Sekolah Pembebanan

Oleh Muhibuddin Hanafiah dan Zahriani Ahmad Amin -

SETIAP menjelang tahun ajaran baru, sebagian besar orang tua mulai sibuk menyiapkan putra-putri mereka untuk dapat diterima di sekolah favorit. Fenomena ini bukan hanya dialami oleh anak-anak yang akan tamat SD, SMP atau SMA saja, tapi juga bagi anak-anak TK. Untuk tercapainya tujuan tersebut, tidak ada pilihan lain kecuali orang tua harus memburu tempat-tempat bimbingan belajar dan memaksa anak untuk mengikuti kemauan mereka.

Untuk mengajar sendiri di rumah, jelas mereka tidak punya waktu atau mungkin juga tidak menguasai materi pelajaran sekolah. Dari kenyataan ini, alternatif yang mungkin ditempuh hanyalah menitipkan anak pada bimbingan belajar. Kalau perlu mereka akan memilih tempat bimbingan belajar yang super intensif, perihal biaya tak menjadi soal asal anaknya terjamin lulus di sekolah yang dituju.

Demi mengejar mimpi dirinya, ia paksakan dan korbankan kemerdekaan pilihan anak dengan cara yang kelihatannya cukup muslihat, yaitu mempersiapkan masa depan anak-anak mereka. “Sedikit memaksa itukan hak orang tua”, merupakan ucapan klise yang sering dijadikan dalih pembenaran. Sementara sekolah yang merasa kursinya diperebutkan oleh banyak orang tua menaikkan kualifikasi penerimaan siswa baru dengan bermacam-macam persyaratan di luar aturan yang berlaku.

Dengan semakin ketat dan tingginya persyaratan yang diajukan, bahkan untuk memasuki SD, anak-anak usia TK pun harus rela menciutkan waktu bermain mereka untuk mengikuti program belajar tambahan bersama guru atau tentor. Seharusnya mereka masih bermain sambil belajar, dan membutuhkan lebih banyak waktu untuk bersama orang tua. Tapi yang mereka alami malah sebaliknya, mereka harus belajar dalam keadaan tertekan, karena kekawatiran orang tua yang berlebihan dengan terpaksa anak-anak ini harus rela melepaskan waktu berharga mereka.

Minus komunikasi

Satu contoh kasus misalnya, anak lulusan Taman Kanak-Kanak (TK) agar diterima di sekolah dasar (SD), harus bisa membaca dan menulis. Sementara realitas yang terjadi, tidak semua anak usia TK mampu memenuhi semua kualifikasi itu. Di antara penyebab dari kelemahan anak usia TK tersebut adalah kurangnya kerjasama (membagi tugas) antara guru di sekolah dan orang tua di rumah untuk mengulang, memperkuat atau mempertajam pelajaran di sekolah ketika anak sudah di rumah bersama orang tua.

Ternyata kebanyakan orang tua tidak mampu memainkan peran sebagai penyambung lidah guru di rumah. Sehingga target anak mahir membaca dan menulis jadi keteteran. Alasan orang tua pasti beragam; tidak sempatlah, terlalu sibuk di kantor, tidak ada waktu karena harus bekerja, pulang ke rumah sudah terlalu lelah, dan lain-lain. Pelarian dari kelalaian orang tua ini harus ditebus oleh pihak lain, yaitu guru privat atau tentor di tempat bimbingan belajar.

Perilaku orang tua dengan jalan memotong kompas semacam ini seakan menjadi pemandangan umum pada masyarakat kita akhir-akhir ini terutama di perkotaan. Anak-anak sejak dini telah dipress sesuai dengan keinginan orang tua di jalur sekolah mana ia harus menempuh. Sering orang tua bertindak otoriter untuk memenuhi harapan ini. Anak tidak dilibatkan untuk mengukir cita-cita menurut kemampuan dan keinginannya. Nuansa demokrasi dalam keluarga, dimana anak berhak memberikan pendapat dan menentukan masa depannya, jarang dipraktekkan. Langkah-langkah kompromi antara orang tua dan anak semakin terlupakan dalam tradisi keluarga. Pemaksaan keinginan orang tua yang sifatnya sepihak ini justru semakin membuka ruang yang lebar dan jarak yang jauh dalam hubungan mereka. Di mata anak, orang tua bukan sebagai orang terdekat, orang yang paling mengerti akan diri mereka. Melainkan sosok yang masa bodoh terhadap suara hati mereka.

Pemaksaan kemauan dengan mengabaikan fisiologis dan psikologis anak bisa berakibat fatal, seperti anak merasa jenuh, bosan dan ingin lari dari orang tua. Eksploitasi anak oleh orang tua seakan tak mengenal musim. Orang tua siap kapan saja merampas masa depan anaknya karena menggap itu milik mereka, dan orang tua merasa lebih tahu apa yang dibutuhkan anak-anak mereka.

Padahal anak hanya “menumpang” lahir melalui rahim ibunya, tetapi bukan berarti orang tua boleh begitu saja memaksa keinginannya pada anak. Sebab, setiap anak memiliki hak atas dirinya sendiri, ia berhak memilih jalan hidupnya tanpa paksaan siapapun, termasuk orang tua. Pandangan ini sekilas kelihatannya ekstrem, melawan arus, dan terlalu memberi kebebasan pada anak. Sementara orang tua semakin terbatas hak dan otoritas terhadap anaknya sendiri.

Padahal tidak demikian, anak adalah satu pribadi yang tidak berbeda dengan manusia lain. Ia berhak menentukan pilihannya sendiri, orang tua sebatas pengarah lantaran lebih berpengalaman. Tetapi sekali lagi bukan lokomotif terhadap individu anak. Dimana kapasitas, potensi, bakat dan minat serta pola pandang terhadap kehidupan berbeda dengan orang tuanya sesuai dengan zaman, lingkungan dan pendidikan yang ditempuh.

Minus bermain

Di sekolah dengan muatan kurikulum yang cukup padat, sudah membuat kepala anak penat. Lalu sepulang sekolah otak anak yang telah penuh itu harus diisi lagi dengan berbagai materi pelajaran tambahan yang tumpang tindih. Sayang, otak anak penuh dengan hafalan, wawasan dan pengetahuan, minus pemahaman. Akibatnya, pengetahuan yang diperolehnya tidak berkualitas, tidak berkesan, tidak membekas dan akhirnya mudah lupa lantaran rasa bosan akrab menggelayuti.

Orang tua kurang tepat dalam membangun persepsi terhadap pendidikan anak. Mereka mengira bahwa anak sukses itu adalah anak yang pinter secara kognitif (intelek), anak yang otaknya cemerlang. Sementara kecerdasan jiwa, hati, kepribadian (soft skill) dan sosial dianggap tidak penting. Akibatnya prinsip keseimbangan otak antara belahan kiri dan kanan kurang pendapat perhitungan. Padahal, asah otak harus dibarengi dengan asah hati, rasa dan jiwa.

Hal ini dapat ditempuh melalui berbagai kegiatan selain belajar dalam pengertian formal, seperti melalui kegiatan kesenian, kebudayaan, olahraga, pergaulan sosial dan pengamalan ajaran agama. Dan hanya orang tualah yang paling mahir mengasah kecerdasan jenis ini. Variasi kegiatan pendidikan yang menampung ketiga ranah pendidikan (kognitif, afektif dan psikomotor) secara harmonis sejatinya menjadi pilihan yang harus diburu orang tua.

Sudah saatnya kini orang tua tidak saja mengharapkan hasil dari anak tanpa mau menerima dan mengalami proses bersama dengan mereka. Melewati waktu bersama dengan anak merupakan tindakan yang wajib dipertimbangkan bila ingin dekat dan mau mengenali dan memahami anak. Jangan korbankan anak untuk mengejar karir dan penghasilan materi, adalah petuah bijak yang pantas didengar.

Sebab, nilai (takaran) keduanya --anak dan materi kekayaan-- tidak sebanding. Anak adalah keabadian orang tua di mata Tuhan dan manusia. Sedangkan karir, pendapatan harta benda hanyalah kefanaan yang bisa jadi nista bila anak tersia-siakan. Karena itu, kehadiran dan peran serta orang tua bersama anak tidak bisa digantikan oleh siapapun, baik guru, tentor apalagi pembantu.

* Muhibuddin Hanafiah dan Zahriani Ahmad Amin
, adalah orang tua dengan tiga anak.
Sekolah Pembebanan - Serambi Indonesia

Metakognisi dalam Belajar

Oleh Ramli Abdullah -

MANUSIA mempunyai alat dalam merefleksikan watak dan kemampuannya, manusia juga dengan aktif dan sadar mampu memutuskan suatu perilaku untuk mengoptimalkan kemampuannya dan memiliki kesadaran untuk belajar dari kesalahan yang telah dilakukannya. Sehingga yang dimaksud metakognisi adalah berperilaku, kemampuan memantaunya serta keyakinan yang dapat mengontrol terhadap suatu perilaku dan bagaimana melakukannya.

Menurut Woolfolk metakognisi adalah pengetahuan seseorang yang berkaitan dengan sifat-sifat dalam belajar, strategi belajar efektif, keunggulan dan kelemahannya dalam belajar, dan pembelajaran melalui informasi yang tersedia untuk mengambil keputusan. Ia menjelaskan bahwa metakognisi adalah suatu kesadaran mengenai proses berpikir dan bilamana proses itu terjadi.

Sedangkan Flavell dan Miller menjelaskan, metakognisi adalah pengetahuan seseorang yang berkaitan dengan proses berpikir dan hasil dari kegiatan tersebut. Ruang lingkup metakognisi, yaitu: Pertama, pengetahuan metakognisi, dan; Kedua, monitor metakognitif dan pengaturan diri.

Sejalan dengan pendapat di atas, Suharnan mengatakan bahwa metakognisi adalah pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang proses-proses pengetahuannya itu sendiri atau juga merupakan proses yang penting, sebab pengetahuan seseorang tentang proses-proses pengetahuannya sendiri mengatur kondisi dan memilih strategi yang cocok untuk meningkatkan kinerja pengetahuan di kemudian hari.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, bahwa yang dimaksud dengan metakognisi adalah suatu kemampuan siswa dalam mengatur diri, seperti komitmen dan sikap positif dengan menggunakan berbagai bentuk pengetahuan, seperti pengetahuan deklarasi, prosedural, dan kondisional. Keterampilan dalam mengontrol diri, seperti perencanaan, pengaturan proses kegiatan, dan kemampuan evaluatif.

Penerapan metakognis
Metakognisi adalah pengetahuan siswa mengenai kelemahan dan kekuatannya dalam belajar serta pengaturan diri selama belajar, seperti perencanaan, penggunaan, proses dan evaluasi. Bagi siswa yang memiliki metakognisi tinggi berupaya mempelajari hal-hal yang akan menjadi kegiatan belajarnya dengan mudah dan mendapat hasil tinggi, mengetahui dan menggunakan strategi yang tepat, efisien, sesuai dengan kondisi dalam rangka untuk mencapai tujuan belajar.

Menurut Bondy dalam Sprinthall, guru perlu menggunakan strategi pembelajaran yang bervariasi sehingga siswa dapat meningkatkan penerapan metakognisinya dengan cara memberikan umpan balik kepada siswa, membiasakan siswa memiliki catatan berkenaan dengan belajar, dan mengajarkan kepada siswa untuk menilai kemampuannya sesempurna mungkin.

Untuk mencapai hasil belajar yang tinggi, maka sangat terkait dengan pengetahuan siswa tentang strategi-strategi belajar, penggunaannya yang tepat. Kemampuan siswa dalam membuat perencanaan, penggunaan dan evaluasi terhadap belajar. Menurut Kinsvatter bahwa metakognisi bukanlah kemampuan bawaan. Metakognisi dapat diajarkan, dipelajari, dan ditingkatkan dengan cara mempelajari strategi belajar, mengetahui tujuan mata pelajaran, mengasah kemampuan, menganalisis pengaruh strategi belajar yang digunakan, dan kemampuan monitor strategi-strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan belajarnya.

Sedangkan Slavin mengatakan bahwa metekognisi adalah pengetahuan seseorang mengenai cara belajar atau memahami dengan cara bagaimana dapat belajar dan mampu mengontrol terhadap perilaku belajarnya agar mampu menetapkan tahap perkembangan dan strategi yang mendukung dalam meraih tujuan pembelajaran.

Gagnon dan Collay mengatakan bahwa metakognisi adalah aktivitas pemusatan pikiran siswa pada apa yang sedang dipikirkan ketika mereka menjalani suatu situasi belajar. Hal ini terjadi karena siswa menggunakan pikiran, perasaan, gembira, dan bahasa yang dapat membantunya dalam menjalani kegiatan belajar bersama dalam kelompok.

Dengan demikian metakognisi dalam belajar memiliki hubungan positif dengan peningkatan hasil belajar. Semakin tinggi siswa menerapkan berbagai dimensi metakognisi dalam kegiatan belajar, maka semakin tinggi pula hasil belajar diraihnya. Sebaliknya semakin rendah siswa menerapkan berbagai dimensi metakognisi dalam belajar, maka semakin rendah pula hasil belajar didapatkannya.

Berbagai metakognisi siswa dalam belajar yang dimaksud, seperti: (1) komitmen siswa dalam belajar, (2) sikap positif siswa dalam belajar, (3) evaluasi siswa dalam belajar, (4) perencanaan siswa dalam belajar, (5) pengaturan proses siswa dalam belajar, (6) pendelegasian siswa dalam belajar, (7) prosedur siswa dalam belajar, dan (8) pengkondisian diri siswa dalam belajar suatu mata pelajaran.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metakognisi dalam belajar mempunyai hubungan positif dengan hasil belajar suatu mata pelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa upaya meningkatkan hasil belajar suatu mata pelajaran akan lebih optimal apabila dilakukan dengan meningkatkan penerapan berbagai dimensi metakognisinya dalam belajar suatu mata pelajaran.

Hubungan positif
Dengan adanya hubungan positif antara metakognisi siswa dalam belajar dengan hasil belajar, maka tingginya penerapan berbagai dimensi metakognisi siswa dalam belajar akan mengakibatkan hasil belajar yang diraih siswa tinggi dan demikian pula sebaliknya apabila penerapan berbagai dimensi metakognisi siswa dalam belajar rendah maka akan mengakibatkan hasil belajar siswa rendah.

Dengan demikian menunjukkan bahwa hasil belajar ditentukan oleh sejauh mana siswa menerapkan berbagai dimensi metakognisinya dalam belajarnya. Atau dengan kata lain bahwa adanya hubungan yang positif antara metakognisis siswa dalam belajar dengan hasil belajar, maka setiap peningkatan penerapan berbagai dimensi metakognisi dalam belajar mengakibatkan peningkatan hasil belajar.

Besarnya tingkat hubungan antara metakognisi dalam belajar ikut mengakibatkan peningkatan hasil belajar siswa. Hal ini berarti bahwa penerapan berbagai dimensi metakognisi dalam belajar tinggi, maka hasil belajar siswa tinggi pula dan demikian pula sebaliknya penerapan berbagai dimensi metakognisi dalam belajar rendah, maka hasil belajar siswa akan rendah pula.

Maka dengan demikian menunjukkan bahwa hasil belajar dapat ditentukan oleh faktor metakognisi. Bahwa peningkatan terhadap penggunaan berbagai dimensi metakognisi dalam belajar akan berimplikasi kepada peningkatan hasil belajar. Jadi tingginya hasil belajar siswa diakibatkan oleh tingginya penggunaan berbagai dimensi metakognisinya dalam belajar.

* Dr. H. Ramli Abdullah, MPd. adalah Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh/Lulusan Magister dan Doktor Bidang Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Metakognisi dalam Belajar - Serambi Indonesia

Jangan Cuma Damai di Panggung Deklarasi

Oleh Nirwanudin -

PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) langsung yang dimulai sejak 2005 lalu, hingga kini telah dilaksanakan oleh lebih dari 250 provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pilkada langsung satu kemajuan besar dalam sistem demokrasi kita, karena sebelumnya kepala daerah selalu dipilih oleh DPRD tanpa melibatkan rakyat daerah secara langsung. Dan, dalam beberapa kasus, kepala daerah kerap dianggap sebagai sosok misteri karena calonnya ditentukan pusat.

Seiring dengan berjalannya waktu ternyata dalam proses pilkada langsung juga tidak jarang menuai banyak masalah. Misanya saja, gonjang ganjing di berbagi daerah yang melaksanakan pilkada terus berlangsung. Di mana-mana terjadi unjuk rasa ketidakpuasan terhadap proses pilkada yang berujung pada tuntutan pembatalan hasil pilkada atau pilkada ulang, seolah proses pilkada berjalan “liar” dan tidak terkontrol.

Banyak kasus menuju ke arah itu. Misalnya, di beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat berakhir ricuh. Kasus-kasus itu menunjukan, masyarakat di daerah, termasuk DPRD/DPRA, Panwas, dan KPUD/KIP, tidak menjalankan peraturan perundang-undangan dengan baik, khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pilkada baik melalui mekanisme tahapan, panwas, dan pengadilan.

Akibat konflik regulasi
Riak-riak masalah juga terjadi di Aceh, yang hari ini sedang melaksanakan tahapan pilkada provinsi/kabupaten/kota juga telah mengalami penundaan beberapa kali. Ini akibat dari konflik regulasi (pada waktu itu) yang belum tuntas, yang berimbas pada bergesenya tahapan pilkada di Aceh dan penunjukan penjabat (Pj) Gubernur/Bupati/Wali kota yang habis masa jabatannya.

Dalam prosesnya, KIP, LSM, Mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya, coba menginisiasikan satu panggung perjanjian politik bagi para calon untuk menjawab berbagai persoalan yang telah terjadi pada proses tahapan pilkada, yaitu panggung deklarasi damai.

Di panggung deklarasi damai ini tidak jarang dan bahkan di setiap pilkada di manapun selalu saja dibuat dan atau disediakan panggung untuk mengikrarkan janji dalam semua proses pilkada oleh para kandidat.

Ada satu harapan yang sangat penting sebenarnya dalam proses panggung deklarasi damai ini, adalah bagaimana semua pihak terutama para kandidat untuk tidak melanggar rambu-rambu yang telah disepakati dan ditandatangi bersama itu. Ini agar tidak adanya teror, kekerasan, intimidasi dan gugatan yang dilakukan oleh para kandidat atau tim sukses kandidat terhadap kandidat atau tim sukses kandidat lainnya.

Deklarasi damai ini juga menjadi instrumen penting dalam memulai setiap aktifitas kampanyenya. Karena itu, biasanya para kandidat akan “didaulat” menjadi sutradara dalam pementasan panggung deklarasi damai itu. Setiap kandidat mempunyai kewajiban dalam menyusun skenario agar pilkada ini menjadi pilkada damai.

Siapa pun yang diperankan oleh sutradara (kandidat) untuk melakoni satu tugas dalam rangka memenangkan dirinya untuk menjadi gubernur Aceh haruslah sesuai dengan naskah perjanjian pada saat pelantikan (deklarasi) damai sesuai dengan pementasan awal yang telah dibubuhi tanda tangan yang didalamnya terdapat aturan-aturan sebagai acuan untuk ustradara.

Seorang sutradara dalam menunjuk setiap orang yang akan diperankan haruslah sesuai dengan standar bahwa seseorang yang ditugaskan itu paham betul akan aturan main yang ada. Hal yang paling penting untuk diingatkan oleh sutradara kepada setiap orang yang diperankan untuk melakoni sesuatu yaitu damai dalam setiap bentuk dan tugas apa pun.

Realita saat ini
Kalau sudah demikian, akankah damai hanya ada di panggung tempat deklarasi? Melihat realita saat ini, paling tidak ada tiga jawaban bagi pertanyaaan di atas. Pertama, kalau para kandidat niatnya hanya karena haus akan kekuasaan, di mana senyuman dan tanda tangan di atas panggung deklarasi damai itu tak lebih hanya sebagai syarat dan sandiwara belaka. Maka, bisa jadi bahwa damai hanya dirasakan di tempat deklarasi saja.

Kedua, kalau niatnya untuk mencalonkan diri hanya untuk memperlihatkan kepada orang bahwa dia bisa juga menjadi calon namun tidak jelas orientasinya bahkan cenderung melakukan money politic (politik uang), maka sengketa pilkada akan berujung di meja hijau yang menjurus bahwa damai hanya dirasakan dalam panggung deklarasi saja.

Ketiga, kalau para kandidat mencalonkan diri dengan niat untuk melayani masyakarat, maka damai tidak hanya ada pada panggung deklarasi. Tapi juga akan menghiasi Aceh sampai perhelatan pilkada periode berikutnya. Untuk menjadi pelayan masyarakat, kita tidak mesti menjadi gubernur, bupati atau wali kota. Dengan kedudukan kita hari ini, kita bisa saja menjadi pelayan bagi setiap orang yang memerlukan bantuan kita.

Agaknya inilah yang perlu direnungkan oleh setiap kandidat, bahwa apa yang terjadi dalam rentang waktu tiga bulan belakangan ini telah mengusik kita. Penembakan hingga merenggut nyawa saudara-saudara kita yang tidak berdosa, pembakaran rumah dan mobil telah menghiasi media massa dan elektronik setiap hari.

Merujuk pada apa yang dikatakan Henri JM Nouwen (2000), selama tangan kita mencengkram dan berbicara dalam bahasa “milikku dan milikku”, kekuasaan yang kecil dengan cepat akan menjadi besar. Kekuasaan seperti itu akan menjerumuskan kita ke dalam kebencian, kekerasan dan bahkan perang. Akan tetapi, kalau kita berani mengosongkan tangan kita dan mengangkatnya untuk memuji Tuhan, maka kita dapat menerima kekuasaan dari Tuhan. Kekuasaan ini akan menjadi berkat bagi diri kita dan bagi masyarakat.

Karena itu, para kandidat perlu merenung sejenak dan berjanji pada diri sendiri dan Tuhannya untuk tidak melukai pilkada damai ini. Kita akan sangat berharap bahwa panggung deklarasi damai ini tidak hanya sekedar seremonial belaka. Semoga!

* Nirwanudin, Sekretaris Umum Badko HMI Aceh periode 2010-2012/Ketua Umum IPPELMAS Banda Aceh periode 2008-2010.
Jangan Cuma Damai di Panggung Deklarasi - Serambi Indonesia

Dualisme PNS dalam Pilkada

Oleh Muharril Al Aqshar -

BERBAGAI persoalan muncul mengiringi pelaksanaan berbagai tahapan pilkada, mulai dari ‘perang’ antarkelompok pendukung calon, sampai pada ragam kecurangan demi meraih kemenangan. Yang tak kalah menarik dan kerap menjadi sorotan adalah soal keterlibatan pegawai negeri sipil (PNS) dalam pilkda. Persoalannya adalah meski PNS harus bersikap netral dan jelas-jelas dilarang terlibat dalam dunia politik praktis itu, tapi inilah yang menjadi permasalahan klasik di negeri ini terkait dangan sikap dualisme PNS dalam pilkada.

Hal tersebut tentu saja bukan rahasia umum mengingat banyaknya kasus kecurangan yang dilakukakan oleh oknum PNS dalam pilkada. Barang kali kita semua masih ingat pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten tahun lalu. Di mana terungkapnya keterlibatan PNS dalam pentas politik untuk pemenangan salah satu kandidat gubernur lewat sebuah rekaman video yang beredar di YouTube. Dalam video tersebut Kepala BKPD Banten Eneng Nurcahyati terlihat jelas mengajak seluruh pegawai di lingkungan BKPD Banten untuk memenangkan Ratu Atut Chosiyah-Rano Karno memimpin kembali Banten. Namun sungguh disayangkan kasus tersebut bak berita “sekilas info” tidak ada tindak lanjutnya.

Fenomena gunung es
Peristiwa tersebut merupakan fenomena puncak gunung es, yang kelihatan hanya puncaknya saja. Banyak kasus serupa di berbagai daerah yang belum muncul ke permukaan. Keterlibatan PNS dalam pentas politik memang tak bisa dipungkiri. Tapi mudah-mudahan kasus yang menodai pentas demokrasi dalam ajang pemilukada di Banten itu, menjadi pelajaran berharga bagi segenap jajaran PNS di Aceh, yang dalam waktu dekat ini juga akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada).

Terkait pelaksnaan pilkada gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota di Aceh, banyak psangan kandidat yang sudah mendaftarkan diri di Komisi Independen Pemilihan (KIP) provinsi dan kabupaten/kota di Aceh, baik dari perwakilan partai politik maupun dari jalur independen. Mayoritas pendaftar merupakan pemain lama alias incumbent, para akademisi maupun pengusaha yang ikut serta meramaikan kancah perpolitikan di Serambi Mekkah ini.

Inilah ujian bagi segenap PNS di Aceh; Menjaga netralistas sebagai abdi negara atau sebaliknya memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membantu salah satu kandidat calon kepala daerah. Dengan harapan apabila nantinya terpilih, kandidat tersebut bisa membantu dirinya dalam memuluskan jenjang karir di birokrasi. Sikap dualisme PNS ini disebabkan karena suburnya praktik-praktik nepotisme di dunia birokrasi.

Praktik tersebut telah berlangsung lama di jajaran pemerintah daerah, baik di tingkat povinsi maupun kabupaten/kota. Salah satu contohnya yaitu dalam pengisian jabatan khususnya eselon II dan III. Indikator yang digunakan untuk mengisi jabatan tersebut yakni atas dasar unsur kedekatan dengan pimpinan bukan karena kemampuan. Selain itu dipicu juga karena kurang tegasnya pemberian sanksi terhadap PNS yang terlibat dalam ranah politik.

Terlibat politik praktis
Hal itulah yang mengkotomi pola pikir PNS untuk lebih memilih terlibat dalam politik praktis, dengan menjadi tim sukses pemenangan salah satu kandidat kepala daerah, misalnya. Sikap netralitas haruslah dipegang teguh oleh setiap PNS agar tidak terprovokasi dengan lingkungan. Seorang PNS harus tetap bersikap profesional dan tidak terpengaruh dengan semua golongan partai politik.

Berbeda dengan era Orde Baru, di mana para PNS memang dijadikan sebagai satu alat kekuasaan. Di era reformasi ini, PNS dituntut lebih profesional dan harus menjaga netraliltas dalam Pilkada. Sebagai unsur aparatur negara, tugas PNS adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.

Untuk menjamin netralitas tersebut pemerintah juga mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota partai politik jo PP Nomor 12 Tahun 1999, ditegaskan bahwa Sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, maka Pegawai Negeri Sipil harus bersikap netral dan menghindari penggunaan fasilitas negara untuk golongan tertentu. Selain itu juga dituntut tidak diskriminatif khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Menurut Sholeh (2010) perubahan sistem pemerintahan yang sebelumnya sentralistik tidak akan sepenuhnya efektif jika tidak disertai dengan perubahan paradigm / cara pandang dari aparatur pemerintah terhadap kekuasaan yang dipegannya. Kekuasaan pada hakekatnya adalah amanah rakyat melalui pemilihan kepala daerah. Dalam masyarakat madani kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi hanyalah alat untuk mewujudkan tujuan yang tidak lain adalah masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur yang berkeadilan.

Itulah sebabnya mengapa PNS dituntut harus netral dalam pilkada. Karena PNS merupakan unsur penting dan sangat berpengaruh dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sebagai upaya mewujudkan pemerintah yang baik (good government) dan pemerintahan yang bersih (clean government).

Sikap profesional

Dalam mewujudkan hal tersebut tentu membutuhkan sikap profesional dari seluruh stakeholder. Bukan perkara mudah memang menumbuhkan sikap tersebut. Hal itu disebabkan karena cara pengangkatan PNS yang dinilai sangat sederhana. Namum bukan hal yang mustahil menumbuhkan sikap professional dengan mewujudkan secara nyata pada PNS. Hal ini wajib dilakukan sebagai langkah pertama pencegahan keterlibatan PNS dalam ranah politik.

Sudah barang tentu sikap profesional harus dimiliki oleh setiap PNS di Aceh. Dan juga diharapkan PNS agar tidak menggunakan momentum tersebut sebagai batu loncatan dalam karir di birokrasi. Bila ingin mendapatkan jabatan berkerjalah secara profesional. Karena jabatan di birokrasi merupakan jabatan karir bukan jabatan politik.

Maka dari itu sebagai PNS haruslah memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun bangsa dan negara. Dengan cara menumbuhkan semangat profesiolisme pada diri kita agar bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat. Penulis menyakini bahwa masih banyak PNS daerah Aceh yang masih mempunyai sikap idealis sebagai pelayan masyarakat bukan penguasa.

Dengan demikian, mari kita jaga sikap netralitas sebagai PNS yang profesional dengan tidak melibatkan diri dalam politik praktis di pilkada Aceh. Sebagai abdi negara haruslah tetap fokus pada tugas dan tanggung jawab masing-masing serta tidak terjerembab dalam kepentingan pihak mana pun. Ini semua demi memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara.

* Muharril Al Aqshar, SE. adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Setdakab Aceh Besar/Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Dualisme PNS dalam Pilkada - Serambi Indonesia

Twitter dan Dunia

Oleh Rizki Alfi Syahril -

IKON burung berwarna biru dan kotak kecil yang bertuliskan What’s happening? (Apa yang sedang terjadi?) telah menjadi ikon global. Itulah Twitter, salah satu jenis media sosial. Dari segi pemakaian dan tampilan, menggunakan twitter lebih mudah daripada media sosial lainnya. Walaupun dibatasi hanya bisa melakukan kicauan (tweet) dalam 140 karakter, twitter terbukti ampuh dalam menyebarkan serta mendapatkan informasi, gagasan, cerita, opini, berita, iklan, dan kata-kata bijak atau kutipan.

Orang-orang dapat dengan mudah mencari dan mengikuti akun twitter milik selebritas yang diidolakan, penulis, aktivis, dosen, peneliti, wartawan, pejabat daerah, menteri, anggota dewan, produk, grup, portal berita, dsb, sesuai dengan minatnya (interest). Berbeda dengan facebook juga, di sini para pemilik akun tidak perlu menunggu persetujuan pemilik akun yang ingin diikuti untuk menjadi pengikutnya, kecuali akun itu tidak terbuka untuk publik. Cukup menekan ikuti (follow), maka secara otomatis kita sudah terhubung dengan pemilik akun tersebut.

Linimasa (timeline) berisi kicauan-kicauan akun yang kita ikuti yang akan terus diperbarui setiap ada kicauan baru dari akun yang kita ikuti. Saat membaca linimasa, para pengguna twitter dapat membalas kicauan itu; melakukan kicauan-ulang (retweet atau disimbolkan RT); atau mengutip (quote tweet) yang akan timbul di beranda twitter-nya.

Para pengguna akan mengikuti dan meminta akun lainnya yang memiliki minat yang sama untuk mengikuti dia kembali (follow back) atau menyebut (mention) akun lain dalam kicauan kita. Jumlah akun yang mengikuti (follower) dan akun yang kita ikuti (following) akan tampak di profil akun kita. Kita juga dapat melihat foto, video, dan percakapan langsung di twitter.

Beberapa pemilik akun juga memanfaatkan twitter untuk menyebarkan gagasan dan opininya dalam bentuk beberapa serial kicauan bersambung yang disebut kultwit (kuliah twitter) serta ada perdebatan antar-akun tentang suatu topik yang disebut twitwar (perang twitter).

Trending topics
Apa yang kemudian membuat Twitter akhir-akhir ini dilarang dan ditakuti penggunaannya di beberapa negara? Jawabannya adalah kemampuannya untuk membuat topik yang tren (trending topics). Inilah perbedaan utama antara twitter dengan facebook dan media sosial lainnya. Pengguna twitter dapat melakukan kicauan, yang diberi tanda pagar (#) atau disebut juga hashtag sebelum kata atau frasa terhadap sesuatu hal yang dianggap penting maupun menarik untuk didiskusikan/diinfokan.

Dengan memberi tanda itu, kata atau frasa itu akan menjadi topik dan para pengguna dapat mengikuti percakapan diskusi itu atau menemukannya di kolom pencarian (search). Kicauan ini nantinya akan dikicaukan kembali oleh akun lain yang mengikutinya atau akun lain yang memberi tanda yang sama pada kicauannya. Hal ini akan terus menular dan menjadi efek domino sebanyak jumlah akun yang mengicaukan ulang atau menuliskan kata yang sama, sehingga akan membentuk topik yang tren.

Topik yang tren akan muncul di beranda utama twitter dan membantu pengguna menemukan cerita yang paling heboh atau mengguncang dari seluruh dunia, serta topik diskusi yang paling diminati oleh pemakai twitter. Hal inilah yang kemudian dikhawatirkan oleh beberapa negara, karena efek negatifnya dapat membangkitkan kesadaran massa melalui topik yang tren, sehingga menimbulkan kerusuhan massa seperti kerusuhan pascamenangnya Ahmadinejad untuk kedua kalinya di Iran, kerusuhan di Inggris, dan juga aksi Revolusi Musim Semi Arab, semuanya bermula dari diskusi dan topik yang tren di twitter.

Berdasarkan data Semiocast.com dan AworldofTweet.com yang dikutip Kompas.com menyebutkan bahwa hingga bulan Februari 2012 lalu, jumlah pengguna twitter di Indonesia sebanyak 19,5 juta orang dan menempati posisi kelima dunia. Dalam hal kicauan, Indonesia merupakan negara dengan kicauan ketiga terbanyak di dunia, yaitu mencapai sekitar 12% dari total jumlah kicauan di dunia dan menjadi nomor satu di Asia yaitu sebesar 54,6%.

@iloveaceh

Jumlah pengguna twitter di Aceh diperkirakan semakin meningkat seiring semakin mudah dan luasnya akses internet. Diperkirakan ada puluhan ribu pengguna twitter di Aceh yang berasal dari generasi muda kelas menengah. Salah satu salah satu akun twitter yang paling penting dan paling banyak pengikutnya di Aceh yaitu I Love Aceh (@iloveaceh) yang pada 23 Februari 2012 lalu genap berusia dua tahun.

Akun ini awalnya dibuat secara individu oleh Aulia Fitri (@hack87), dalam perkembangannya menjadi GroupTweet dan dikelola oleh tim admin. Pengikutnya disebut #ATwitLovers (Aceh Twit Lovers). Akun ini bervisi untuk wadah komunikasi yang cepat dan tepat, dan bermisi memberikan informasi Aceh; mempromosikan Aceh sebagai daerah tujuan wisata, sejarah religi, adat dan budaya, kuliner; serta menjadikan akun ini pemersatu #ATwitLovers yang berada di seluruh dunia. Hingga hari ini tercatat jumlah pengikutnya lebih dari 11.000 akun.

Dalam perjalanan waktu, I Love Aceh telah melakukan banyak terobosan, tidak hanya mempromosikan Aceh saja, melainkan telah mengembangkan fungsi twitter itu sendiri menjadi sarana diskusi yang dikenal #suarawarga yang menjadi tulisan dan dikumpulkan dalam portal iloveaceh.blog.com; ada juga #infocuaca, #infowarga, #infokuliner, #infowisata, #infoberita, foto; dan #infoevent yang dikemas dalam kalender kegiatan yang terus diperbarui setiap harinya.

I Love Aceh juga tidak hanya berkutat di dunia maya dan tidak mau disebut NATO (No Action Tweet Only), sehingga grup berkembang menjadi komunitas di dunia nyata dan membuat serta terlibat dalam beberapa acara, seperti kegiatan amal dan sosial. Gagasan ini sama dengan aksi yang dilakukan oleh akun @IDberkebun, @BloodforlifeID, dan akun lainnya di Indonesia serta dunia yang tidak hanya aktif di twitter tapi juga di dunia nyata.

Beberapa kegiatan yang pernah dilakukan komunitas I Love Aceh di antaranya: kopi darat; aksi kepedulian (penggalangan dana); Mini Pesta Blogger Aceh 2010; Banda Aceh Festival 2011 (rangkaian acara Visit Banda Aceh 2011); Doa Bersama Aceh untuk Turki; “Geutangen” Wisata Rally 2011 (acara mendayuh sepeda memperingati 7 Tahun Tsunami di Aceh).

Para pengikutnya juga pernah bersama-sama berkicau hal yang sama dan akhirnya menjadi topik yang tren. Kemunculan I Love Aceh telah menjadi komunitas tersendiri bagi pengguna twitter Aceh dan telah mampu menularkan gagasan positif ke beberapa kabupaten/kota di Aceh hingga muncul akun @ilovemeulaboh, @ilovebireuen, @ilovegayo, @iLoveTapakTuan, dan @ILoveNagan.

* Rizki Alfi Syahril adalah Praktisi Media di Komunitas Tikar Pandan.

Twitter dan Dunia - Serambi Indonesia

Pentingnya Pencatatan Nikah

Oleh Roni Haldi -

MENURUT pengertian fikih, nikah adalah akad yang mengandung kehalalan melakukan hubungan suami isteri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq). Inti akad nikah dalam ta’rif ini adalah kehalalan melakukan hubungan suami isteri yang terletak pada akad nikah.

Sedangkan pengertian nikah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Pasal 1 disebutkan: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernikahan disebut sebagai mitsaaqan ghalidha, yaitu ikatan/akad yang sangat kuat sebagaimana dijelaskan dalam Alquran: Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama (sebagai suami istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.” (QS. An-Nisa’: 21)

Tujuan perkawinan juga sangat jelas adalah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang dalam bahasa agama disebut keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lain adalah bahwa perkawinan itu harus berdasarkan hukum agama tidak berdasarkan kepada hukum yang lain.

Dalam Kitab Fiqh Islamy wa Adillatuh oleh Dr Wahbah Zuhaily disebutkan bahwa akad pernikahan harus terpenuhi rukun dan syarat nikah menurut fikih munakahat (perkawinan), yang di antaranya rukun perkawinan itu harus terpenuhi lima unsur: Pertama, adanya calon pengantin laki-laki; Kedua, calon pengantin perempuan; Ketiga, wali nikah; Keempat, dua orang saksi, dan; Kelima, ijab qabul. Kalau kelima rukun ini sudah ada dan semuanya memenuhi persyaratannya, maka perkawinan itu telah sah menurut hukum Islam.

Sementara dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dengan demikian perkawinan yang hanya memenuhi syarat dan rukun pernikahan secara Islam saja adalah sah menurut hukum. Tidak dilakukan pencatatan di depan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak mengurangi sahnya perkawinan. Hanya saja perkawinannya yang tidak dilakukan dihadapan PPN atau tidak tercatat dalam akta perkawinan tidak akan mendapatkan perlindungan hukum.

Hal itu dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian pernikahannya tidak bisa dibuatkan akta nikah dan kalau ada anak dalam perkawinan tersebut, nantinya anak itu tidak bisa dibuatkan akta kelahiran.

Perkawinan bawah tangan
Meski masih menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, praktik perkawinan bawah tangan hingga kini masih banyak terjadi. Padahal, perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan, bagi perempuan.

Perkawinan bawah tangan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti kawin sirri atau nikah sirri adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam, atau Kantor Catatan Sipil bagi nonmuslim.

Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah kawin bawah tangan dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan UU yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (2). Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan PPN tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum, yang dibuktikan dengan akta perkawinan.

Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia, tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi.

Secara sosial, akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan alias kumpul kebo atau dianggap menjadi istri simpanan.

Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (Pasal 42 dan Pasal 43 UU Perkawinan, Pasal 100 KHI).

Di dalam akte kelahiran pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.

Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. 3. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.

Pencatatan perkawinan sangatlah penting, terutama untuk mendapatkan legalitas (pengakuan di mata hukum) dan hak-hak seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak. Jadi sebaiknya, sebelum memutuskan melakukan sebuah perkawinan di bawah tangan (nikah sirri) dihadapan petugas tidak resmi, pikirkanlah terlebih dulu.

Jika masih ada kesempatan untuk menjalani perkawinan secara resmi, artinya perkawinan menurut hukum negara yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), pilihan ini jauh lebih baik dan tidak berisiko. Karena jika tidak, ini akan menyulitkan di masa yang akan datang.

* H. Roni Haldi, Lc. adalah Ketua Ikadi Abdya/Staf Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Setia, Abdya.
Pentingnya Pencatatan Nikah - Serambi Indonesia

Guru Kreatif

Oleh Yuli Rahmad -

MERUJUK pada catatan Wikipedia, pengertian guru secara umum merupakan kalangan pengajar studi formal tertentu yang perannya juga sebagai pendidik untuk menelurkan generasi-generasi yang intelektual dan teruji. Di luar itu, pengertiannya sangat beragam. Paling kecil, penyambung informasi juga bisa disebut guru karena menyampaikan hal baru.

Membicarakan profesionalisme para guru yang sifatnya terikat kontrak profesi dengan pemerintah merupakan hal yang urgen. Pasalnya, pertarungan intelektual di berbagai medium sudah tak tertahan lagi. Sementara bila kita berkaca, ada banyak kecolongan-kecolongan dunia pendidikan yang harusnya ditambal segera. Sungguh tak adil jika hari ini semua kegagalan produktifitas pendidikan dialamatkan pada sosok guru.

Kita semua tahu, produktifitas dan kualitas dunia pendidikan ditentukan oleh keikutsertaan semua elemen secara massif dan optimal. Keluarga, lingkungan tempat tinggal, sekolah, pemerintah, bahkan kalangan swasta pun harus berupaya menuangkan kepeduliannya terhadap pendidikan generasi muda. Namun guru yang profesional tetap memiliki peran yang lebih besar dalam upaya mengubah paradigma pendidikan yang kompetitif. Lantas, apa pengertian guru profesional dalam pembaharuan dunia pendidikan secara proporsional?

Dalam kacamata penulis, guru yang profesional itu merupakan pengajar sekaligus pendidik yang mampu memfasilitasi anak didiknya menembus berbagai kompetisi. Sungguh sangatlah sederhana. Namun kesederhanaan pengertian ini belum tentu diterima oleh banyak pihak. Karenanya, ayo kita lihat kalkulasi peran dan hasilnya secara terperinci.

Lumrahnya, para pelajar yang mampu mengikuti berbagai kompetisi apalagi hingga level internasional lebih tangkas dalam banyak hal. Layaknya sebagai anak-anak dan remaja, budaya-budaya intelektual dengan berbagai latar belakang akan kembali ditransferkan ke sejumlah kawan-kawannya di sekolah. Satu pemicu baru agar rekan-rekannya juga dituntut mampu berpartisipasi dalam kompetisi lainnya.

Bersaing secara sehat
Memang tak mudah, namun jika ini bisa dilakukan secara massal, maka akan tercipta kondisi di mana para pelajar bersaing secara sehat untuk menghasilkan karya nyata. Apakah itu lewat kepenulisan sastra, ilmiah, debat, otomotif dan IT di dunia sekolah kejuruan, olahraga, serta banyak sektor karya lainnya. Tidak saja secara keilmuan, mereka juga lebih mahir dalam bersosialisasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai lingkungan baru. Dengan iklim persaingan yang sehat, sejalan dengan itu pula akan terbangun pondasi moralitas yang baik.

Lalu, bandingkan saja dengan para siswa yang tak pernah ikut kompetisi. Yang mereka tahu hanya selesaikan soal, menyelesaikan pekerjaan rumah (PR), dapat rapor dan naik kelas. Sayang sekali jika keinginannya hanya sekedar menyelesaikan pendidikan, bukan berkarya. Secara moral dan sosial, hanya satu lingkungan yang mereka pelajari. Lumrahnya mereka sulit berkembang karena tidak biasa menerima hal-hal baru yang secara logika berfikir berada di luar kepala.

Simpulannya, di sanalah pengertian guru profesional yang penulis maksud. Adalah mereka yang mampu mengorbit anak didiknya untuk bertarung di berbagai medium. Adalah mereka yang mampu menelurkan generasi penuh karya. Adalah mereka yang mampu menciptakan generasi yang berfikir global namun tetap lokal. Adalah mereka yang mampu mengelola anak didiknya menjadi generasi-generasi yang menerima minoritas sebagai bagian dari dirinya, untuk melahirkan peradaban yang besar. Adalah mereka yang tak menjadikan keterbatasan anggaran pemerintah di sektor pendidikan sebagai alasan.

Dimana oh Dimana Guru Kreatif?

Minim penghargaan
Sungguh penghargaan terhadap generasi muda, khususnya para pelajar masih minim di Aceh. Salah satu tolok ukurnya adalah minimnya kuantitas kompetisi di berbagai sektor karya. Alasannya klasik. Alokasi anggaran minim. Cuma bisa buat olimpiade dan aneka lomba 17 Agustus saat perayaan Kemerdekaan RI. Hanya itu saja. Pemerintah, dalam hal ini pelaksana kebijakan pendidikan belum memiliki konsep kompetisi yang konstruktif, konsisten, dan terarah.

Untuk itu, perlu guru-guru kreatif yang mampu mencari celah-celah kompetisi mandiri di luar yang telah disediakan oleh pemerintah lokal dan pusat. Perlu guru-guru melek internet yang bisa mengoleksi berbagai informasi lomba di banyak tempat. Apalagi berdasarkan observasi penulis, dalam skala global ada ratusan kesempatan lomba yang bisa didapatkan melalui internet. Persoalannya, tak ada yang mau mengikuti. Tak ada yang mau menyokong siswa-siswinya dengan segala keterbatasan dan kelebihan intelegensinya.

Padahal, dari segi hadiah lumayan sangat membantu siswa. Lomba level provinsi saat ini rata-rata hadianya jutaan. Apalagi nasional dan internasional. Bahkan menjadi nominator saja akan diberikan akomodasi dan transportasi tertentu untuk melanjutkan tahapan lainnya. Semuanya serba gratis. Jadi tak perlu berharap anggaran pemerintah jika gurunya kreatif dan juga maniak lomba saat mahasiswa dulu.

Karenanya, saya pikir program satu guru satu laptop memang harus benar-benar dioptimalkan lagi. Masa pintarnya cuma kredit motor dan rumah. Kreditan laptop dan modem dululah biar perannya sebagai pengajar dan pendidik lebih optimal. Biar para guru bisa lebih kreatif. Agar siswa dan siswinya punya karya.

Bukan proses mudah
Satu waktu lalu, penulis pernah membicarakan hal ini kepada seorang teman yang baru saja lulus seleksi CPNS sebagai guru Pendidikan Kimia di bilangan Aceh Selatan. Secara personal, teman penulis ini merupakan orang yang sangat pintar. Saat lulus kemarin, indeks prestasi kumulatifnya bernilai cumlaude, sangat luar biasa. Secara praktis, dia pun mantan mahasiswa yang teruji mengajar di sejumlah bimbingan belajar di Banda Aceh. Hasilnya, dia disukai oleh banyak pelajarnya. Dia mendapatkan simpati anak didiknya.

Baru-baru ini, penulis mendapatkan kabar baru darinya. “Nggak sanggup diatur. Batat sekali. Masak berhitung udah SMA nggak bisa,” keluhnya panjang lebar dengan Bahasa Aceh yang punya intonasi dan dialeknya sangat menarik. Alasan sahabat saya ini memang punya kalkulasi lain. Dia mengajar di wilayah Kluet Timur, Aceh Selatan yang secara infrastruktur, geografis, dan lingkungan belum memadai. Sinyal saja barang langka di sana. “Hampir tidak dijual di kios-kios terdekat,” katanya menghibur diri.

Lalu saya berpikir sebentar. Ini memang bukan proses yang mudah. Tapi yakinlah bila dikerjakan secara konsisten, maka akan menghasilkan kualitas proses yang tidak biasa. Dan penulis menyakini, bila kualitas proses baik, maka baik pula hasilnya. Soal akses internet, masa bupati tak mampu membangun nilai tawar daerahnya dengan provider telekomunikasi? Apa kata dunia?

* Yuli Rahmad, Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.
Guru Kreatif - Serambi Indonesia

Pendidikan Berkarakter

Oleh Mukhsinuddin -

PENDIDIKAN Karakter adalah upaya dalam rangka membangun karakter (character building) peserta didik untuk menjadi lebih baik. Sebab, karakter dan kepribadian peserta didik sangat mudah untuk dibentuk. Secara etimologis karakter dapat dimaknai sesuatu yang bersifat pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat, ataupun perangai.

Sedangkan secara terminologis, karakter dapat dimaknai dengan sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri seseorang atau suatu kelompok. Hal ini bertujuan untuk menciptakan karakter peserta didik yang paripurna, sampai mendekati titik terwujudnya insan kamil. Namun, bisa diperjelas pada upaya untuk mewujudkan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan estetika.

Pendidikan Berkarakter - Serambi Indonesia