Kegagalan Multikulturalisme

Oleh: Asmaul Husna

PELABELAN julukan tertentu akan satu suku, seperti masyarakat Aceh suka berperang, orang Jawa yang hobi bermusyawarah, dan ada juga Padang yang identik dengan sifat penuh perhitungannya, ternyata bisa membuat masyarakat berkeyakinan bahwa memang benar seperti itu. Ini hanyalah contoh kecil bagaimana multikulturalisme belum hidup dan menyatu dalam jiwa masyarakat kita.

Sikap yang diselimuti kecurigaan ini pun kemudian dipupuk menjadi sebuah alasan pembenaran bahwa kita memang lebih baik dari orang lain. Walau tak elok dinyatakan, tapi ini telah menunjukkan betapa kita gagal bahkan hanya untuk sekadar memahami apa itu multikulturalisme. Dan ini adalah satu polesan warna demokrasi yang telah kita lukiskan dalam sejarah kehidupan.

Ketika perbedaan suku, ras, agama, dan aliran politik disemai menjadi bibit permusuhan, maka seiring itu pula kita telah merusak ‘pualam’ perdamaian. Suku kami lebih baik, agama kami lebih agung, dan ras kami lebih berkelas, adalah ego yang telah menggerogoti hati dan itu adalah sebuah proses menuju pengerdilan jiwa. Ego ini pun kemudian `membunuh’ jiwa-jiwa kemanusiaan dan berakhir pada aksi-aksi anarkis yang mengenaskan.

 Gagal memahami
Hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat yang berbeda etnik dan budaya yang disertai dengan kesediaan untuk menghormati budaya lain, adalah sebuah pemahaman bersama akan multikulturalisme. Tetapi sayang, ini belumlah di kejewantahkan dalam sikap dan laku yang santun, berkemanusiaan, dan juga mengedepankan prinsip kesederajatan.

Anggapan “agama ini identik dengan teroris, suku itu tak lebih dari penjajah, dan ras yang lain juga tidak lebih berkelas”, menunjukkan bahwa kita telah gagal menerapkan multikultiralisme dalam denyut nadi kehidupan. Perilaku etnosentris yang terlalu mendewakan suku bangsanya sendiri pun telah mendarah daging dalam jiwa masyarakat dan diterapkan seolah-olah itu adalah sebuah kebenaran mutlak. Padahal menganggap orang lain tidak lebih baik dari kita, adalah tindakan ketidakbaikan pertama.

Dalam kehidupan bermasyarakat, nyata terlihat bagaimana masyarakat yang satu merendahkan dan meminggirkan masyarakat yang lain. Suku Jawa merasa tidak aman datang ke Aceh karena menganggap tanah ini penuh dengan kekerasan dan mengancam keselamatan. Orang Aceh juga beramsumsi ketika orang Jawa datang kemari, ada sesuatu yang mereka inginkan.

Tak hanya itu, adanya anggapan-anggapan bahwa keberadaan satu suku mengancam keutuhan suku lain. Adanya satu penganut agama yang berbeda dianggap akan mengancam kelurusan agama lainnya. Akhirnya aksi anarkis berupa penghakiman massa, pembakaran harta, bahkan perenggutan nyawa pun, kemudian menjadi sebuah hal yang lumrah terjadi.

Kenyataan-kenyataan di atas menjadi sangat ironi ketika paham demokrasi dan multikulturalisme tengah didengung-dengungkan. Keberagaman hidup pun tidak dipahami sebagai sebuah anugerah yang harusnya disyukuri. Padahal dari itu kita belajar menghargai perbedaan.

Berkaca pada aksi-aksi anarkis yang memilukan itu, jelas bahwa negara kita sedang menderita  krisis nilai atau distorsi moral dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Selain itu,  banyaknya konflik yang terjadi dalam masyarakat mulai dari skala kecil sampai yang sangat luas membuktikan bahwa kualitas akhlak rakyat Indonesia pada umumnya masih sangat memprihatinkan (Zuchdi, 2008: 142).

Dalam ranah sosial pun, arti ‘kebebasan’ belum dipahami seutuhnya. Banyak yang menganggap kebebasan itu juga berlaku dalam menghujat dan menaruh prasangka buruk bahkan membuat orang lain merasa terancam. Padahal sejatinya kebebasan itu adalah ketika kita tidak melanggar kebebasan orang lain. Dalam artian, masih ada batas-batas yang tidak boleh kita langkahi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini kita tidak boleh menggunakan alasan demokrasi sebagai tameng untuk menyerang orang lain. Maka penerapan multikulturalisme pun masih jauh panggang dari api.

Pluralisme dan multikulturalisme merupakan realitas yang menjadi tantangan besar yang harus dihadapi. Realitas yang pluralis dan multikulturalitas ini dapat menjadi potensi besar, karena mampu menambah khazanah dan kekayaan kehidupan. Tetapi juga dapat berubah menjadi persoalan besar manakala antar elemen dalam pluralitas dan multikulturalitas tersebut saling mengedepankan egonya dan kemauannya untuk saling menguasai (Naim, 2008: 27).

Di negeri yang didiami oleh berbagai macam etnik seperti Aceh, Minang, Mandailing, Jawa, Ambon, Manado dan lainnya yang beragama Islam sampai Khong Hu Cu, ini menjadi tantangan tersendiri untuk kekaffahan multikulturalisme.

Merunut pada pemahaman yang menganggap segala hal bahwa kaum lain tidak lebih baik darinya, maka ini pun kemudian menggiring masyarakat untuk berkeyakinan bahwa memang tidak mudah untuk hidup berdampingan. Seiring waktu, keyakinan ini pun semakin ditumbuhkan dan menjalar ke segala ranah. Perilaku saling menghargai  perbedaan pun menjadi ‘barang mahal’.

Padahal ‘kampanye’ multikulturalisme dan juga pluralisme bukanlah sekedar langkah menyuguhkan warna-warni identitas. Tidak juga ia hanya dipahami sebagai slogan dalam kehidupan berdemokrasi. Tetapi lebih kepada bagaimana kita bisa hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan serta menerimanya dalam sebentuk keikhlasan. Keikhlasan ini juga akan lebih berefek dan bermakna jika kelompok yang satu menjadi bagian untuk memecahkan masalah kelompok lain.

Lebih jauh, Romo Frans Magnis Suseno juga pernah mengatakan bahwa “Pendidikan pluralisme merupakan pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama, sehingga kita mampu melihat ‘kemanusiaan’ sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita.”

 Potret berbeda
Namun hari ini kita melihat potret yang berbeda. Perilaku humalizen yang memanusiakan manusia lain, masih jauh dari harapan. Keegoisan dan kecurigaan telah membakar jiwa-jiwa kemanusiaan. Merasa diri lebih ‘esklusif’ adalah sebab yang kemudian melahirkan ketidak-beradaban sikap. Sebuah sikap pelarian dari ketidakmampuan, ketidaktahuan, dan juga ketidakmauan untuk menjadikan multikulturalisme sebagai kekayaan kepribadian ataupun khasanah budaya. Sikap ini hanyalah sebuah upaya pengkerdilan diri sampai tidak bisa bernafas, sebab ia hanya bisa bernafas lega ketika yang lainnya binasa.

Dalam kenaasan kenyataan, kita yang mengaku-mengaku sebagai hamba yang beragama, ternyata juga telah mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan yang jauh dari tuntutan agama. Padahal tidak ada agama yang mengajarkan demikian. Akhirnya kita hanya terkepung pada pusaran konflik yang dipicu oleh persoalan radikalisme agama, etnosentrisme, dan fanatisme politik. Maka secara perlahan, multikulturalisme pun terlindas oleh zaman bersama manusia-manusia yang buta akan kemanusiaan.

Asmaul Husna
, Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Peserta Sekolah Menulis dan Kajian Media dan Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan III. Email: hasmaul64@yahoo.com
Kegagalan Multikulturalisme - Serambi Indonesia

0 komentar:

Post a Comment