaligus mengaplikasikan pengetahuannya sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat. Melalui KKN, mahasiswa diharapkan selain menjadi calon sarjana yang mempunyai kompetensi sesuai keilmuannya, juga menjadi calon sarjana yang populis, generalis, dan mempunyai kepedulian terhadap problem-problem kemasyarakatan.

Dengan KKN inilah mahasiswa, yang hanya 5 persen dari total penduduk di Indonesia, menjadi perintis perubahan dalam masyarakat pedesaan. Para mahasiswa yang biasa belajar di dalam kelas, harus mampu menyelesaikan permasalahan di pedesaan sesuai kemampuan mereka. Jika di kelas, para mahasiswa hanya terbiasa dengan teori-teori, dan mungkin praktek pun masih berbasis pada teori saja, nah dalam KKN ini mahasiswa dihadapkan dalam sebuah problem langsung. Bagaimana penyelesaiannya, bagaimana cara mahasiswa mampu mengajak masyarakat desa agar lebih madani.

KKN bisa menjadi semacam Corporate Social Responsibility sebuah kampus terhadap masyarakat sekitar. Seperti halnya sebuah perusahaan yang berada di suatu wilayah, perusahaan tersebut harus membalas budi kepada masyarakat sekitar. Begitu pula dengan KKN. KKN menjadi balas budi sebuah universitas terhadap daerah sekitarnya. Sangat tidak adil ketika dalam suatu daerah, ada universitas besar yang di dalamnya terdapat orang-orang cerdas namun di sekitar daerah tersebut masih banyak orang yang belum bisa baca tulis.

Misalnya di Yogyakarta. Meski berstatus sebagai kota pelajar, masih banyak masyarakat yang tertinggal di sekitar kota tersebut. Sehingga UGM, yang berstatus sebagai universitas nomer dua di negeri ini memiliki kewajiban untuk membantu masyarakat tertinggal tersebut. Di Yogya, UGM tidak bekerja sendiri. Beberapa universitas yang lain seperti UIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Islam Indonesia juga memiliki program KKN seperti halnya di UGM.

Di UGM, KKN lebih berbasis kepada community empowerment (pemberdayaan masyarakat) bukan community development (pembangunan masyarakat). Hal ini dimaksudkan karena subjek dalam KKN bukan hanya mahasiswa, namun juga masyarakat. Dengan metode pemberdayaan, masyarakat menjadi aktor utama, mahasiswa hanya sebagai inisiator saja. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tetap berkembang secara mandiri meskipun proses KKN telah selesai.

Program KKN sendiri cukup bervariasi. Mahasiswa lewat dosen pembimbing bebas memilih tema dan mengajukan proposal program mereka. Rata-rata program pun tidak berbeda jauh dengan bidang keilmuan. Bagi mahasiswa fakultas teknik energi menjadi primadona utama, seperti pemberdayaan listrik tenaga angin di Pandansimo, Bantul, Yogyakarta. Ada pula pemanfaatan potensi pariwisata di daerah Lombok, pendirian UMKM di daerah Cepu, bahkan ada pendidikan kemasyarakatan di Papua.

Sebagaimana disampaikan oleh bapak Wakil Presiden Indonesia dalam pelepasan mahasiwa KKN di Grha Sabha Pramana, UGM Kamis lalu, beliau berpesan bahwa mahasiswa sebagai generasi yang akan menggantikan pemimpin yang ada saat ini harus lebih peduli terhadap realita masyarakat. Jadi ketika nanti menjadi pemimpin, harus jauh lebih baik daripada yang sekarang.

*Pramudya Arif Dwijanarko adalah Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM 2011

Humanisasi Guru dan Kebangkitan Indonesia

Oleh: Giovanni van Empel* -

ADA satu ciri khas utama dari intelektual generasi pertama, yakni kesungguhannya dalam mendidik. Pada ciri ini, mendidik tidak disempitkan dalam makna memberi ikan untuk langsung dimasak. Akan tetapi, mendidik diartikan sebagai proses memanusiakan dengan mengajarkan, menuntun bagaimana menggunakan pancing dengan benar.

Jacques Rolland mengatakan, “Bertanya adalah suatu proses latihan berpikir.” Pola pendidikan yang cenderung searah tidak mungkin melahirkan manusia-manusia Indonesia yang memiliki tradisi berpikir kuat.

Maka esensi pendidikan adalah bertanya. Tanpa bertanya, tak ada pencarian. Karena sejatinya berilmu adalah proses pencarian abadi tentang kebenaran. Dan guru adalah tour guide dalam taman pengetahuan.

Kita dapat melihat bagaimana kiprah HOS Tjokroaminoto yang menjadi guru sekaligus pendidik bagi Soekarno, Kartosuwirjo, dan Semaun. Bagaimana Ahmad Dahlan dan Hasyim Asyari telah melahirkan manusia-manusia hebat.

Hari ini kita mendambakan hadirnya guru-guru agung yang menjadikan kegiatan mendidik sebagai jiwa. Bukan sekedar profesi. Guru yang menjadi kawan dialektika murid-muridnya dan juga partner diskusinya.

Makna seorang pendidik diilustrasikan secara cantik oleh Sokrates yang mengatakan, “Aku ini bukan bidan sekedar bidan. Bukan bidan yang hanya melahirkan bayi-bayi manusia. Tapi aku orang yang membidani lahirnya gagasan-gagasan brilian manusia.”

Guru, tidak hanya mengajar, tapi juga menggugah kesadaran murid. Di tengah samudera skeptisisme massal, adalah guru yang menjadi ujung tombak pengembalian optimisme kebangsaan yang dulu pernah Indonesia miliki.

Maka dari itu, miris hati melihat ribuan guru di Jawa Barat belum mendapatkan tunjangan sejak Juli 2010. Tarik menarik antara kepentingan eksekutif dan legistlatif Jawa Barat menjadikan guru sebagai objek kebijakan. Di sisi lain, anggaran tunjangan yang menjadi polemik pembahasan menimbulkan tanya, apakah perlu ditunda mengingat anggaran tunjangan yang semestinya sudah pasti?

Di titik ini, kiranya kita harus mengingatkan agar negara terlebih dulu memanusiakan guru.

*Giovanni van Empel adalah Mahasiswa Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gadjah Mada (UGM)

Mahasiswa Hanya Mengejar Gelar


Oleh: Handini Arga Damar Rani* -

MELIHAT realitas yang terjadi, khususnya di kalangan perguruan tinggi, mayoritas mahasiswa masih belum mampu memahami identitas sosialnya. Yakni, sebagai generasi dengan sikap progresif dan militansi cukup signifikan untuk mendorong perubahan masyarakat.

Kebanyakan mahasiswa hanya sibuk dengan tugas yang diberikan oleh dosen. Mereka jarang terlibat kegiatan-kegiatan di masyarakat, sehingga tidak mengerti perkembangan di masyarakat itu sendiri.

Mahasiswa harus mampu menyeimbangkan diri terhadap kondisi sosial masyarakat, sehingga kegiatan di kampus tidak semata-mata kuliah  dan kemudian pulang mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen. Di balik itu semua, mahasiswa mempunyai tugas dan peran yang penting dalam masyarakat, terutama untuk kemajuan negara Indonesia.

Fakta yang terjadi di kalangan mahasiswa sekarang sangat berlawanan dengan pandangan masyarakat pada umumnya, tidak memiliki harkat dan martabat tinggi. Karena masih banyak lulusan mahasiswa yang sulit mencari kerja dan bertindak anarkis yang kurang mencermikan agen perubahan.

Pembangunan idealisme akan kesadaran kritis bukanlah yang bersifat progresif terhadap realitas. Peran mahasiswa sebagai kaum intelektual sudah terdegradasi. Padahal mahasiswa adalah harapan rakyat sebagai regenerasi muda bangsa Indonesia. Akan tetapi, apa yang diinginkan oleh mahasiswa tidak sejalan dengan keinginan rakyat, bahkan rakyat menilai jika mahasiswa itu hanya bisa bertindak anarkis saja.

Sebagian besar mahasiswa di era sekarang ini, hanya mengejar gelar. Mahasiswa seakan-akan tidak peduli dengan segala kebutuhan masyarakat tehadap pemerintah. Hanya segelintir mahasiswa yang masih mau menyalurkan amanat dari masyarakat dengan cara yang baik.

Selain itu mahasiswa sekarang yang mengalami degradasi, baik dari segi intelektualisme, idealisme, patriotisme, maupun semangat jati diri mereka, cenderung untuk berpikir pragmatis dalam menghadapi persoalan. Hal tersebut terjadi karena pengaruh budaya barat yang tidak terkendali telah meracuni pemuda dan mahasiswa.

Kesimpulannya adalah peran mahasiswa sangat besar, namun mereka kurang sadar akan hal tersebut, sehingga mereka hanya dengan mudahnya menyelesaikan persoalan menggunakan emosi. Lepas dari pandangan buruk tentang mahasiswa, masih banyak mahasiswa yang menggunakan intelektualnya untuk ikut serta membangun masyarakat.

*Handini Arga Damar Rani adalah Mahasiswa Teknik Informatika Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus