Masa Depan Dayah

 Oleh Tabrani ZA Al-Asyhi

DAYAH adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang sudah sangat mengakar sejak Islam bertapak di Aceh pada abad pertama Hijriah. Dayah menjadi pusat dari pembahasan mengenai pendidikan Islam dalam konteks masyarakat Aceh baik di masa lalu maupun masa sekarang. Dimulai dari pendirian Dayah Cot Kala Langsa, kemudian lembaga dayah menyebar ke berbagai penjuru daerah bahkan sampai ke Nusantara, Malaysia dan Thailand (Saifullah; Serambi Indondesia, 8/2/2013).

Penulis meyakini bahwa pemimpin-pemimpin Aceh masa lalu termasuk Sultan Iskandar Muda adalah sosok yang juga mengenyam pendidikan dayah sebelum menjadi penguasa, walaupun tidak ada catatan yang lebih rinci mengenai hal ini yang bisa ditemui dalam literatur-literatur sejarah Aceh yang ada. Dayah masa lalu sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama dengan baik. Karena itu, dayah tidak hanya menghasilkan ulama saja, tapi juga politikus maupun negarawan yang berpengaruh.

Secara historis, dayah merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi. Ia menjadi benteng pertahanan sekaligus pusat penyiaran (dakwah) Islam. Selain dayah salafiah (dayah tradisional), dalam perkembangannya dayah mencatat kemajuan dengan munculnya dayah-dayah baru dan dilaksanakannya sistem pendidikan madrasah yang mengajarkan pelajaran umum, seperti sejarah, matematika, dan ilmu bumi, yang sekarang disebut dengan dayah modern atau dayah terpadu.

 Eksistensi dayah
Eksistensi dayah menjadi istimewa karena ia menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Dayah menjadi tempat berlabuh umat Islam yang tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah.

Kini perkembangan dayah dengan sistem pendidikannya mampu mensejajarkan diri dengan pendidikan lain pada umumnya. Kenyataan ini menjadi aset yang luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan dayah maupun pendidikan Aceh bahkan nasional pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dari sana diharapkan tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat.

Eksistensi dayah tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Ranah kultural yang digeluti dayah selama ini menjadi landasan yang sangat berarti bagi eksistensi negara khususnya daerah Aceh. Perjuangan dayah baik secara fisik maupun secara kultural tidak bisa dihapus dari catatan sejarah Aceh. Dan kini generasi santri tersebut mulai memasuki jabatan-jabatan publik (pemerintah), baik eksekutif maupun legislatif yang dulunya hanya sebatas mimpi.

Landasan kultural yang ditanamkan kuat di dayah diharapkan menjadi guidence dalam implementasi berbagai tugas baik pada ranah sosial, ekonomi, hukum, maupun politik. Baik di lembaga pemerintahan maupun swasta yang konsisten, transparan, dan akuntabel. Ini penting karena dayah merupakan kawah candratimuka bagi munculnya agent of social change. Dan daerah khususnya Aceh sangat berkepentingan atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas. Oleh sebab itu, kepedulian dan perhatian pemerintah bagi perkembangan dayah sangat diperlukan.

Kalau selama ini dayah telah menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan masyarakat, maka harus ada simbiosis mutualisme antara keduanya. Sudah waktunya pemerintah memberikan perhatian serius atas kelangsungan dayah. Kalau selama ini dayah bisa eksis dengan swadaya, maka eksistensi tersebut akan lebih maksimal apabila didukung oleh pemerintah dengan serius. Badan Dayah yang kini ada Aceh, bukan hanya sekadar menambah SKPA di jajaran Pemerintah Aceh, melainkan harus benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya dalam memajukan dayah-dayah yang ada di daerah ini.

Oleh sebab itu, diperlukan revitalisasi relasi antara dayah dan pemerintah yang selama ini berjalan apa adanya. Tapi di sini perlu digaris bawahi bahwa revitalisasi relasi antara pemerintah dan dayah adalah relasi yang sebenarnya, bukan relasi yang hanya kepentingan waktu pilkada dan pemilu sudah di ambang pintu, yang berlomba-lomba mendatangi dayah, mendekati pimpinan dayah agar mulus perjalanannya menuju apa yang diinginkan, dan bahkan supaya mulus untuk duduk di periode selanjutnya. Atau sebaliknya dari unsur pimpinan dayah sendiri atau dari kalangan dayah yang membawa nama dayah untuk menuju kepentingan kelompok dan pribadi demi ambisi meraih kekuasaan.

Selama ini sistem pendidikan kita belum sepenuhnya ditangani secara maksimal. Beberapa departemen melaksanakan pendidikannya sendiri (kedinasan) sesuai dengan arah dan orientasi departemen masing-masing. Sejatinya pendidikan di sebuah negara maupun daerah berada dalam sebuah sistem terpadu sehingga menghasilkan output yang maksimal bagi kepentingan bersama (nasional), bukan hanya kepentingan sektoral. Inilah satu problem yang dihadapi sistem pendidikan kita saat ini.

Terpencarnya penyelenggaraan pendidikan menyebabkan banyak masalah. Salah satunya adalah alokasi anggaran yang tidak maksimal. Selama ini pemerintah memandang pendidikan sebagai bagian dari Dinas Pendidikan. Oleh sebab itu, seluruh anggaran pendidikan dialokasikan untuk dinas pendidikan. Konsekuensinya pendidikan di bawah departemen atau dinas lain mendapatkan alokasi dana seadanya.

Kenyataan tersebut tentu merupakan konsekuensi dari paradigma struktural yang melihat pendidikan hanya merupakan tanggung jawab dinas pendidikan. Kita bisa menyaksikan kesenjangan dana yang diterima Kemenag dan Badan Dayah atau antara perguruan tinggi Islam seperti IAIN/UIN yang di bawah kendali Kemenag dengan perguruan tinggi umum yang langsung ditangani Kemendiknas, perbedaannya sangat jauh.

Begitu pun dayah, yang selama ini eksistensinya lebih bersifat swadaya akan lebih maksimal apabila dikelola dengan pendanaan dan pembinaan yang lebih memadai. Apalagi saat ini dayah mulai menyesuaikan diri dengan pendidikan umum dan standar pendidikan nasional, termasuk mendirikan sekolah umum. Maka, sudah sepantasnyalah pendidikan dayah disetarakan dengan pendidikan lainnya.

Dayah Masa Depan
Eksistensi dayah di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap signifikan. Dayah yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan.

Dayah tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual. Keberadaan dayah sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut dayah untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan.

Masa depan dayah ditentukan oleh sejauh mana dayah menformulasikan dirinya menjadi dayah yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya. Langkah ke arah tersebut, tampaknya, telah dilakukan dayah melalui sikap akomodatifnya terhadap perkembangan teknologi modern dengan tetap menjadikan kajian agama sebagai rujukan segalanya. Kemampuan adaptatif dayah atas perkembangan zaman justru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya.

Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan dayah menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual seperti yang telah diperankan oleh dayah MUDI Mesra Samalanga, Dayah Manyang PUSKIYAI di Aceh Barat Daya, Dayah Darussalam Labuhan Haji dan dayah-dayah lainnya. Dari dayahlah sejatinya lahir manusia paripurna yang membawa masyarakat (negara) ini mampu menapaki modernitas tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Semoga!

* Tabrani ZA Al-Asyhi, Peneliti pada Study Center for Acehnese Democracy of Independent (SCAD Independent), Sekjen GISA, dan Alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji, Aceh. Email: itab_aceh@ymail.com
Masa Depan Dayah - Serambi Indonesia

Tantangan Pembangunan Dayah

 Oleh Teuku Zulkhairi

HARAPAN dan inovasi pembangunan dayah (baca: pesantren) oleh Pemerintah Aceh bertumpu pada Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD), yang dibentuk pada 2008. Setidaknya ini dari perspektif ‘lingkaran luar’ dayah. Adapun dari `lingkaran dalam’ pendidikan dayah, ada atau tidaknya badan ini tidak terlalu berpengaruh. Fakta sejarah telah membuktikan bahwa dayah terus eksis menjadi sub sistem yang kuat dan mengakar dalam masyarakat bisa terus eksis tanpa adanya perhatian pemerintah.

Kendati demikian, mungkin semua akan sepakat bahwa terbentuknya badan dayah seharusnya bisa memacu pembangunan dan inovasi pendidikan dayah, baik pembangunan fisik maupun pembangunan dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai tujuan dari pendidikan dayah itu sendiri serta juga tujuan utama dibentuknya BPPD atau Badan Dayah oleh pemerintah Aceh. Namun realitasnya, saat ini pemerintah Aceh justru menunjukkan ketidakseriusannya dalam membangun dayah.

Setidaknya, hal itu terlihat dari minimnya alokasi anggaran yang diplot untuk Badan Dayah, yang pada 2013 ini, anggarannya dipangkas habis menjadi yang paling sedikit sepanjang sejarah lahirnya Badan Dayah. Padahal, pembangunan kualitas dayah juga butuh anggaran besar. Tidak bisa pemerintah hanya berharap, namun tidak mendukung dari segi anggaran. Inilah sebenarnya tantangan besar bagi dayah di Aceh. Dayah diharapkan terus memacu kualitas dan kemandiriannya, namun dukungan pada sektor anggaran sangat minim.

 Anggaran menurun
Tahun 2013 ini plot anggaran untuk dayah hanya sebesar Rp 25,9 miliar, dan trendnya terus menurun sejak awal pembentukan lembaga tersebut. Pada 2009, misalnya, anggaran dayah dialokasi sebesar Rp 200 miliar lebih, tahun 2010 turun menjadi Rp 100 miliar, tahun 2011 turun menjadi Rp 98 miliar, tahun 2012 lalu turun ke angka Rp 58 miliar, dan puncaknya tahun anggaran 2013 ini, menukik ke angka Rp 25,9 miliar.

Bayangkan, untuk program pengadaan buku di Dinas Pendidikan saja anggarannya mencapai Rp 100 miliar lebih. Padahal, DIPA Aceh tahun anggaran 2013 ini adalah yang terbesar dalam sejarah APBA seperti diberitakan Serambi beberapa waktu lalu. Secara yuridis, plot 20% anggaran untuk pendidikan bukan hanya untuk pendidikan umum saja lewat Dinas Pendidikan, akan tetapi juga untuk pendidikan dayah lewat Badan Dayah, seperti diamanahkan UUPA dan Qanun Pendidikan Aceh. Apalagi, fakta membuktikan bahwa dayah adalah benteng terakhir penegakan syariat Islam di Aceh.

Patut dicatat, bahwa membangun dayah tidak bisa dalam waktu singkat. Kita memang berharap agar dayah terus mandiri, tapi semua itu tidak bisa terwujud dengan sendirinya. Dayah memang akan tetap eksis dengan atau tanpa perhatian pemerintah karena memang dayah dikelola secara ikhlas, sebagaimana sejarah telah membuktikannya. Namun, jika berbicara tentang upaya membangun Aceh yang Islami, maka sangat tidak bisa dipahami jika pembangunan dayah tidak menjadi prioritas.

Alasan bahwa Badan Dayah tidak memiliki program yang bagus untuk pembangunan dayah sehingga anggaran dipangkas sungguh tidak bisa diterima dengan logika yang sehat. Seharusnya, jika memang Badan Dayah tidak mampu membuat Renstra atau program yang konstruktif, semestinya lembaga itulah yang harus ditata kembali, termasuk kualitas personal pengelolanya. Beri Badan Dayah ini tim ahli yang bisa memberikan ide-ide konstruktifnya untuk pembangunan dayah. Banyak akademisi dan ulama dayah yang mengerti kemana seharusnya arah pembangunan dayah.

Di balik kedua isu tersebut, persoalan yang lebih besar dan serius juga menimpa pendidikan dayah sebagai efek langsung hadirnya badan dayah. Meskipun kehadiran badan tersebut telah “berhasil” memacu beberapa sektor pembangunan dayah, namun harus kita akui berbagai image buruk justru terus menghantam kalangan dayah. Mulai dari persoalan data santri yang menurut sebagian kalangan tidak wajar, persoalan honor guru (baca: teungku) dayah “Satu Juta Rupiah” per tahun yang dianggap tidak layak diterima sehingga pada tahun 2013 anggaran dayah dipangkas habis oleh Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) dan BAPPEDA, persoalan pimpinan-pimpinan dayah yang sering bawa proposal dan stempel ke kantor,  banyak teungku dayah dianggap sudah sibuk dengan dunia, dan juga sederet persoalan lainnya yang bagi sebagian kalangan adalah hal yang tidak layak dilakukan oleh lingkaran dayah.

Pandangan dan penilaian terhadap dayah seperti itu adalah hal yang sangat wajar di satu sisi. Sebab, posisi dayah dianggap berbeda sama sekali dengan lembaga pendidikan non dayah lainnya. Lembaga pendidikan dayah diidentikkan dengan lembaga yang berorientasi kepada akhirat sepenuhnya. Sedang lembaga pendidikan non dayah diidentikkan dengan orientasi keduniaannya. Di sisi lain, munculnya masalah-masalah tersebut bagi sebagian kalangan dianggap sebagai “kesalahan” badan dayah. Badan ini dianggap gagal melakukan pembangunan yang memandirikan dayah dan juga gagal untuk menjaga lingkaran dayah agar tetap steril dari kesalahan dalam urusan administrasi pemerintahan. Kondisi ini ditambah lagi dengan minimnya konsep pembangunan dayah yang dimiliki badan dayah.

Badan dayah menjadi dilema
Pada titik ini, keberadaan Badan Dayah menjadi sebuah dilema bagi dayah. Di satu sisi, kehadirannya memberi manfaat untuk dayah, namun di sisi lain justru melahirkan reaksi dan respons sosial “negatif” pada dayah yang memiliki kasus seperti contoh di atas. Alhasil, posisi sebagian dayah saat ini dianggap tidak seperti dulu sebelum Badan Dayah lahir. Ini tidak seharusnya terjadi jika Badan Bayah mampu mengelola dan pembangunan dayah agar tetap di dalam jalur yang benar. Dayah tetap dibangun dalam berbagai sisinya, namun keberadaan dan `izzah dayah mestilah tetap terjaga seperti posisinya semula sebelum Badan Dayah hadir.

 Masih meraba-raba
Namun demikian, jika kita melihat umur Badan Dayah yang masih sangat muda, minimnya konsep pembangunan dayah yang sesuai dengan harapan banyak kalangan adalah sebuah kewajaran selama mereka terus mau berbenah, mau mendengar dan mau untuk terus berubah. Badan ini harus diakui masih meraba-raba di tengah “kegelapan” konsep pembangunan dayah, ditambah lagi dengan tidak adanya kemauan dan keseriusan pemerintah untuk membangun dayah sebagaimana yang penulis paparkan di atas.

Jadi, jika memang Pemerintah Aceh peduli kepada lembaga pendidikan dayah, seharusnyaa pemerintah menata kualitas pengelola Badan Dayah dan juga memberikan alokasi anggaran yang maksimal agar kehadiran badan ini tidak menjadi dilema bagi dayah, bukan justru mengurangi anggaran dan menempatkan orang-orang yang tidak tepat untuk mengelolannya. Jika memang tidak peduli, bubarkan saja badan tersebut sehingga pemerintah jelas tidak peduli kepada dayah.

Pilihan ini akan menyelamatkan lembaga pendidikan dayah dari keharusan menanggung resiko yang lebih besar dan image negatif ketika ada orang luar dayah yang bertanya dan meneliti, “Sekian lama Badan Dayah lahir, kenapa dayah belum juga maju?”. Padahal, pemerintah sendiri yang galau. Satu sisi berharap banyak pada lembaga pendidikan dayah agar lebih dinamis dan sesuai dengan tuntutan zaman, namun tidak mendukung dari aspek finansial dan sumber daya pengelola Badan Dayah yang mumpuni.

* Teuku Zulkhairi, MA, Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA), dan Tim Peneliti pada Program Penelitian “Kemandirian Dayah” Tahun 2012 oleh Pascasarajana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: abu.erbakan@gmail.com

Tantangan Pembangunan Dayah - Serambi Indonesia

Kegagalan Multikulturalisme

Oleh: Asmaul Husna

PELABELAN julukan tertentu akan satu suku, seperti masyarakat Aceh suka berperang, orang Jawa yang hobi bermusyawarah, dan ada juga Padang yang identik dengan sifat penuh perhitungannya, ternyata bisa membuat masyarakat berkeyakinan bahwa memang benar seperti itu. Ini hanyalah contoh kecil bagaimana multikulturalisme belum hidup dan menyatu dalam jiwa masyarakat kita.

Sikap yang diselimuti kecurigaan ini pun kemudian dipupuk menjadi sebuah alasan pembenaran bahwa kita memang lebih baik dari orang lain. Walau tak elok dinyatakan, tapi ini telah menunjukkan betapa kita gagal bahkan hanya untuk sekadar memahami apa itu multikulturalisme. Dan ini adalah satu polesan warna demokrasi yang telah kita lukiskan dalam sejarah kehidupan.

Ketika perbedaan suku, ras, agama, dan aliran politik disemai menjadi bibit permusuhan, maka seiring itu pula kita telah merusak ‘pualam’ perdamaian. Suku kami lebih baik, agama kami lebih agung, dan ras kami lebih berkelas, adalah ego yang telah menggerogoti hati dan itu adalah sebuah proses menuju pengerdilan jiwa. Ego ini pun kemudian `membunuh’ jiwa-jiwa kemanusiaan dan berakhir pada aksi-aksi anarkis yang mengenaskan.

 Gagal memahami
Hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat yang berbeda etnik dan budaya yang disertai dengan kesediaan untuk menghormati budaya lain, adalah sebuah pemahaman bersama akan multikulturalisme. Tetapi sayang, ini belumlah di kejewantahkan dalam sikap dan laku yang santun, berkemanusiaan, dan juga mengedepankan prinsip kesederajatan.

Anggapan “agama ini identik dengan teroris, suku itu tak lebih dari penjajah, dan ras yang lain juga tidak lebih berkelas”, menunjukkan bahwa kita telah gagal menerapkan multikultiralisme dalam denyut nadi kehidupan. Perilaku etnosentris yang terlalu mendewakan suku bangsanya sendiri pun telah mendarah daging dalam jiwa masyarakat dan diterapkan seolah-olah itu adalah sebuah kebenaran mutlak. Padahal menganggap orang lain tidak lebih baik dari kita, adalah tindakan ketidakbaikan pertama.

Dalam kehidupan bermasyarakat, nyata terlihat bagaimana masyarakat yang satu merendahkan dan meminggirkan masyarakat yang lain. Suku Jawa merasa tidak aman datang ke Aceh karena menganggap tanah ini penuh dengan kekerasan dan mengancam keselamatan. Orang Aceh juga beramsumsi ketika orang Jawa datang kemari, ada sesuatu yang mereka inginkan.

Tak hanya itu, adanya anggapan-anggapan bahwa keberadaan satu suku mengancam keutuhan suku lain. Adanya satu penganut agama yang berbeda dianggap akan mengancam kelurusan agama lainnya. Akhirnya aksi anarkis berupa penghakiman massa, pembakaran harta, bahkan perenggutan nyawa pun, kemudian menjadi sebuah hal yang lumrah terjadi.

Kenyataan-kenyataan di atas menjadi sangat ironi ketika paham demokrasi dan multikulturalisme tengah didengung-dengungkan. Keberagaman hidup pun tidak dipahami sebagai sebuah anugerah yang harusnya disyukuri. Padahal dari itu kita belajar menghargai perbedaan.

Berkaca pada aksi-aksi anarkis yang memilukan itu, jelas bahwa negara kita sedang menderita  krisis nilai atau distorsi moral dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Selain itu,  banyaknya konflik yang terjadi dalam masyarakat mulai dari skala kecil sampai yang sangat luas membuktikan bahwa kualitas akhlak rakyat Indonesia pada umumnya masih sangat memprihatinkan (Zuchdi, 2008: 142).

Dalam ranah sosial pun, arti ‘kebebasan’ belum dipahami seutuhnya. Banyak yang menganggap kebebasan itu juga berlaku dalam menghujat dan menaruh prasangka buruk bahkan membuat orang lain merasa terancam. Padahal sejatinya kebebasan itu adalah ketika kita tidak melanggar kebebasan orang lain. Dalam artian, masih ada batas-batas yang tidak boleh kita langkahi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini kita tidak boleh menggunakan alasan demokrasi sebagai tameng untuk menyerang orang lain. Maka penerapan multikulturalisme pun masih jauh panggang dari api.

Pluralisme dan multikulturalisme merupakan realitas yang menjadi tantangan besar yang harus dihadapi. Realitas yang pluralis dan multikulturalitas ini dapat menjadi potensi besar, karena mampu menambah khazanah dan kekayaan kehidupan. Tetapi juga dapat berubah menjadi persoalan besar manakala antar elemen dalam pluralitas dan multikulturalitas tersebut saling mengedepankan egonya dan kemauannya untuk saling menguasai (Naim, 2008: 27).

Di negeri yang didiami oleh berbagai macam etnik seperti Aceh, Minang, Mandailing, Jawa, Ambon, Manado dan lainnya yang beragama Islam sampai Khong Hu Cu, ini menjadi tantangan tersendiri untuk kekaffahan multikulturalisme.

Merunut pada pemahaman yang menganggap segala hal bahwa kaum lain tidak lebih baik darinya, maka ini pun kemudian menggiring masyarakat untuk berkeyakinan bahwa memang tidak mudah untuk hidup berdampingan. Seiring waktu, keyakinan ini pun semakin ditumbuhkan dan menjalar ke segala ranah. Perilaku saling menghargai  perbedaan pun menjadi ‘barang mahal’.

Padahal ‘kampanye’ multikulturalisme dan juga pluralisme bukanlah sekedar langkah menyuguhkan warna-warni identitas. Tidak juga ia hanya dipahami sebagai slogan dalam kehidupan berdemokrasi. Tetapi lebih kepada bagaimana kita bisa hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan serta menerimanya dalam sebentuk keikhlasan. Keikhlasan ini juga akan lebih berefek dan bermakna jika kelompok yang satu menjadi bagian untuk memecahkan masalah kelompok lain.

Lebih jauh, Romo Frans Magnis Suseno juga pernah mengatakan bahwa “Pendidikan pluralisme merupakan pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama, sehingga kita mampu melihat ‘kemanusiaan’ sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita.”

 Potret berbeda
Namun hari ini kita melihat potret yang berbeda. Perilaku humalizen yang memanusiakan manusia lain, masih jauh dari harapan. Keegoisan dan kecurigaan telah membakar jiwa-jiwa kemanusiaan. Merasa diri lebih ‘esklusif’ adalah sebab yang kemudian melahirkan ketidak-beradaban sikap. Sebuah sikap pelarian dari ketidakmampuan, ketidaktahuan, dan juga ketidakmauan untuk menjadikan multikulturalisme sebagai kekayaan kepribadian ataupun khasanah budaya. Sikap ini hanyalah sebuah upaya pengkerdilan diri sampai tidak bisa bernafas, sebab ia hanya bisa bernafas lega ketika yang lainnya binasa.

Dalam kenaasan kenyataan, kita yang mengaku-mengaku sebagai hamba yang beragama, ternyata juga telah mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan yang jauh dari tuntutan agama. Padahal tidak ada agama yang mengajarkan demikian. Akhirnya kita hanya terkepung pada pusaran konflik yang dipicu oleh persoalan radikalisme agama, etnosentrisme, dan fanatisme politik. Maka secara perlahan, multikulturalisme pun terlindas oleh zaman bersama manusia-manusia yang buta akan kemanusiaan.

Asmaul Husna
, Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Peserta Sekolah Menulis dan Kajian Media dan Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan III. Email: hasmaul64@yahoo.com
Kegagalan Multikulturalisme - Serambi Indonesia

Pembunuhan dalam Perspektif Islam

Oleh: Hasanuddin Yusuf Adan

PEMBUNUHAN atau prilaku membunuh itu sangat dilarang dalam Islam. Ini merupakan kejahatan tingkat tinggi, apalagi kalau pembunuhan itu dilaksanakan dengan sengaja. Biasanya efek pembunuhan itu berkepanjangan sehingga menimbulkan dendam kusumat antara keluarga terbunuh terhadap keluarga atau pembunuh itu sendiri. Kondisi dendam tersebut mengikut pengalaman berlaku baik untuk orang perorang maupun orang banyak seperti efek dari sebuah peperangan yang meninggalkan kesan dalam waktu berkepanjangan.

Dalam percaturan politik, apa lagi menjelang penentuan anggota legislatif atau penentuan pemimpin (pemilu/pemilukada) di sesuatu wilayah sesekali terjadi pembunuhan sebagai upaya merebut kekuasaan atau jabatan. Perbuatan keji seperti ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak tau ketentuan hukum Islam atau orang-orang brutal, yang mabuk, atau yang diongkosi seseorang. Apapun cara, penyebab dan model pembunuhan tersebut dalam Islam sangat dilarang, hukumnya haram berat dan dilempar ke neraka setelah di-qishash di dunia.

Larangan membunuh
Islam melarang umatnya membunuh seseorang manusia atau seekor binatang sekalipun, kalau itu tidak berdasarkan kebenaran hukumnya. Dalam Islam orang-orang yang halal darah atau boleh dibunuh karena perintah hukum dengan prosedurnya adalah orang-orang murtad, yaitu orang-orang Islam yang berpindah agama dari Islam ke agama lainnya, sesuai dengan hadis Rasulullah saw: Man baddala diynuhu faqtuluwhu (barangsiapa yang menukar agamanya maka bunuhlah dia). Ketentuan ini dilakukan setelah orang murtad itu diajak kembali ke agama Islam selama batas waktu tiga hari, kalau selama itu dia tidak juga sadar baru dihadapkan ke pengadilan.

Yang halal darah juga adalah pembunuh, bagi dia berlaku hukum qishash yakni diberlakukan hukuman balik oleh yang berhak atau negara melalui petugasnya. Penzina muhshan (yang sudah kawin) adalah satu pihak yang halal darah juga dalam Islam melalui eksekusi rajam, mengingat jelek dan bahayanya perbuatan dia yang sudah kawin tetapi masih berzina juga. Semua pihak yang halal darah tersebut harus dieksekusi mengikut prosedur yang telah ada dan tidak boleh dilakukan oleh seseorang yang tidak punya otaritas baginya.

Selain dari tiga pihak tersebut dengan ketentuan dan prosedurnya masing-masing tidak boleh dibunuh, sebagaimana firman Allah swt: “...wala taqtulun nafsal latiy harramallahu illa bilhaq...” (...jangan membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan kebenaran...) (QS. al-An’am: 151). Larangan ini berlaku umum untuk semua nyawa baik manusia maupun hewan, kecuali yang dihalalkan Allah sebagaimana terhadap tiga model manusia di atas tadi atau hewan nakal yang mengganggu manusia dan hewan yang disembelih dengan nama Allah.

Allah memberi perumpamaan terhadap seorang pembunuh adalah: “...barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya...” (QS. Al-Maidah: 32).

Hukuman bagi pembunuh
Hukuman duniawi terhadap seorang pembunuh dalam Islam sangatlah berat yaitu dibunuh balik sebagai hukuman qishash ke atasnya. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. al-Baqarah: 178).

Sementara hukuman ukhrawi-nya adalah dilemparkan dalam neraka oleh Allah SWT suatu masa nanti, sesuai dengan firman-Nya: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. an-Nisa’: 93)

Bagi pembunuh yang sudah dimaafkan oleh keluarga terbunuh sehingga bebas dari hukuman qishash, wajib baginya membayar diyat kepada keluarga terbunuh sebanyak 100 ekor unta. Jumhur ulama sepakat dengan jumlahnya dan bagi wilayah yang tidak mempunyai unta dapat diganti dengan lembu atau kerbau atau yang sejenis dengannya. Dalam Islam, qishash diberlakukan karena di sana ada kelangsungan hidup umat manusia, sebagaimana firman Allah: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 179).

Qishash ini betul-betul sebuah keadilan dalam sistem hukum pidana Islam, di mana seseorang yang membunuh orang lain tanpa salah harus dibunuh balik. Ini sama sekali tidak melanggar hak azasi manusia (HAM) sebagaimana diklaim orang-orang yang tidak paham hukum Islam. Bagaimana mungkin kalau seseorang membunuh orang lain tanpa dibenarkan agama dapat diganti dengan hukuman penjara 5-9 tahun, sementara orang yang dibunuhnya sudah meninggal. Malah yang seperti itulah melanggar HAM, karena tidak berimbang antara perbuatan jahat yang dilakukannya dengan hukuman terhadapnya.

Ada tiga macam jenis pembunuhan dalam Islam yang mempunyai hukum qishash yang berbeda, yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja dan tidak sengaja. Pembunuhan sengaja adalah seseorang sengaja membunuh orang lain yang darah dan keselamatan jiwanya dilindungi. Yaitu dengan menggunakan alat untuk membunuh seperti senjata api dan senjata tajam.

Tindak pidana pembunuhan secara sengaja jika memenuhi unsur-unsur: (1) orang yang melakukan pembunuhan adalah orang dewasa, berakal, sehat, dan bermaksud membunuh; (2) terbunuh adalah orang yang terpelihara darahnya (tidak halal untuk dibunuh); dan (3) alat yang digunakan untuk membunuh dapat mematikan atau menghilangkan nyawa orang. Jika pembunuh sengaja dimaafkan oleh keluarga terbunuh maka sipembunuh wajib membayar diyat berat berupa 100 ekor unta, terdiri dari 30 ekor unta betina berumur 3-4 tahun, 30 ekor unta betina berumur 4-5 tahun, dan 40 ekor unta betina yang sedang bunting.

Pembunuhan semi sengaja adalah menghilangkan nyawa orang lain dengan alat yang tidak biasa digunakan untuk membunuh dan tidak dimaksudkan untuk membunuh. Ia juga harus membayar diyat berat kalau sudah dimaafkan keluarga terbunuh dengan cara mengangsurnya selama 3 tahun. Sementara pembunuhan tidak sengaja adalah seperti orang melempar buah mangga di pohon lalu terkena seseorang di bawah pohon mangga tersebut sehingga mati.

Diyat bagi kasus seperti ini adalah diyat ringan, yaitu 100 ekor unta terdiri atas 20 ekor unta betina berumur 1-2 tahun, 20 ekor unta betina berumur 2-3 tahun, 20 ekor unta jantan berumur 2-3 tahun, 20 ekor unta betina berumur 3-4 tahun, dan 20 ekor unta betina berumur 4-5 tahun. Pihak pembunuh wajib membayarnya dengan mengangsur selama 3 tahun, setiap tahun wajib membayar sepertiganya. Kalau tidak dapat dibayar 100 ekor unta, maka harus dibayar 200 ekor lembu atau 2.000 ekor kambing.

Mengingat demikian beratnya hukuman bagi seorang pembunuh dalam Islam, kepada muslim dan muslimah khususnya di Aceh diminta untuk menjauhkan diri dari perbuatan tersebut agar semuanya selamat hidup di dunia dan di akhirat kelak. Kepada para pihak yang sedang terlibat dalam percaturan politik negara, kita imbau untuk menjalankan aktivitas politiknya yang selaras dengan ketentuan Islam, dan menjauhi benih-benih perpecahan dan pembunuhan.

* Drs. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, LC, Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh dan Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email: diadanna@yahoo.com
Pembunuhan dalam Perspektif Islam - Serambi Indonesia

Pendidikan untuk Semua

Oleh: Harri Santoso

HAL pertama yang dilakukan Jepang setelah kalah dalam Perang Dunia II pada 1945, adalah mengumpulkan berapa jumlah guru yang selamat pada saat itu. Demikian pula Malaysia, sejak awal kemerdekaannya, negeri jiran itu banyak mendatangkan guru-guru dari Indonesia untuk memberikan pengajaran kepada rakyat mereka. Hasilnya, hari ini kedua negara diatas telah menjadi macan baru Asia disebabkan kepedulian kedua negara tersebut terhadap pentingnya pembangunan pendidikan.

Begitu sangat istimewanya pendidikan sehingga kemudian banyak negara-negara yang mengawali pembangunan negaranya pada peletakan dasar sistem pendidikan untuk menciptakan generasi terbaik dalam membangun negerinya. Bagaimana dengan Indonesia? Meskipun sudah 67 tahun kita merdeka kita masih disibukkan dengan perdebatan tentang penting tidaknya Ujian Nasional (UN). Namun, dalam tulisan ini penulis ingin memfokuskan tentang pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya bagi para penyandang disabilitas.

 Penyandang disabilitas
Menurut laporan tentang disabilitas (2011) yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia (World Bank), ada sekitar satu juta penduduk di dunia yang memiliki disabilitas. Penyandang disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat pada umumnya, baik ianya berasal dari keluarga mampu maupun keluarga tidak mampu sebab mereka memiliki hambatan dalam mengakses layanan umum.

Penyandang disabilitas seringkali tidak memiliki akses untuk pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan, dan kegiatan perekonomian. Kurangnya akses dalam transportasi, bangunan, pendidikan, dan pekerjaan merupakan beberapa contoh yang menjadi penghambat dalam kehidupan sehari-hari para penyandang disabilitas.

Berdasarkan UU No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Istilah ini digunakan untuk: “Seseorang yang mengalami kelainan mental dan/atau fisik, yang bisa mengganggu atau bisa dilihat sebagai penghambat dan pembatas dalam melakukan kegiatan-kegiatan secara normal, dan terdiri dari: i) kecacatan fisik, ii) kecacatan mental, iii) kecacatan fisik dan mental.” Pada 2010, istilah penyandang cacat diubah menjadi “penyandang disabilitas” untuk mengurangi diskriminasi terhadap mereka (Depkumham, 2011).

Selanjutnya pada 2011 pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No.19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Hak-hak Penyandang Disabilitas, guna meningkatkan kesejahteraan para penyandang disabilitas. Sebab, penyandang disabilitas adalah bagian dari masyarakat yang juga memiliki hak dan kesempatan seperti pendididkan, pekerjaan yang layak, perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan termasuk menikmati hasilnya dan akses fisik pendukung kehidupan.

Dalam dunia pendidikan di Indonesia, UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 menyebutkan: Ayat (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

UU ini selanjutnya diikuti dengan Lampiran Peraturan Menteri No.22 Tahun 2006, yaitu “Peserta didik pendidikan inklusif adalah peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Berkelainan dalam hal ini adalah tunanetra, tunarungu, tunadaksa ringan, dan tunalaras.” Berdasarkan kemampuan intelektualnya, peserta didik berkeperluan khusus atau yang disebut juga dengan peserta didik berkelainan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu (1) peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, (2) peserta didik berkelainan yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Kelompok yang pertama merupakan peserta didik yang dapat mengikuti pendidikan inklusif. Selanjutnya, pendidikan inklusif kemudian dirintis secara resmi pada 2003 melalui Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) No.380/C.66/MN/2003, 20 Januari 2003 perihal Pendidikan ABK di sekolah umum bahwa di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia sekurang kurangnya harus ada 4 sekolah penyelenggara pendidikan inklusi yaitu di jenjang SD, SMP, SMA dan SMK masing-masing minimal satu sekolah.

Secara resmi, pendidikan inklusif diakui di dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa hak memperoleh layanan pendidikan khusus dijamin bagi warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial, yang harus disediakan di sekolah khusus atau secara inklusif. Puncak dari kebijakan dalam pendidikan inklusif adalah dikeluarkannya Permendiknas No.70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Sementara itu, di Aceh, tercatat satu wilayah (setelah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jogyakarta) yang telah telah memiliki Qanun dan Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur tentang hak pendidikan khusus bagi penyandang disabilitas. Tetapi, sudahkah para penyandang disabilitas ini mendapatkan hak-hak mereka sebagaimana mestinya?

Mengikut hasil temuan (Mirza dkk, 2013) tentang aksesibilitas fasilitas umum bagi para penyandang disabilitas di Banda Aceh menyatakan bahwa kota Banda Aceh belum menjadi kota yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas baik sarana pendidikan, fasilitas umum, rumah ibadah dan kantor pemerintahan. Meskipun di Aceh telah memiliki beberapa sekolah untuk penyandang disabilitas baik sekolah luar biasa dan inklusif, pertanyaannya adalah sudahkah sekolah-sekolah tersebut memberikan layanan yang maksimal bagi mereka yang membutuhkan?

 Pendidikan inklusif

Sejauhmana proses pendidikan inklusif berjalan, bagaimana aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas di sekolah-sekolah baik sarana belajar mengajar dan sarana pendukungnya? Bagaimana kompetensi dan kemampuan guru dalam mengajar peserta didik penyandang disabilitas dan kompetensi psikologis terkait dengan penerimaan seutuhnya terhadap peserta didik penyandang disabilitas dalam memberikan pendidikan bagi mereka?

Sebab dengan pendidikan baik di sekolah khusus maupun inklusiflah para penyandang disabilitas dapat mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan mereka. Mereka tidak hanya dapat bekerja sebagai tukang jahit, tukang urut, tapi lebih dari itu mereka dapat memiliki potensi untuk dapat bekerja sebagai guru, dosen, politisi, serta pekerjaan-pekerjaan lain.

Tercapainya pendidikan yang berkualitas bagi para penyandang disabilitas adalah sebuah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk Aceh. Keadilan merupakan nilai-nilai dasar Islam yang universal sebagaimana firman Allah swt: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah maha teliti dengan apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Maidah: 8). Oleh karena itu, pendidikan untuk semua di Indonesia dan Aceh khususnya merupakan perwujudan sejauhmana ketaqwaan para pemimpin bangsa terhadap Allah SWT  Wallahu a’lam bi sawab.

* Harri Santoso, S.Psi, M.Ed, Dosen Prodi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: harri_uma81@yahoo.com


Pendidikan untuk Semua - Serambi Indonesia

Korupsi dan Dunia Pendidikan

Oleh: Anton Widyanto

KORUPSI adalah sesuatu yang merusak tatanan kehidupan masyarakat sebuah bangsa. Korupsi adalah sesuatu yang potensial menjadikan masa depan negara menjadi suram. Korupsi adalah haram. Korupsi adalah aksi memperkosa ajaran agama. Korupsi adalah tingkah menjijikkan. Korupsi adalah bla....bla....bla....dst... dst. Ungkapan-ungkapan yang memposisikan korupsi sebagai sesuatu yang negatif dan destruktif seperti ini --terlepas apakah ia tergolong dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) atau tidak-- tentu disepakati semua orang.

Meski demikian, faktanya sampai detik ini korupsi masih berlangsung dengan senantiasa memodifikasi modusnya, sehingga semakin sulit dilacak dan dibuktikan. Yang menarik (atau lebih tepatnya ironis), ketika korupsi juga ikut-ikutan terjadi dalam dunia pendidikan, apalagi di tingkat perguruan tinggi.

Padahal, banyak pihak yang mensinyalir bahwa dari lembaga pendidikanlah mindset antikorupsi bisa ditanamkan. Dengan demikian, upaya melawan korupsi tidak hanya dilakukan dengan pemberantasan, akan tetapi juga pencegahan. Di sinilah, sekali lagi, lembaga pendidikan (khususnya perguruan tinggi) menduduki peran yang sangat signifikan.

 Kasus dugaan korupsi
Satu kasus dugaan korupsi yang baru-baru ini mencuat adalah yang terjadi di satu perguruan tinggi terkemuka di Aceh, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Seperti diberitakan, Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menetapkan tiga tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) program beasiswa Pemerintah Aceh di Unsyiah sebesar Rp 3,6 miliar, yang bersumber dari APBA 2009-2010 (Serambi, 20/4/2013).

Ketiga tersangka tersebut masing-masing Prof Dr Darni M Daud (mantan Rektor Unsyiah), Prof Dr M Yusuf Azis (mantan Dekan FKIP Unsyiah), dan Mukhlis (Kepala Keuangan Program Cagurdacil). Disinyalir kerugian negara sesuai audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh adalah senilai Rp 3.618.623.500. Adapun pagu anggaran untuk program beasiswa calon guru daerah terpencil (Cagurdacil) dan Jalur Pengembangan Daerah (JPD) yang bersumber dari APBA 2009-2010 tersebut sekitar Rp 17,6 miliar.

Kasus korupsi di dunia perguruan tinggi memang tidak hanya menimpa Unsyiah sebagaimana diberitakan baru-baru ini. Malah setidaknya teridentifikasi ada 18 universitas negeri di Indonesia yang terindikasi terjadi tindak pidana korupsi dengan rata-rata kerugian miliaran rupiah (Kompas, 7/6/2012).

Enam tahun lalu, tepatnya tanggal 4 Januari 2007, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI (diwakili Dr Sjahruddin Rasul SH) telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan Unsyiah (diwakili Dr Darni Daud MA) dan IAIN Ar-Raniry (diwakili Prof Drs Yusny Saby MA, PhD) di Balai Senat Unsyiah. Nota Kesepahaman ini menyangkut tiga bidang: Pertama, pendidikan anti korupsi; Kedua, kampanye anti korupsi, dan; Ketiga, riset atau Kajian mengenai Pemerintahan yang baik dan benar. Pertanyaannya, apakah Nota Kesepahaman tersebut sudah dijalankan dengan baik?

Melihat fakta mencuatnya dugaan kasus korupsi yang menimpa Unsyiah baru-baru ini, sepertinya Nota Kesepahaman tersebut masih berhenti di atas kertas dan belum terimplementasikan dengan baik di lapangan. Padahal, sebagai dua perguruan tinggi yang memiliki sejarah panjang pendidikan di Aceh, baik Unsyiah maupun IAIN Ar-Raniry telah ikut mewarnai roda pembangunan kehidupan sosial, politik maupun budaya masyarakat Aceh. Keduanya merupakan simbol perubahan yang menjadi tumpuan harapan masyarakat Aceh secara keseluruhan.

Sudah semestinya Nota Kesepahaman pemberantasan dan pencegahan  korupsi yang telah ditandatangani oleh kedua perguruan tinggi terkemuka di Aceh tersebut (IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah) diingat kembali dan dipikirkan secara serius implementasinya di lapangan. Jika hal ini dapat diaktualisasikan dengan baik, bukan tidak mungkin efek dominonya akan menyebar pada perguruan-perguruan tinggi lain di Aceh.

Sudah barang tentu di sini semangat yang sama harus dimulai dari para pimpinan mulai dari tingkat rektorat sampai dekanat. Dengan pola top down sedemikian rupa, maka kebijakan-kebijakan antikorupsi dapat diturunkan. Hal ini menegaskan bahwa pimpinan harus menjadi contoh yang baik bagi masyarakat kampus yang dipimpinnya. Tanpa adanya keteladanan yang baik, maka tentu penyebaran semangat anti korupsi ini akan terkendala.

Lebih dari itu, adanya mental-mental korupsi yang selama ini masih berkembang di dunia kampus, mulai dari adanya berbagai macam setoran tak resmi (untuk tidak menyebut “upeti”), plagiarisme dalam membuat karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi dan sebagainya), menyontek saat ujian dan sebagainya, harus diberikan hukuman yang berat secara internal. Harus dipahami bahwa semua perbuatan ini dalam perspektif Islam hukumnya adalah haram.

Pemahaman terkait status haram terhadap perbuatan-perbuatan tercela ini penting untuk ditanamkan kepada semua civitas akademika, sebab selama ini yang dipahami dalam konsep haram adalah terkait dengan jenis makanan dan hal-hal commonsense lain (khalwat, judi, zina, mencuri dan sebagainya). Ketika pemahaman ini mampu ditanamkan, maka akan memunculkan pertanggungjawaban moral antara orang yang mau melanggarnya dengan Allah swt.

 Badan antikorupsi
Yang tidak kalah pentingnya, sudah semestinya perguruan tinggi memiliki sebuah badan antikorupsi yang otonom baik di tingkat universitas/institut maupun fakultas. Lembaga ini tidak hanya bertugas menyosialisasikan atau mengampanyekan antikorupsi, akan tetapi juga bertindak sebagai perumus strategi dan kebijakan pelaksanaan pendidikan antikorupsi melalui aktivitas penelitian dan sebagainya, serta menjadi pengawas kebijakan-kebijakan pengelolaan anggaran di kampus.

Yang terakhir ini dirasa sangat urgen, sebab salah satu kelemahan yang muncul selama ini kinerja perguruan tinggi kurang mendapat pengawasan yang memadai. Kalaupun ada lembaga senat institut/fakultas, tidak jarang lembaga ini menjadi “perpanjangan tangan” dari rektor/dekan yang sedang menjabat. Tentu saja lembaga seperti ini akan sulit diandalkan dalam konteks pemberantasan dan pencegahan korupsi di perguruan tinggi.

Semoga dengan demikian, perguruan tinggi tidak hanya mumpuni dalam mencetak generasi bangsa yang cerdas secara intelektual, akan tetapi juga cerdas secara moral dan spiritual. Wallahu a’lam bis shawab.

* Dr. Anton Widyanto, M.Ag, Ed.S, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: widyanto_anton@yahoo.com & awidya09@gmail.com.


Korupsi dan Dunia Pendidikan - Serambi Indonesia

Perempuan dalam 'Hibernasi Politik'

Oleh: Bisma Yadhi Putra

SEORANG mahasiswi bimbang. Dia mendapat lamaran dadakan dari salah satu parpol lokal untuk diusung di Pemilu 2014. Dia minta pendapat. Saya bilang, menjelang pemilu, parpol seperti beruang atau lelaki hidung belang yang suka “cinta satu malam”. Ada kecenderungan perempuan dibutuhkan menjelang dan saat pemilu berlangsung saja. Setelahnya, dicampakkan! Ini namanya “politik satu malam”, sebuah prinsip rekrutmen yang tujuannya hanya menjadikan perempuan sebagai pelengkap.

Parpol meminang perempuan secara dadakan guna memenuhi persyaratan penyertaan minimal 30 persen perempuan dalam daftar caleg di setiap daerah pemilihan (dapil). Peraturan KPU No.7/2013, mengharuskan dalam setiap tiga nama dalam daftar caleg, terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Parpol tidak diikutsertakan pada dapil yang tidak memenuhi syarat tersebut.

Ada parpol yang merasa optimis, ada pula yang keberatan. Alasan yang dikemukakan beragam, mulai soal izin dari suami, kondisi struktur dan kultur sosial, hingga persoalan kondisi finansial perempuan untuk pemenuhan logistik politik. Selain itu, ada yang beralasan banyak perempuan berkualitas layak direkrut, tetapi tidak tertarik bergabung ke parpol. Mengajak perempuan masuk ke dunia politik dinilai sukar. Parpol mengeluh.

Kesulitan-kesulitan tersebut tentu saja bukan masalah yang buntu dari solusi. Kendala minimnya kualitas perempuan, misalnya, bisa diatasi bila perekrutan dan pengaderan perempuan dilakukan jauh-jauh hari, tidak dadakan seperti sekarang. Idealnya parpol memulai perekrutan perempuan setelah pemilu untuk diusung pada pemilu berikutnya. Pengaderan dilakukan secara matang dan tidak dadakan.

Pengaderan berarti memberi pendidikan yang komprehensif tentang politik, dari hal-hal mendasar hingga persoalan-persoalan teknis kerja parlemen. Tentu saja pendidikan politik yang baik dan lengkap memerlukan waktu yang tidak singkat. Tidak cukup beberapa bulan saja menjelang pemilu. Benar bahwa sembari menjabat bisa mulai belajar. Akan tetapi, kalau belajar baru dimulai ketika menjabat, bisa dibayangkan bagaimana gagapnya seorang “anak baru” dalam lingkaran politik.

 Asal comot
Keikutsertaan perempuan sebagai caleg bisa sekadar untuk memenuhi syarat administrasi belaka. Tak peduli punya pengetahuan memadai tentang keperlemenan atau tidak, parpol asal comot saja. Sanksi tidak bisa ikut pemilu di dapil yang tak memenuhi persyaratan tersebut membuat parpol panik lalu berprinsip “siapa saja oke” dalam situasi demikian. Bahkan untuk sekadar memenuhi persyaratan administrasi, parpol bisa saja mencari “perempuan-perempuan sewaan”.

Kalau sudah begini, faktor kemenangan perempuan pun tak begitu diprioritaskan. Parpol sebatas fokus pada peningkatan jumlah caleg perempuan, bukan meningkatnya perempuan terpilih. Andaikan mendapat kursi, yang terpilih bisa jadi perempuan yang buta politik. Bukan perempuannya yang salah, tapi parpolnya yang tidak menyiapkan pengaderan jauh-jauh hari. Parpol kebakaran jenggot menjelang pemilu karena sadar betapa sulit merekrut caleg perempuan.

Pangkal dari kendala-kendala tersebut: tidak diterapkannya syarat ideologis oleh parpol. Penanaman ideologi mesti dilakukan secara konsisten jauh-jauh hari sebelum pemilu. Untuk itu, mau tidak mau parpol harus merekrut bakal caleg (khususnya perempuan) dengan mempertimbangkan periode pendidikan politik. Bagi parpol, terpenting dipenuhi dalam perekrutan hanyalah pemenuhan syarat administratif, tak diawali dengan syarat ideologis. Sanggup memenuhi syarat administratif belum tentu mampu memenuhi syarat ideologis.

Syarat administratif meliputi foto kopi KTP, ijazah, surat pencalonan (Model B, Model BA, Model BB, Model BB-1, dan seterusnya) serta hal-hal bersifat kedokumenan lainnya yang disyaratkan dalam pendaftaran. Sementara syarat ideologis meliputi: pengetahuan teoritis, memahami platform parpol, anutan nilai-nilai politik, dan kemampuan atau keterampilan politik. Syarat ideologis dipenuhi dengan mengenyam pendidikan politik.

Di sinilah letak pengaderan yang ideal. Barangsiapa yang gagal memenuhi syarat ideologis, maka tak perlu menyiapkan syarat administratif. Sebelum menerapkan syarat ideologis, tentu saja parpol harus memiliki garis ideologi yang tegas. Muara dari penerapan syarat ideologis adalah lahirnya legislator-legislator yang bertindak sesuai dengan fungsi ideologi.

Ideologi yang dianut parpol mesti tertanam mendalam pada benak kader, sehingga ada rasa kepemilikan yang kuat. Legislator-legislator yang lahir dari parpol dengan garis ideologi yang jelas akan selalu dahaga memenuhi kebutuhan ideologisnya. Agar penanaman ideologi efektif, maka kemudian penting adanya aturan syarat periode keanggotaan kader.

Idealnya, UU No.8/2012 mengatur masalah periode menjabat anggota parpol untuk bisa menjadi caleg. Misalnya, setiap kader yang diajukan parpol sebagai caleg harus sudah menjadi anggota parpol yang bersangkutan selama empat tahun. Selama periode tersebut, dilakukan perekrutan, pengaderan, dan penyeleksian caleg. Jadi, parpol tak akan keteteran seperti sekarang karena perempuan-perempuan yang dibutuhkan sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.

Jika tak di UU, bisa diatur dalam peraturan internal parpol tentang perekrutan dan pengaderan. Dengan begini, setiap orang yang hendak maju sebagai caleg dari parpol yang bersangkutan, mesti jauh-jauh hari bergabung demi memperoleh penanaman nilai ideologi serta pemahaman terhadap target capaian parpol. Begitulah seharusnya parpol berfungsi.

 Tak ambil pusing
Masalahnya, parpol cenderung tak mau ambil pusing. Padahal parpol berfungsi sebagai sarana pendidikan warga negara yang berkeinginan menjadi legislator berkualitas. Melihat gelagat parpol seperti ini, barangkali apa yang diucapkan Mohtar Mas’oed, Dosen UGM Yogyakarta, ada benarnya: “Parpol adalah alat untuk mencapai sesuatu, tetapi tidak tertarik mencapai sesuatu itu”.

Menghasilkan legislator-legislator berkualitas merupakan capaian penting parpol. Ketika upaya tersebut tidak tertarik untuk dicapai, patut dicurigai parpol mulai kehilangan orientasi ideologi yang jelas. Lalu ketidakjelasan ideologi itu menjadi ideologi baru. Pemberdayaan perempuan bukan salah satu cakupan dari ideologi yang kabur tersebut.

Rekrutmen perempuan secara dadakan merupakan fenomena hibernasi politik. Seolah takut kehilangan banyak “energi”, parpol kemudian tidur ketika panasnya pemilu beralih menjadi “musim dingin politik”. Selama itu, parpol tidak berpikir merekrut dan mendidik perempuan secara sungguh-sungguh untuk menjadi calon legislator berkualitas.

Parpol baru terjaga ketika “musim panas politik” saat menjelang pemilu tiba kembali. Mendadak dilakukan perekrutan. Pendidikan politik diberikan secara instan, cukup dengan pelatihan satu atau dua hari saja. Hibernasi politik terus terjadi dari tahun ke tahun.

Dengan demikian, parpol pun tak ubahnya beruang yang tidur selama musim dingin, lalu mulai ribut cari makan ketika terjaga di musim panas. Padahal, tiada satu pun parpol di Indonesia yang menjadikan beruang sebagai lambang dan ideologinya.

* Bisma Yadhi Putra, Fasilitator Sekolah Demokrasi Aceh Utara. Email: bisma.ypolitik@gmail.com

Perempuan dalam 'Hibernasi Politik' - Serambi Indonesia